Sabtu, 04 Januari 2014

TANPA REFORMA AGRARIA, MP3EI BERPOTENSI MEMARGINALKAN RAKYAT (SKEMA MEGA PROYEK MIFEE DI BUMI CENDRAWASIH)



A.    Pengantar
Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan suatu desain ekonomi besar yang disebut sebagai Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Master plan itu dimaksudkan oleh pemerintah untuk melejitkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia secara menyeluruh dan merata di seluruh wilayah di Indonesia. Dalam mencapai tujuannya, desain itu mengatur terbentuknya koridor-koridor ekonomi di setiap pulau-pulau besar di Indonesia sesuai dengan karakteristik komoditas global unggulannya.
Untuk mendukung penguatan MP3EI, Pemerintah telah menetapkan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang antara lain mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur dalam Perpres No. 26 Tahun 2012.
Dalam lampiran Perpres itu, disebutkan bahwa MP3EI disusun mengingat membesarnya peran Indonesia dalam perekonomian global. Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17 terbesar di dunia. Karena itu Indonesia diharapkan terlibat dalam berbagai forum global dan regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya. Lebih lanjut dipaparkan bahwa keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga internasional.[1]
Sementara itu, keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan negara ini mempersiapkan diri lebih baik untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.[2]
MP3EI semakin mantap operasionalnya saat UU No. 2 Tahun 2012  tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disahkan sehingga terus menguatkan struktur ekonomi politik yang berbasis penggerukan sumber daya alam secara luar biasa.[3] 
Konsep MP3EI dengan enam Koridor Ekononimya di Indonesia hanya akan mengarahkan Indonesia pada posisi melayani kepentingan kaum pemodal terhadap kebutuhan mereka atas tanah murah, sumber daya alam murah, buruh murah dan pasar yang luas, sedangkan rakyat hanya akan diposisikan sebagai objek yang menanggung derita di negeri ini. Pelaksanaan MP3EI  berpotensi menambah panjang daftar konflik dan sengketa pertanahan karena mekanisme pengadaan lahan untuk pembangunan tersebut sering mengabaikan hak-hak rakyat atas tanah.
Proyek pengembangan Merauke Integrated Food And Energy Estate (MIFEE) Merauke di Papua yang menjadi bagian dari program MP3EI  Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku merupakan salah satu contoh pengabaian hak-hak rakyat atas tanah. Program ini membutuhkan 1,2 juta Ha lahan yang masih bisa diperluas menjadi 2,5 juta ha senyatanya belum melibatkan rakyat setempat untuk memberikan persetujuan maupun berperan serta dalam proyek tersebut. Oleh karenanya, agenda MP3EI berpotensi memarginalkan peran serta rakyat  jikalau tanpa didukung agenda reforma agraria.[4]
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah perlu melaksanakan harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma agraria sehingga kesejahteraan rakyat tercapai secara harfiah. Hal ini didasari bahwasanya rakyat juga berhak mendapatkan aset tanah dalam proses pembangunan ekonomi sebagai akses terhadap sumber-sumber kehidupan sebagaimana diatur dalam skenario reforma agraria.

B.     Latar Belakang MP3EI
Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau disingkat MP3EI yang mulai dicanangkan pada 27 Mei 2011 membuat masyarakat Indonesia harus bersiap menghadapi pembangunan besar-besaran yang difokuskan pada beberapa sektor seperti pangan, energi, dan infrastruktur. MP3EI bisa diartikan sebagai salah satu bagian dari rencana pembangunan jangka panjang Indonesia. Landasan hukumnya adalah Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Pasal 1 ayat (2) Perpres ini menyebutkan bahwa MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode lima belas tahun sejak 2011 sampai 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.[5]  
Untuk mendukung penguatan MP3EI, Pemerintah telah menetapkan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, yang antara lain mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur dalam Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional.
Dalam lampiran Perpres itu, disebutkan bahwa MP3EI disusun mengingat membesarnya peran Indonesia dalam perekonomian global. Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17 terbesar di dunia. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan terlibat dalam berbagai forum global dan regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya. Lebih lanjut dipaparkan bahwa keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga internasional.
Sementara itu, keberadaan Indonesia di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, mengharuskan negara ini mempersiapkan diri lebih baik untuk mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.[6]
Luas kawasan terbesar, penduduk terbanyak dan sumber daya alam terkaya menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara. Menurut dokumen ini, Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat  mobilitas logistik global.[7]   
Dari rumusan lampiran Perpres No.32 Tahun 2011, terlihat betapa Pemerintah menginginkan Indonesia menjadi negara maju dengan cepat. Itulah mengapa masterplan ini menggunakan pendekatan percepatan transformasi ekonomi, bukan pendekatan business as usual. Masterplan ini menggunakan slogan: locally integrated, globally connected (terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global). Ia menggunakan pendekatan spasial, membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi, yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Papua-Maluku.[8]

 

Masing-masing koridor ekonomi memiliki tema sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis masing-masing wilayahnya. Pembagian Koridor Ekonomi ini meliputi :  Koridor Ekonomi Sumatera sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”; Koridor Ekonomi Jawa sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”; Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional”; Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai ‟ Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional”; Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara sebagai ‟Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional; dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.
MP3EI ini terfokus pada delapan  program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi,  industri,  kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis. Pengembangan kawasan dengan penentuan koridor-koridor tersebut menurut Pemerintah dapat memberi dampak spill over (melampaui batas) dan mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan sekitarnya secara lebih cepat.[1] 

A.       MP3EI sebagai Perluasan Jaringan Kapital
Sekilas, tak ada masalah dengan penentuan koridor. Bahkan bisa jadi, hal ini dianggap sebagai kecerdasan pemerintah merencanakan pembangunan nasional. Namun, bila dibaca secara kritis, pemisahan pulau-pulau besar menjadi enam koridor itu adalah bentuk baru pengkonsentrasian wilayah-wilayah untuk dieksploitasi para pemilik modal. Tujuannya hanya satu yaitu untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Memang sebelum ada masterplan tersebut, para pemilik modal telah mengeksploitir berbagai jenis sumberdaya alam di seluruh nusantara. Namun dengan MP3EI, Pemerintah membantu para investor menemukan daerah-daerah baru dengan kekhususan masing-masing. Dengan membagi-bagi nusantara menjadi enam koridor tersebut, terjadilah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran.
Penentuan lokasi-lokasi tertentu untuk proyek tanaman monokultur juga kian melanggengkan kerusakan lingkungan. Penetapan masterplan yang memilih wilayah-wilayah tertentu dengan sumberdaya tertentu itu dilakukan sepihak. Masyarakat tak pernah dimintai pendapat. Tak ada persetujuan sebagaimana prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Proyek besar ini, hanya diputuskan sepihak oleh pemerintah yang mengklaim telah melakukan penelitian akan potensi sumberdaya alam di enam koridor tersebut.[2]
Padahal proyek MP3EI tak akan dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah-wilayah proyek. Mereka berdiam di atas tanah-tanah adat atau ulayat. Walhasil, Pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat hukum adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut. Dalam kasus MIFEE di Merauke, proses mendapatkan tanah adat dilakukan investor dan Pemerintah dengan tipu daya. Pelaksanaan MP3EI akan meningkatkan intensitas konflik macam ini. Apalagi ketika hukum adat banyak diingkari oleh pemerintah. Akibat dari pengingkaran ini adalah perampasan-perampasan tanah di seluruh penjuru. Sampai saat ini saja, pemberian ijin-ijin lokasi dan konsesi untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, tambang, dan hutan, telah merampas hak-hak hidup masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat.

B.       MP3EI sebagai Jalan Melancarkan Perampasan Tanah Melalui Regulasi
Untuk mewujudkan MP3EI, Pemerintah memerlukan dana sekitar Rp. 4.500 trilliun yang 35% di antaranya diperoleh dari pihak swasta. Nyatanya, Pemerintah tak memiliki uang sebanyak ini. Mereka lalu berusaha menggaet para investor dari luar negeri di berbagai kesempatan. Selain para investor ASEAN, pemerintah juga mengundang investor Amerika Serikat, Rusia, dan Australia. Mereka akan menanamkan modalnya di proyek-proyek tersebut, termasuk proyek infrastruktur.[3]
Penyediaan infrastruktur yang seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah, dikerjasamakan antara pemerintah dengan pihak ketiga (pengusaha). Pemerintah bahkan memandang perlu mengembangkan pembiayaan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha. Untuk mendukungnya, Pemerintah menjanjikan kemudahan-kemudahan dan insentif seperti bea masuk, pajak, perijinan, dan aturan ketenagakerjaan. Masa konsesi bagi swasta pun diperlama, seperti pengelola jalan tol yang kini masa konsesinya menjadi 40 tahun, dari 30-35 tahun sebelumnya.
Peran pemerintah adalah menyediakan regulasi untuk mempermudah pengusaha menanamkan investasinya. Hal ini ditempuh karena pelaksanaan MP3EI terhambat oleh beberapa  peraturan, masalah perijinan, keberadaan lahan, dan rencana tata ruang. Peraturan-peraturan yang dipandang menghambat adalah di bidang pertanahan, kehutanan, dan tata ruang. Perpres No. 32 Tahun 2011 mengamanatkan perbaikan 28 (dua puluh delapan) aturan yang dapat menghambat pelaksanaan MP3EI dan membuat peraturan-peraturan baru untuk mempercepat dan memperluas investasi.
Regulasi dan Perizinan di tingkat nasional yang perlu diperbaiki untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama terdiri atas tujuh Undang-Undang, tujuh Peraturan Pemerintah, lima Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden, dan sembilan Peraturan Menteri, dan  ditargetkan selesai pada akhir tahun 2011.[4] Aturan-aturan yang dianggap perlu diperbaiki ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Gambar 2 : Tujuh Undang-Undang yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan MP3EI



Gambar 3 : Tujuh Peraturan Pemerintah yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan MP3EI

Gambar 4 : Lima Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan MP3EI


Gambar 5 : Sembilan Peraturan Menteri yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan MP3EI



Salah satu aturan yang dibuat adalah UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Melalui UU ini, prosedur pengadaan tanah dilakukan melalui musyawarah, tetapi jika tak ada kesepakatan, maka pemerintah akan menitipkan ganti rugi untuk si pemilik tanah itu di pengadilan (konsinyasi).
Beberapa aturan lain untuk memperlancar investasi adalah: a). PP No. 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu atau di Daerah Tertentu; b). Perpres No. 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur ; c). Perpres No.28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah ; d). Penerbitan peraturan perundang-undangan yang mendorong pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur. Hasilnya adalah diterbitkannya: 1).  Perpres No. 55/2011 tentang RTR Mamminasata (Makassar, Sungguminasa, dan Takalar) 2).  Perpres No. 88/2011 tentang RTR Sulawesi 3).  Perpres No. 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat 4).  Perpres No. 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.[9]   
Proyek-proyek MP3EI pada gilirannya akan mematikan berbagai potensi budidaya tanaman pangan dan jenis-jenis pekerjaan yang beragam. Lapangan kerja pada masing-masing pulau atau wilayah itu menjadi terspesialisasi. Pembukaan perkebunan-perkebunan sawit atau pertambangan misalnya, akan berakibat beralihnya pekerjaan masyarakat lokal dari berladang atau bertani menjadi buruh perkebunan atau pertambangan. Apalagi jika tanah mereka telah hilang diambil pemilik modal untuk dijadikan perkebunan atau pertambangan, mereka tak punya pilihan lain selain bekerja di proyek tersebut. Tetapi penggunaan tenaga kerja dari masyarakat lokal biasanya terbatas. Perusahaan lebih banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, persis ketika Belanda mendatangkan kuli-kuli dari Jawa ke perkebunan-perkebunan di Sumatera pada masa kolonial.[2]
Pembukaan proyek-proyek infrastruktur juga telah membuat orang beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh di perkotaan. Masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang sejak awal telah mengelola tanah dan sumber daya alamnya, tak bisa masuk dalam skema mega proyek tersebut. Selain persoalan budaya, juga karena tak memiliki modal ekonomi dan tenaga kerja untuk membentuk daerahnya sesuai tema MP3EI. Alih-alih mengintegrasikan kekuatan lokal sesuai slogan, pemerintah justru mempraktekkan politik pecah-belah dan menguasai (devide et impera).


A.       MIFEE Menjadi Salah Satu Bagian Dari MP3EI

Dalam dokumen MP3EI, wilayah Indonesia telah dikapling-kapling menjadi enam koridor ekonomi, salah satunya adalah koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Koridor ini dipersiapkan sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional. Salah satu program yang diluncurkan di dalam payung MP3EI itu adalah MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).

MIFEE sendiri ditetapkan dalam merespon krisis pangan global di tahun 2007-2008, yang dibaca oleh pemerintah Indonesia sebagai ancaman sekaligus peluang ekonomi. Krisis global itu dilihat sebagai ancaman karena dikhawatirkan akan mempengaruhi bahkan memporak-porandakan ketahanan pangan nasional akibat fluktuasi harga komoditas pangan global. Sebaliknya, krisis itu dilihat sebagai peluang untuk mendongkrak produksi agrikultural Indonesia dan memperoleh tambahan devisa negara dari hasil ekspornya.

Pemerintah melalui program lumbung pangan dan energi tersebut mempersiapkan lahan seluas 1,2 juta ha yang bisa diperluas menjadi 2,5 juta ha, melalui konsesi yang diberikan oleh Bupati Merauke. Pada tahun 2010, jumlah investor yang memperoleh konsesi untuk merajai tanah di Merauke sebanyak 39 investor. Dalam waktu setahun, investor yang mendapatkan konsesi meningkat menjadi 48 investor. Di tahun 2012 investor yang masuk di dalam skema MIFEE bertambah menjadi 62 investor.Salah satu wacana yang digunakan oleh pemerintah di dalam mewajarkan (naturalizing) praktik perampasan tanah di Merauke adalah dengan mengkategorikan lahan 2,5 juta ha sebagai lahan tidur, tidak produktif dan melihatnya sebagai lahan cadangan yang berpotensi bagi MIFEE.[1]  

Pada realitanya, lahan 2,5 juta ha itu bukanlah lahan “menganggur” seperti yang diyakini pemerintah serta investor ataupun seperti apa yang masyarakat umum dibuat mempercayainya. Lahan itu merupakan “piring makan” bagi masyarakat Malind yang hidup disekitar ataupun di dalam lahan/hutan di Merauke, Papua. Lebih jauh lagi, lahan itu tidak hanya mempunyai alas ekonomi tetapi juga yang tak kalah penting adalah lahan itu mempunyai alas sejarah panjang, alas sosial yang demikian lekat, serta alas budaya yang mendarahdaging di tubuh masyarakatnya. [2] 

Gambar 6 : Peta Arahan Kluster Sentra Produksi Pertanian MIFEE (KSPP)


Gambar 7 : Arahan Komoditi Per Kluster Sentra Produksi Pertanian (KSPP ) di Kawasan MIFEE


Lebih dari dua tahun program MIFEE terimplementasikan sejak secara resmi diluncurkan pada 11 Agustus 2010. Di Indonesia , proyek besar ini dilandaskan pada Keppres No. 5 Tahun 2007 tentang PercepatanPembangunan Papua dan Papua Barat dan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2009 tentang Zona Ekonomi Khusus yang menetapkan Papua sebagai Lokasi Strategis Pembangunan Nasional. Pada 2010, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010 Tentang Pertanian Pangan menjadi dasar payung proyek MIFEE.[3]  
Ragam persoalan hadir dan tersebar di situs-situs areal konsesi yang diberikan kepada investor.MIFEE memberikan pengalaman pengalihan penguasaan lahan dari tangan masyarakat ke investor lainnya, mulai dari isu kompensasi lahan, kompensasi kayu, konflik lahan, dan sebagainya. Walaupun demikian, persoalan MIFEE sama halnya dengan kasus investasi atas tanah di situs-situs lainnya, harus dipandang sebagai kasus kejahatan atas kemanusiaan yang memaksa manusia untuk melepaskan tanahnya atas justifikasi pembangunan.
Perampasan tanah bagi seluruh umat manusianya sama halnya dengan penghancuran atas hidup yang dibangun dan dipeliharanya. Pembangunan melalui MIFEE inilah tidak akan memberikan pembangunan kepada masyarakat Papua. Melalui MIFEE, masyarakat Papua dipaksa untuk menerima penghancuran landasan hidup mereka yang dibangun di atas tanah atas nama pembangunan. Ketahanan pangan mereka yang diperolehnya dari apa yang tumbuh dan hidup di atas tanah digantikan dengan uang. Mereka dipaksa menghadapi serbuan ekonomi yang sangat berbeda dari karakter kehidupan yang mereka jalani turun-temurun. Mereka dipaksa masuk ke dalam logika “yang kuat yang menang” (survival of the fittest).[4] 
Diidentifikasi kerugian food estate yaitu : Pertama, potensi lahan yang dimiliki rakyat Indonesia tidak bisa maksimal dimiliki dan dikelola penuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkan pemerintah tentang food estate lebih berpihak pada pemodal daripada petani, kemungkinan konflik di perkebunan besar akan terjadi juga di food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal  untuk mengelola food estate , maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production yang melemahkan kedaulatan pangan Indonesia. Keempat, jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate , maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar karena penentu dijual di dalam negeri atau di ekspor adalah harga yang menguntungkan bagi pemodal.[5]

B.       Pentingnya Reforma Agraria sebagai upaya dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat pelaksanaan MP3EI
Melihat fenomena pendirian MIFFE di Papua, proyek-proyek MP3EI pada gilirannya akan mematikan berbagai potensi budidaya tanaman pangan dan jenis-jenis pekerjaan yang beragam. Lapangan kerja pada masing-masing pulau atau wilayah itu menjadi terspesialisasi. Pembukaan perkebunan-perkebunan atau pertambangan misalnya, akan berakibat beralihnya pekerjaan masyarakat lokal dari berladang atau bertani menjadi buruh perkebunan atau pertambangan. Apalagi jika tanah mereka telah hilang diambil pemilik modal untuk dijadikan perkebunan atau pertambangan, mereka tak punya pilihan lain selain bekerja di proyek tersebut. Tetapi penggunaan tenaga kerja dari masyarakat lokal biasanya terbatas. Perusahaan lebih banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah. Hal ini dikarenakan masyarakat belum mampu beradaptasi secara cepat untuk bisa masuk ke dalam sektor pertanian atau pertambangan modern.Sektor perkebunan modern yang termekanisasi mensyaratkan keterampilan dan kemampuan tertentu yang dibutuhkan logika industri.
Kebijakan pemerintah mendongkrak produksi dengan food estate membuat negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan liberalisasi. Permasalahan utama pertanian ialah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Food estate bisa mengarah ke feodalisme karena pera petani pribumi hanyalah mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membuka peluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya penerimaan non-pajak. Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negeri sendiri.[6]
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Tap MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 menetapkan suatu agenda mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dimaksudkan untuk memberikan dasar dan arah pembaruan agraria yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan serta untuk memastikan penguatan kelembagaan untuk menanganinya. Dalam pasal 2 Ketetapan ini dinyatakan bahwa “Reforma agraria merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia”. Joyo Winoto memaknai Reforma agraria sebagai land reform plus. Artinya Reforma agraria adalah land reform di dalam kerangka mandat konstitusi, politik dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) ditambah dengan access reform.
Reforma agraria adalah strategi penting untuk menjamin hak atas pangan, karena reforma agraria menjamin kepastian hak atas tanah yang merupakan sarana terpenting dalam menghasilkan pangan. Melalui kepemilikan tanah diharapkan para petani kecil, kaum tunakisma dan buruh tani akan lebih terdorong untuk meningkatkan produksi pertaniannya baik untuk konsumsi keluarga maupun pasar. Reforma agraria juga harus menjamin bahwa sektor strategis pertanahan dan lahan pertanian/perkebunan harus dikuasai sepenuhnya oleh rakyat Indonesia.
Reforma agraria sebagai pilar kedaulatan pangan dapat dilakukan dengan cara, pertama mengatur penguasaan dan kepemilikan tanah (regulation reform) yang berkeadilan dengan agenda pokok redistribusi tanah kepada petani miskin dan petani penggarap. Kedua, mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah (acces reform) sehingga lahan pertanian memiliki produktivitas tinggi. Ketiga, mengakui adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat kaum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi sesuai dengan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Reforma agraria juga harus diikuti dengan pembangunan pendukung seperti sarana transportasi, irigasi, akses kredit dan pasar hingga layanan pendidikan dan pelatihan. Aspek legal reform dan acces reform diatur dengan jelas dalam Tap MPR Nomor IX 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pengaturan tersebut menjadi sangat penting sebagai landasan bagi gerakan pembaharuan agraria untuk melindungi hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria. Negara berkewajiban untuk mengusahakan keadilan sosial dengan menjalankan reforma agraria sebagai instrumen untuk menjamin pemenuhan hak atas pangan.Dalam rangka mewujudkan reforma agraria sesuai dengan ketentuan di atas maka diperlukan gerakan bersama seluruh komponen bangsa serta didukung dengan perangkat hukum yang memadai.
Melihat kenyataan pada kasus MIFEE menyiratkan bahwa upaya harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma agraria harus segera dilaksanakan.Potensi peminggiran secara ekonomi dan akses terhadap sumber-sumber agraria bagi masyarakat rentan harus diminimalisir dengan cara mempermudah laju ekspansi dan penetrasi modal ke masyarakat.
Rekomendasi dalam kerangka agenda reforma itu meliputi : Pertama, dalam hal penguasaan, dipandang penting untuk diselenggarakannya penataan penguasaan lahan (land reform) , khususnya menyangkut redistribusi tanah kepada petani tak bertanah (landless) dan petani kecil lainnya. Bersamaan dengan itu, perlu diadakan pengkajian ulang (review) terhadap seluruh kebijakan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam sebelum menyusun kebijakan baru. Adapun kebijakan baru harus memastikan kuatnya perlindungan hak petani dan masyarakat kecil lainnya.[7]
Kedua, dalam hal penanganan konflik agraria ke depan diperlukan pembatasan dan pengaturan yang jelas mengenai hak menguasai dari negara agar tidak menenggelamkan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Begitu juga dengan pengaturan penyelesaian konflik yang perlu diprioritaskan sebelum membuat pengaturan hal-hal lainnya semacam Undang-Undang.Sekali lagi, perlu dikembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang mengutamakan pemulihan hak-hak korban.
Ketiga, bagi isu-isu hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya,, diidealkan peran negara sebagai fasilitator dan regulator dalam menerapkan kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam yang menjunjung tinggi asas keadilan dan keberlanjutan. Diperlukan juga penegasan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak rakyat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.





C.    Penutup
Negara sebagai organisasi kedaulatan seluruh rakyat memiliki tiga kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya yaitu menghormati “to respect”, melindungi “to protect”, dan memenuhinya “to fulfill” termasuk terhadap kebutuhan pangan dan hak atas tanah.
Sesuai dengan pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pokok Agraria , Negara memiliki wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk mengatur mengenai hubungan hukum dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Melihat pelaksanaan MP3EI dan kasus mega proyek MIFEE dengan segala aspek keuntungan dan kerugiannya, pemerintah memerlukan suatu solusi untuk menjamin bahwa sektor strategis pertanahan dan lahan pertanian/perkebunan harus dikuasai sepenuhnya oleh rakyat Indonesia untuk mencapai kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma agraria meliputi : penataan kembali pemilikan dan penguasaan tanah misalkan melalui redistribusi tanah kepada landless, perlu diadakan pengkajian ulang (review) terhadap seluruh kebijakan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam sebelum menyusun kebijakan baru agar kebijakan baru dapat memastikan kuatnya perlindungan hak petani dan masyarakat kecil lainnya, perlunya pengaturan pembatasan dan pengaturan yang jelas mengenai hak menguasai dari negara agar tidak menenggelamkan hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya, meningkatkan peran negara sebagai fasilitator dan regulator dalam menerapkan kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam yang menjunjung tinggi asas keadilan dan keberlanjutan.








Daftar Pustaka

Bernstein, Henry, Terence J.Byress, Saturnino Borras, Cristobal Kay dkk. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Borras dan Franco.2012. Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian Change : A Prelimanary Analysis. Journal of agrarian Change.Vol 12 No.1.
Grand Desain Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas (Food and Energy Estate). 2010. Jakarta.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama 2011 oleh Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.Hal.159.
Lapera. 2002. Prinsip-Prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama
Limbong, Bernhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta :  Pustaka Margaretha
Napiri, Yusuf, Mohamad Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti. Reforma Agraria : Kepastian yang Harus Dijaga. Bogor : Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Rakyat
Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 2007. Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “ Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan. Jakarta : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Rosset, Peter, Klaus Deinenger, La Via Campesina dkk. 2008. Reforma Agraria : Dinamika Aktor dan Kawasan. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Setiawan, Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi “Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17 April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press.
Stoler, L.Ann. 2005. Reforma Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979. Yogyakarta : Karsa
Tohari, Amin. 2013. Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua dalam Jurnal Bhumi Edisi Nomor 37 Tahun 2012. Yogyakarta : STPN Press
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
Zakaria,et.al. 2011.MIFFE : Tak Terjangkau Angan Malind.Yayasan Pustaka : Jakarta

Situs Berita Online :
http://www.setkab.go.id/mp3ei.html diunduh tanggal 6 Oktober 2013
http://www.kompasiana.com/mp3ei.html diunduh tanggal 6 Oktober 2013

Peraturan perundang-undangan :
UUD 1945
Tap MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
UU No. 2/2012 tentang Pengadaan  Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia
 Perpres No. 26 tahun 2012 tentang Cetak Biru Penegmbangan Sistem Logistik Nasional
Keppres No. 5 tahun 2007 tentang PercepatanPembangunan Papua dan Papua Barat
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2009 tentang Zona Ekonomi Khusus











[1]Grand Desain Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas (Food and Energy Estate).2010.Jakarta
[2]Borras dan Franco.2012. Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian Change : A Prelimanary Analysis. Journal of agrarian Change.Vol 12 No.1, Hal 34-59
[3]Tohari,Amin.2013.Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food And Energy Estate (MIFEE) di papua dalam Jurnal Bhumi Edisi Nomor 37 Tahun 2012.STPN Press: Yogyakarta.
[4]Zakaria,et.al.2011.MIFFE:Tak Terjangkau Angan Malind.Yayasan Pustaka : Jakarta.
[5]Setiawan, Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi “Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17 April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press. Hlm.436.
[6]Setiawan, Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi “Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17 April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press. Hlm.436.
[7]Setiawan, Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi “Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17 April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press. Hlm 92.
 




[1] http://www.setkab.go.id/mp3ei.html.28 Maret 2012.Regulasi telah diterbitkan Untuk Sukseskan MP3EI.
[2]Stoler,L.Ann.2005.Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979.Yogyakarta:Karsa.
[3]Grand Desain Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas (Food and Energy Estate).2010.Jakarta
[4]Borras dan Franco.2012. Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian Change : A Prelimanary Analysis. Journal of agrarian Change.Vol 12 No.1, Hal 34-59





[1] Asisten Deputi Bidang Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian, Dr.Ir.Abdul Kamarzuki dalam Buletin Tata Ruang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) edisi Maret-April 2011 dalam http://www.setkab.go.id/mp3ei.html pada tanggal 16 April 2012, Dukung MP3EI, Bitung Segera Jadi Kawasan Ekonomi Khusus. Diunduh pada hari Minggu, 6 Oktober 2013 pukul 07.00 WIB
[2] Ibid.
[3] Opcit.
[4]http://setkab.go.id/mp3ei.html.15 Mei 2012. Sukseskan MP3EI, Pemerintah siap atasi Kendala Lahan. Diunduh pada hari Minggu, 6 Oktober 2013 pukul 07.00 WIB.


[1]Lampiran Perpres No.26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. hal 1.
[2]Lampiran Perpres No.32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. hal 1.
[4] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.2011.Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama 2011 oleh Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.Hal.159.

[5] Perpres No.32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia . hal 1.
[6]Lampiran Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia hal 1.
[7]Lampiran Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia hal 4.
[8]Sambuta Presiden Republik Indonesia Mei 2011 yang dituangkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama 2011 oleh Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.Hal 9.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar