A.
Pengantar
Pada tahun 2011, Pemerintah
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan suatu
desain ekonomi besar yang disebut sebagai Master Plan Perluasan dan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Master plan itu dimaksudkan oleh
pemerintah untuk melejitkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia secara menyeluruh
dan merata di seluruh wilayah di Indonesia. Dalam mencapai tujuannya, desain
itu mengatur terbentuknya koridor-koridor ekonomi di setiap pulau-pulau besar
di Indonesia sesuai dengan karakteristik komoditas global unggulannya.
Untuk mendukung penguatan MP3EI,
Pemerintah telah menetapkan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional,
yang antara lain mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi
dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur dalam Perpres No. 26 Tahun 2012.
Dalam lampiran Perpres itu,
disebutkan bahwa MP3EI disusun mengingat membesarnya peran Indonesia dalam
perekonomian global. Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17 terbesar di
dunia. Karena itu Indonesia diharapkan terlibat dalam berbagai forum global dan
regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral lainnya.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa keberhasilan Indonesia melewati krisis ekonomi
global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga
internasional.[1]
Sementara itu, keberadaan Indonesia
di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia
Tenggara, mengharuskan negara ini mempersiapkan diri lebih baik untuk
mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan
kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.[2]
MP3EI semakin mantap operasionalnya
saat UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disahkan sehingga terus
menguatkan struktur ekonomi politik yang berbasis penggerukan sumber daya alam
secara luar biasa.[3]
Konsep MP3EI dengan enam Koridor
Ekononimya di Indonesia hanya akan mengarahkan Indonesia pada posisi melayani
kepentingan kaum pemodal terhadap kebutuhan mereka atas tanah murah, sumber
daya alam murah, buruh murah dan pasar yang luas, sedangkan rakyat hanya akan
diposisikan sebagai objek yang menanggung derita di negeri ini. Pelaksanaan
MP3EI berpotensi menambah panjang daftar
konflik dan sengketa pertanahan karena mekanisme pengadaan lahan untuk
pembangunan tersebut sering mengabaikan hak-hak rakyat atas tanah.
Proyek pengembangan Merauke
Integrated Food And Energy Estate (MIFEE) Merauke di Papua yang menjadi bagian
dari program MP3EI Koridor Ekonomi
Papua-Kepulauan Maluku merupakan salah satu contoh pengabaian hak-hak rakyat
atas tanah. Program ini membutuhkan 1,2 juta Ha lahan yang masih bisa diperluas
menjadi 2,5 juta ha senyatanya belum melibatkan rakyat setempat untuk
memberikan persetujuan maupun berperan serta dalam proyek tersebut. Oleh
karenanya, agenda MP3EI berpotensi memarginalkan peran serta rakyat jikalau tanpa didukung agenda reforma
agraria.[4]
Sehubungan dengan hal tersebut,
pemerintah perlu melaksanakan harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma
agraria sehingga kesejahteraan rakyat tercapai secara harfiah. Hal ini didasari
bahwasanya rakyat juga berhak mendapatkan aset tanah dalam proses pembangunan
ekonomi sebagai akses terhadap sumber-sumber kehidupan sebagaimana diatur dalam
skenario reforma agraria.
B.
Latar
Belakang MP3EI
Masterplan Percepatan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia atau disingkat MP3EI yang mulai dicanangkan pada
27 Mei 2011 membuat masyarakat Indonesia harus bersiap menghadapi pembangunan
besar-besaran yang difokuskan pada beberapa sektor seperti pangan, energi, dan
infrastruktur. MP3EI bisa diartikan sebagai salah satu bagian dari rencana
pembangunan jangka panjang Indonesia. Landasan hukumnya adalah Peraturan
Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Pasal 1 ayat (2) Perpres ini
menyebutkan bahwa MP3EI merupakan arahan strategis dalam percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode lima belas tahun sejak
2011 sampai 2025 dalam rangka pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025.[5]
Untuk mendukung penguatan MP3EI,
Pemerintah telah menetapkan Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional,
yang antara lain mengatur strategi program, peta panduan, dan rencana aksi
dalam memperbaiki kinerja logistik Indonesia sebagaimana diatur dalam Perpres No. 26 Tahun 2012
tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional.
Dalam lampiran Perpres itu,
disebutkan bahwa MP3EI disusun mengingat membesarnya peran Indonesia dalam
perekonomian global. Indonesia menempati urutan ekonomi ke-17 terbesar di
dunia. Oleh karena itu, Indonesia diharapkan terlibat dalam berbagai forum
global dan regional seperti ASEAN, APEC, G-20, dan berbagai kerjasama bilateral
lainnya. Lebih lanjut dipaparkan bahwa keberhasilan Indonesia melewati krisis
ekonomi global tahun 2008, mendapatkan apresiasi positif dari berbagai lembaga
internasional.
Sementara itu, keberadaan Indonesia
di pusat baru gravitasi ekonomi global, yaitu kawasan Asia Timur dan Asia
Tenggara, mengharuskan negara ini mempersiapkan diri lebih baik untuk
mempercepat terwujudnya suatu negara maju dengan hasil pembangunan dan
kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat.[6]
Luas kawasan terbesar, penduduk
terbanyak dan sumber daya alam terkaya menempatkan Indonesia sebagai kekuatan
utama di Asia Tenggara. Menurut dokumen ini, Indonesia perlu memposisikan
dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk
pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat
mobilitas logistik global.[7]
Dari rumusan lampiran Perpres No.32
Tahun 2011, terlihat betapa Pemerintah menginginkan Indonesia menjadi negara
maju dengan cepat. Itulah mengapa masterplan ini menggunakan pendekatan
percepatan transformasi ekonomi, bukan pendekatan business as usual. Masterplan ini menggunakan slogan: locally integrated, globally connected (terintegrasi
secara lokal dan terhubung secara global). Ia menggunakan pendekatan spasial,
membagi Indonesia menjadi 6 koridor ekonomi, yaitu koridor ekonomi Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Papua-Maluku.[8]
Masing-masing koridor ekonomi
memiliki tema sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis masing-masing
wilayahnya. Pembagian Koridor Ekonomi ini meliputi : Koridor Ekonomi Sumatera sebagai “Sentra
Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”; Koridor
Ekonomi Jawa sebagai “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”; Koridor Ekonomi
Kalimantan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung
Energi Nasional”; Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai ‟ Pusat Produksi dan
Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan
Nasional”; Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara sebagai ‟Pintu Gerbang
Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional; dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan
Maluku sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan
Nasional”.
MP3EI ini terfokus pada delapan program utama, yaitu: pertanian,
pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan
telematika, serta pengembangan kawasan strategis. Pengembangan kawasan dengan
penentuan koridor-koridor tersebut menurut Pemerintah dapat memberi dampak spill over (melampaui batas) dan
mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan sekitarnya secara lebih cepat.[1]
A.
MP3EI
sebagai Perluasan Jaringan Kapital
Sekilas, tak ada masalah dengan
penentuan koridor. Bahkan bisa jadi, hal ini dianggap sebagai kecerdasan
pemerintah merencanakan pembangunan nasional. Namun, bila dibaca secara kritis,
pemisahan pulau-pulau besar menjadi enam koridor itu adalah bentuk baru
pengkonsentrasian wilayah-wilayah untuk dieksploitasi para pemilik modal.
Tujuannya hanya satu yaitu untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Memang sebelum ada masterplan
tersebut, para pemilik modal telah mengeksploitir berbagai jenis sumberdaya
alam di seluruh nusantara. Namun dengan MP3EI, Pemerintah membantu para
investor menemukan daerah-daerah baru dengan kekhususan masing-masing. Dengan
membagi-bagi nusantara menjadi enam koridor tersebut, terjadilah eksploitasi
sumber daya alam besar-besaran.
Penentuan lokasi-lokasi tertentu
untuk proyek tanaman monokultur juga kian melanggengkan kerusakan lingkungan.
Penetapan masterplan yang memilih wilayah-wilayah tertentu dengan sumberdaya
tertentu itu dilakukan sepihak. Masyarakat tak pernah dimintai pendapat. Tak
ada persetujuan sebagaimana prinsip FPIC (Free,
Prior, Informed Consent). Proyek besar ini, hanya diputuskan sepihak oleh
pemerintah yang mengklaim telah melakukan penelitian akan potensi sumberdaya
alam di enam koridor tersebut.[2]
Padahal proyek MP3EI tak akan
dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat
yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah-wilayah proyek. Mereka berdiam di
atas tanah-tanah adat atau ulayat. Walhasil, Pemerintah harus berhadapan dengan
masyarakat hukum adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut. Dalam kasus
MIFEE di Merauke, proses mendapatkan tanah adat dilakukan investor dan
Pemerintah dengan tipu daya. Pelaksanaan MP3EI akan meningkatkan intensitas
konflik macam ini. Apalagi ketika hukum adat banyak diingkari oleh pemerintah.
Akibat dari pengingkaran ini adalah perampasan-perampasan tanah di seluruh
penjuru. Sampai saat ini saja, pemberian ijin-ijin lokasi dan konsesi untuk
perusahaan-perusahaan perkebunan, tambang, dan hutan, telah merampas hak-hak
hidup masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat.
B.
MP3EI
sebagai Jalan Melancarkan Perampasan Tanah Melalui Regulasi
Untuk mewujudkan MP3EI, Pemerintah
memerlukan dana sekitar Rp. 4.500 trilliun yang 35% di antaranya diperoleh dari
pihak swasta. Nyatanya, Pemerintah tak memiliki uang sebanyak ini. Mereka lalu
berusaha menggaet para investor dari luar negeri di berbagai kesempatan. Selain
para investor ASEAN, pemerintah juga mengundang investor Amerika Serikat,
Rusia, dan Australia. Mereka akan menanamkan modalnya di proyek-proyek
tersebut, termasuk proyek infrastruktur.[3]
Penyediaan infrastruktur yang
seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah, dikerjasamakan antara
pemerintah dengan pihak ketiga (pengusaha). Pemerintah bahkan memandang perlu
mengembangkan pembiayaan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha. Untuk
mendukungnya, Pemerintah menjanjikan kemudahan-kemudahan dan insentif seperti
bea masuk, pajak, perijinan, dan aturan ketenagakerjaan. Masa konsesi bagi
swasta pun diperlama, seperti pengelola jalan tol yang kini masa konsesinya
menjadi 40 tahun, dari 30-35 tahun sebelumnya.
Peran pemerintah adalah menyediakan
regulasi untuk mempermudah pengusaha menanamkan investasinya. Hal ini ditempuh
karena pelaksanaan MP3EI terhambat oleh beberapa peraturan, masalah perijinan, keberadaan
lahan, dan rencana tata ruang. Peraturan-peraturan yang dipandang menghambat
adalah di bidang pertanahan, kehutanan, dan tata ruang. Perpres No. 32 Tahun
2011 mengamanatkan perbaikan 28 (dua puluh delapan) aturan yang dapat
menghambat pelaksanaan MP3EI dan membuat peraturan-peraturan baru untuk
mempercepat dan memperluas investasi.
Regulasi dan
Perizinan di tingkat nasional yang perlu diperbaiki untuk mendukung
pengembangan kegiatan ekonomi utama terdiri atas tujuh Undang-Undang,
tujuh Peraturan Pemerintah, lima Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan
Instruksi Presiden, dan sembilan Peraturan Menteri, dan ditargetkan
selesai pada akhir tahun 2011.[4] Aturan-aturan yang
dianggap perlu diperbaiki ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Gambar 2 :
Tujuh Undang-Undang yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan MP3EI
Gambar 3 :
Tujuh Peraturan Pemerintah yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan
MP3EI
Gambar 4 :
Lima Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden yang perlu
direvisi terkait kelancaran pelaksanaan MP3EI
Gambar 5 :
Sembilan Peraturan Menteri yang perlu direvisi terkait kelancaran pelaksanaan
MP3EI
Salah satu aturan yang dibuat adalah
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum. Melalui UU ini, prosedur pengadaan tanah dilakukan melalui musyawarah,
tetapi jika tak ada kesepakatan, maka pemerintah akan menitipkan ganti rugi
untuk si pemilik tanah itu di pengadilan (konsinyasi).
Beberapa aturan lain untuk memperlancar
investasi adalah: a). PP No. 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu atau di Daerah
Tertentu; b). Perpres No. 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun
2005 Tentang
Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur ; c).
Perpres No.28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan
Bawah Tanah ; d). Penerbitan peraturan perundang-undangan yang mendorong
pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur. Hasilnya adalah
diterbitkannya: 1). Perpres No. 55/2011 tentang RTR Mamminasata
(Makassar, Sungguminasa, dan Takalar) 2). Perpres No. 88/2011 tentang RTR
Sulawesi 3). Perpres No. 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat 4). Perpres No. 66/2011 tentang Unit
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.[9]
Proyek-proyek MP3EI pada gilirannya
akan mematikan berbagai potensi budidaya tanaman pangan dan jenis-jenis
pekerjaan yang beragam. Lapangan kerja pada masing-masing pulau atau wilayah
itu menjadi terspesialisasi. Pembukaan perkebunan-perkebunan sawit atau
pertambangan misalnya, akan berakibat beralihnya pekerjaan masyarakat lokal
dari berladang atau bertani menjadi buruh perkebunan atau pertambangan. Apalagi
jika tanah mereka telah hilang diambil pemilik modal untuk dijadikan perkebunan
atau pertambangan, mereka tak punya pilihan lain selain bekerja di proyek
tersebut. Tetapi penggunaan tenaga kerja dari masyarakat lokal biasanya
terbatas. Perusahaan lebih banyak mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah,
persis ketika Belanda mendatangkan kuli-kuli dari Jawa ke perkebunan-perkebunan
di Sumatera pada masa kolonial.[2]
Pembukaan proyek-proyek
infrastruktur juga telah membuat orang beralih pekerjaan dari petani menjadi
buruh di perkotaan. Masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang sejak awal
telah mengelola tanah dan sumber daya alamnya, tak bisa masuk dalam skema mega
proyek tersebut. Selain persoalan budaya, juga karena tak memiliki modal
ekonomi dan tenaga kerja untuk membentuk daerahnya sesuai tema MP3EI. Alih-alih
mengintegrasikan kekuatan lokal sesuai slogan, pemerintah justru mempraktekkan
politik pecah-belah dan menguasai (devide
et impera).
A.
MIFEE
Menjadi Salah Satu Bagian Dari MP3EI
Dalam dokumen MP3EI, wilayah
Indonesia telah dikapling-kapling menjadi enam koridor ekonomi, salah satunya
adalah koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Koridor ini dipersiapkan sebagai
pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional. Salah
satu program yang diluncurkan di dalam payung MP3EI itu adalah MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
MIFEE sendiri ditetapkan dalam
merespon krisis pangan global di tahun 2007-2008, yang dibaca oleh pemerintah
Indonesia sebagai ancaman sekaligus peluang ekonomi. Krisis global itu dilihat
sebagai ancaman karena dikhawatirkan akan mempengaruhi bahkan
memporak-porandakan ketahanan pangan nasional akibat fluktuasi harga komoditas
pangan global. Sebaliknya, krisis itu dilihat sebagai peluang untuk mendongkrak
produksi agrikultural Indonesia dan memperoleh tambahan devisa negara dari
hasil ekspornya.
Pemerintah melalui program lumbung
pangan dan energi tersebut mempersiapkan lahan seluas 1,2 juta ha yang bisa
diperluas menjadi 2,5 juta ha, melalui konsesi yang diberikan oleh Bupati
Merauke. Pada tahun 2010, jumlah investor yang memperoleh konsesi untuk merajai
tanah di Merauke sebanyak 39 investor. Dalam waktu setahun, investor yang
mendapatkan konsesi meningkat menjadi 48 investor. Di tahun 2012 investor yang
masuk di dalam skema MIFEE bertambah menjadi 62 investor.Salah satu wacana yang
digunakan oleh pemerintah di dalam mewajarkan (naturalizing) praktik perampasan tanah di Merauke adalah dengan
mengkategorikan lahan 2,5 juta ha sebagai lahan tidur, tidak produktif dan
melihatnya sebagai lahan cadangan yang berpotensi bagi MIFEE.[1]
Pada realitanya, lahan 2,5 juta ha
itu bukanlah lahan “menganggur” seperti yang diyakini pemerintah serta investor
ataupun seperti apa yang masyarakat umum dibuat mempercayainya. Lahan itu
merupakan “piring makan” bagi masyarakat Malind yang hidup disekitar ataupun di
dalam lahan/hutan di Merauke, Papua. Lebih jauh lagi, lahan itu tidak hanya
mempunyai alas ekonomi tetapi juga yang tak kalah penting adalah lahan itu
mempunyai alas sejarah panjang, alas sosial yang demikian lekat, serta alas
budaya yang mendarahdaging di tubuh masyarakatnya. [2]
Gambar 6 :
Peta Arahan Kluster Sentra Produksi Pertanian MIFEE (KSPP)
Gambar 7 : Arahan
Komoditi Per Kluster Sentra Produksi Pertanian (KSPP ) di Kawasan MIFEE
Lebih dari dua tahun program MIFEE
terimplementasikan sejak secara resmi diluncurkan pada 11 Agustus 2010. Di
Indonesia , proyek besar ini dilandaskan pada Keppres No. 5 Tahun 2007 tentang
PercepatanPembangunan Papua dan Papua Barat dan Peraturan Pemerintah No. 39
Tahun 2009 tentang Zona Ekonomi Khusus yang menetapkan Papua sebagai Lokasi
Strategis Pembangunan Nasional. Pada 2010, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun
2010 Tentang Pertanian Pangan menjadi dasar payung proyek MIFEE.[3]
Ragam persoalan hadir dan tersebar
di situs-situs areal konsesi yang diberikan kepada investor.MIFEE memberikan pengalaman
pengalihan penguasaan lahan dari tangan masyarakat ke investor lainnya, mulai dari
isu kompensasi lahan, kompensasi kayu, konflik lahan, dan sebagainya. Walaupun
demikian, persoalan MIFEE sama halnya dengan kasus investasi atas tanah di
situs-situs lainnya, harus dipandang sebagai kasus kejahatan atas kemanusiaan
yang memaksa manusia untuk melepaskan tanahnya atas justifikasi pembangunan.
Perampasan tanah bagi seluruh umat
manusianya sama halnya dengan penghancuran atas hidup yang dibangun dan
dipeliharanya. Pembangunan melalui MIFEE inilah tidak akan memberikan
pembangunan kepada masyarakat Papua. Melalui MIFEE, masyarakat Papua dipaksa
untuk menerima penghancuran landasan hidup mereka yang dibangun di atas tanah
atas nama pembangunan. Ketahanan pangan mereka yang diperolehnya dari apa yang
tumbuh dan hidup di atas tanah digantikan dengan uang. Mereka dipaksa
menghadapi serbuan ekonomi yang sangat berbeda dari karakter kehidupan yang
mereka jalani turun-temurun. Mereka dipaksa masuk ke dalam logika “yang kuat
yang menang” (survival of the fittest).[4]
Diidentifikasi kerugian food estate yaitu : Pertama, potensi lahan yang dimiliki rakyat Indonesia tidak bisa
maksimal dimiliki dan dikelola penuh oleh petani Indonesia. Kedua, jika peraturan yang dihasilkan
pemerintah tentang food estate lebih
berpihak pada pemodal daripada petani, kemungkinan konflik di perkebunan besar
akan terjadi juga di food estate. Ketiga, jika peraturan memberikan
kemudahan dan keluasan bagi perusahaan atau personal pemilik modal untuk mengelola food estate , maka karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser
dari peasant based and family based
agriculture menjadi corporate based
food and agriculture production yang melemahkan kedaulatan pangan
Indonesia. Keempat, jika pemerintah
tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate , maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar
karena penentu dijual di dalam negeri atau di ekspor adalah harga yang
menguntungkan bagi pemodal.[5]
B.
Pentingnya
Reforma Agraria sebagai upaya dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat
pelaksanaan MP3EI
Melihat fenomena pendirian MIFFE di
Papua, proyek-proyek MP3EI pada gilirannya akan mematikan berbagai potensi
budidaya tanaman pangan dan jenis-jenis pekerjaan yang beragam. Lapangan kerja
pada masing-masing pulau atau wilayah itu menjadi terspesialisasi. Pembukaan
perkebunan-perkebunan atau pertambangan misalnya, akan berakibat beralihnya
pekerjaan masyarakat lokal dari berladang atau bertani menjadi buruh perkebunan
atau pertambangan. Apalagi jika tanah mereka telah hilang diambil pemilik modal
untuk dijadikan perkebunan atau pertambangan, mereka tak punya pilihan lain
selain bekerja di proyek tersebut. Tetapi penggunaan tenaga kerja dari
masyarakat lokal biasanya terbatas. Perusahaan lebih banyak mendatangkan tenaga
kerja dari luar daerah. Hal ini dikarenakan masyarakat belum mampu beradaptasi
secara cepat untuk bisa masuk ke dalam sektor pertanian atau pertambangan
modern.Sektor perkebunan modern yang termekanisasi mensyaratkan keterampilan
dan kemampuan tertentu yang dibutuhkan logika industri.
Kebijakan pemerintah mendongkrak
produksi dengan food estate membuat
negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan liberalisasi. Permasalahan utama
pertanian ialah rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Food estate bisa mengarah ke feodalisme karena pera petani pribumi
hanyalah mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal di food estate. Keuntungan pemerintah dari food estate yaitu membuka
peluang kerja, pemasukan pajak meningkat, dan adanya penerimaan non-pajak.
Namun, pemerintah kurang memperhatikan bahwa petani akan tetap menjadi buruh di
negeri sendiri.[6]
Sejalan dengan hal tersebut,
pemerintah melalui Tap MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 menetapkan suatu agenda
mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dimaksudkan
untuk memberikan dasar dan arah pembaruan agraria yang adil, berkelanjutan dan
ramah lingkungan serta untuk memastikan penguatan kelembagaan untuk
menanganinya. Dalam pasal 2 Ketetapan ini dinyatakan bahwa “Reforma agraria
merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam
rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat indonesia”. Joyo Winoto memaknai Reforma agraria
sebagai land reform plus. Artinya
Reforma agraria adalah land reform di dalam kerangka mandat konstitusi, politik
dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) ditambah dengan access reform.
Reforma agraria adalah strategi
penting untuk menjamin hak atas pangan, karena reforma agraria menjamin
kepastian hak atas tanah yang merupakan sarana terpenting dalam menghasilkan
pangan. Melalui kepemilikan tanah diharapkan para petani kecil, kaum tunakisma
dan buruh tani akan lebih terdorong untuk meningkatkan produksi pertaniannya
baik untuk konsumsi keluarga maupun pasar. Reforma agraria juga harus menjamin
bahwa sektor strategis pertanahan dan lahan pertanian/perkebunan harus dikuasai
sepenuhnya oleh rakyat Indonesia.
Reforma agraria sebagai pilar
kedaulatan pangan dapat dilakukan dengan cara, pertama mengatur penguasaan dan
kepemilikan tanah (regulation reform)
yang berkeadilan dengan agenda pokok redistribusi tanah kepada petani miskin
dan petani penggarap. Kedua, mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah (acces reform) sehingga lahan pertanian
memiliki produktivitas tinggi. Ketiga, mengakui adanya hak ulayat dan hak-hak
yang serupa dari masyarakat kaum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang
lebih tinggi sesuai dengan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA). Reforma agraria juga harus diikuti dengan
pembangunan pendukung seperti sarana transportasi, irigasi, akses kredit dan
pasar hingga layanan pendidikan dan pelatihan. Aspek legal reform dan acces reform
diatur dengan jelas dalam Tap MPR Nomor IX 2001 tentang pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam. Pengaturan tersebut menjadi sangat penting
sebagai landasan bagi gerakan pembaharuan agraria untuk melindungi hak-hak
rakyat atas sumber-sumber agraria. Negara berkewajiban untuk mengusahakan
keadilan sosial dengan menjalankan reforma agraria sebagai instrumen untuk
menjamin pemenuhan hak atas pangan.Dalam rangka mewujudkan reforma agraria
sesuai dengan ketentuan di atas maka diperlukan gerakan bersama seluruh
komponen bangsa serta didukung dengan perangkat hukum yang memadai.
Melihat kenyataan pada kasus MIFEE
menyiratkan bahwa upaya harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma agraria
harus segera dilaksanakan.Potensi peminggiran secara ekonomi dan akses terhadap
sumber-sumber agraria bagi masyarakat rentan harus diminimalisir dengan cara
mempermudah laju ekspansi dan penetrasi modal ke masyarakat.
Rekomendasi dalam kerangka agenda
reforma itu meliputi : Pertama, dalam
hal penguasaan, dipandang penting untuk diselenggarakannya penataan penguasaan
lahan (land reform) , khususnya
menyangkut redistribusi tanah kepada petani tak bertanah (landless) dan petani kecil lainnya. Bersamaan dengan itu, perlu
diadakan pengkajian ulang (review)
terhadap seluruh kebijakan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam sebelum
menyusun kebijakan baru. Adapun kebijakan baru harus memastikan kuatnya perlindungan
hak petani dan masyarakat kecil lainnya.[7]
Kedua, dalam hal
penanganan konflik agraria ke depan diperlukan pembatasan dan pengaturan yang
jelas mengenai hak menguasai dari negara agar tidak menenggelamkan hak rakyat
atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Begitu juga dengan pengaturan
penyelesaian konflik yang perlu diprioritaskan sebelum membuat pengaturan
hal-hal lainnya semacam Undang-Undang.Sekali lagi, perlu dikembangkan mekanisme
penyelesaian konflik yang mengutamakan pemulihan hak-hak korban.
Ketiga, bagi isu-isu
hak masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya,, diidealkan peran negara
sebagai fasilitator dan regulator dalam menerapkan kebijakan pengelolaan Sumber
Daya Alam yang menjunjung tinggi asas keadilan dan keberlanjutan. Diperlukan
juga penegasan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak rakyat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
C.
Penutup
Negara sebagai organisasi kedaulatan
seluruh rakyat memiliki tiga kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya
yaitu menghormati “to respect”,
melindungi “to protect”, dan
memenuhinya “to fulfill” termasuk
terhadap kebutuhan pangan dan hak atas tanah.
Sesuai dengan pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang Pokok Agraria , Negara memiliki wewenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa termasuk mengatur mengenai hubungan hukum dan perbuatan
hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Melihat pelaksanaan MP3EI dan kasus
mega proyek MIFEE dengan segala aspek keuntungan dan kerugiannya, pemerintah
memerlukan suatu solusi untuk menjamin bahwa sektor strategis pertanahan dan
lahan pertanian/perkebunan harus dikuasai sepenuhnya oleh rakyat Indonesia
untuk mencapai kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Upaya tersebut dapat dilakukan
melalui harmonisasi agenda MP3EI dengan agenda reforma agraria meliputi :
penataan kembali pemilikan dan penguasaan tanah misalkan melalui redistribusi
tanah kepada landless, perlu diadakan pengkajian ulang (review) terhadap
seluruh kebijakan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam sebelum menyusun
kebijakan baru agar kebijakan baru dapat memastikan kuatnya perlindungan hak
petani dan masyarakat kecil lainnya, perlunya pengaturan pembatasan dan pengaturan
yang jelas mengenai hak menguasai dari negara agar tidak menenggelamkan hak
rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya, meningkatkan peran negara sebagai
fasilitator dan regulator dalam menerapkan kebijakan pengelolaan Sumber Daya
Alam yang menjunjung tinggi asas keadilan dan keberlanjutan.
Daftar
Pustaka
Bernstein,
Henry, Terence J.Byress, Saturnino Borras, Cristobal Kay dkk. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21.
Yogyakarta : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Borras dan Franco.2012. Global Land Grabbing and Trajectories of
Agrarian Change : A Prelimanary Analysis. Journal of agrarian Change.Vol 12
No.1.
Grand Desain Pengembangan Pangan dan
Energi Skala Luas (Food and Energy Estate).
2010. Jakarta.
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama 2011
oleh Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian.Hal.159.
Lapera. 2002. Prinsip-Prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama
Limbong,
Bernhard. 2012. Konflik Pertanahan.
Jakarta : Pustaka Margaretha
Napiri,
Yusuf, Mohamad Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti. Reforma Agraria : Kepastian yang Harus Dijaga. Bogor : Koalisi
Rakyat untuk Kedaulatan Rakyat
Pusat
Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
2007. Reforma Agraria Mandat Politik,
Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “ Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan. Jakarta : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Rosset,
Peter, Klaus Deinenger, La Via Campesina dkk. 2008. Reforma Agraria : Dinamika Aktor dan Kawasan. Yogyakarta : Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional
Setiawan,
Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi
“Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17
April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press.
Stoler, L.Ann. 2005. Reforma Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979. Yogyakarta : Karsa
Tohari, Amin. 2013. Land
Grabbing dan Potensi Internal
Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) di Papua dalam Jurnal Bhumi Edisi Nomor 37 Tahun 2012. Yogyakarta : STPN Press
Wiradi,
Gunawan. 2000. Reforma Agraria Perjalanan
yang Belum Berakhir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset
Zakaria,et.al. 2011.MIFFE : Tak Terjangkau Angan Malind.Yayasan
Pustaka : Jakarta
Situs Berita Online :
http://www.setkab.go.id/mp3ei.html
diunduh tanggal 6 Oktober 2013
http://www.kompasiana.com/mp3ei.html
diunduh tanggal 6 Oktober 2013
http://www.aktual.co/sosial/130022kpa-konsep-mp3ei-memperunyam-terwujudnya-reformasi-agraria
diunduh 6 Oktober 2013
Peraturan perundang-undangan :
UUD 1945
Tap MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Perluasan
dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Perpres No. 26 tahun 2012 tentang
Cetak Biru Penegmbangan Sistem Logistik Nasional
Keppres No. 5 tahun 2007 tentang PercepatanPembangunan
Papua dan Papua Barat
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2009 tentang Zona
Ekonomi Khusus
[1]Grand
Desain Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas (Food and Energy
Estate).2010.Jakarta
[2]Borras
dan Franco.2012. Global Land Grabbing and
Trajectories of Agrarian Change : A Prelimanary Analysis. Journal of agrarian
Change.Vol 12 No.1, Hal 34-59
[3]Tohari,Amin.2013.Land Grabbing dan Potensi Internal
Displacement Persons (IDP) dalam Merauke Integrated Food And Energy Estate
(MIFEE) di papua dalam Jurnal Bhumi Edisi Nomor 37 Tahun 2012.STPN Press:
Yogyakarta.
[4]Zakaria,et.al.2011.MIFFE:Tak
Terjangkau Angan Malind.Yayasan Pustaka : Jakarta.
[5]Setiawan,
Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi
“Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17
April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press. Hlm.436.
[6]Setiawan,
Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi
“Food Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17
April 2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press. Hlm.436.
[7]Setiawan,
Usep. 2010. Kiat Mengakhiri Kontroversi “Food
Estate” Refleksi Hari Perjuangan Petani Internasional, Sinar Harapan 17 April
2010 dalam Buku Kembali Ke Agraria. Yogyakarta : STPN Press. Hlm 92.
[1]
http://www.setkab.go.id/mp3ei.html.28
Maret 2012.Regulasi telah diterbitkan Untuk Sukseskan MP3EI.
[2]Stoler,L.Ann.2005.Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk
Perkebunan Sumatera 1870-1979.Yogyakarta:Karsa.
[3]Grand
Desain Pengembangan Pangan dan Energi Skala Luas (Food and Energy
Estate).2010.Jakarta
[4]Borras
dan Franco.2012. Global Land Grabbing and
Trajectories of Agrarian Change : A Prelimanary Analysis. Journal of agrarian
Change.Vol 12 No.1, Hal 34-59
[1] Asisten
Deputi Bidang Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian,
Dr.Ir.Abdul Kamarzuki dalam Buletin Tata Ruang Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional (BKPRN) edisi Maret-April 2011 dalam http://www.setkab.go.id/mp3ei.html
pada tanggal 16 April 2012, Dukung MP3EI, Bitung Segera Jadi Kawasan Ekonomi
Khusus. Diunduh pada hari Minggu, 6 Oktober 2013 pukul 07.00 WIB
[2] Ibid.
[3] Opcit.
[4]http://setkab.go.id/mp3ei.html.15
Mei 2012. Sukseskan MP3EI, Pemerintah siap atasi Kendala Lahan.
Diunduh pada hari Minggu, 6 Oktober 2013 pukul 07.00 WIB.
[1]Lampiran
Perpres No.26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik
Nasional. hal 1.
[2]Lampiran
Perpres No.32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. hal 1.
[3]http://www.aktual.co/sosial/130022kpa-konsep-mp3ei-memperunyam-terwujudnya-reformasi-agraria diunduh pada hari Minggu, 6 Oktober 2013 pukul 10.00
WIB.
[4]
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.2011.Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025. Cetakan Pertama 2011 oleh Deputi Bidang Infrastruktur dan
Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.Hal.159.
[5] Perpres
No.32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia . hal 1.
[6]Lampiran
Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia hal 1.
[7]Lampiran
Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia hal 4.
[8]Sambuta
Presiden Republik Indonesia Mei 2011 yang dituangkan dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2025. Cetakan Pertama 2011 oleh Deputi Bidang Infrastruktur dan
Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.Hal 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar