A. Pengantar
Pasal
19 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada ayat (2),
selanjutnya dijelaskan bahwa Pendaftaran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
1.
pengukuran
perpetaan dan pembukuan tanah;
2.
pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
3.
pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Ketentuan
pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 di atas, diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997.
Menurut PP No. 24 Tahun 1997 pasal 1 butir 1, yang dimaksud dengan pendaftaran
tanah adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan
dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang‑bidang tanah dan satuan‑satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang‑bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak‑hak tertentu yang membebaninya.
Selanjutnya
berdasarkan pada pasal 11 PP No. 24 tahun 1997, dapat diambil kesimpulan bahwa
pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran
tanah.
Kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek
pendaftaran tanah yang telah terdaftar dan pemegang hak yang
bersangkutan wajib mendaftarkan perubahannya. Perubahan yang dimaksud salah
satunya disebabkan oleh pewarisan, atau biasa disebut dengan pendaftaran peralihan
hak karena pewarisan. Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada
saat pemegang hak atau pewaris meninggal dunia, sejak saat itu para ahli waris menjadi
pemegang hak yang baru.[1]
Hukum yang berlaku demikian dinamakan dengan hukum waris. Oleh karena itu, hukum
waris mengandung pengertian, yang meliputi kaidah-kaidah dan asas-asas yang
mengatur prosedur beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia.[2]
Berkaitan
dengan proses pewarisan, Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa
warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang
kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah
dibagi-bagi ataupun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.[3]
Oleh karena itu, adanya pembagian tersebut mengakibatkan adanya perubahan data pada
obyek pendaftaran tanah karena proses pewarisan. Maka pemegang hak yang dalam
hal ini adalah para ahli waris, wajib mendaftarkan perubahan akibat pembagian
atau pemecahan tersebut kepada Kantor Pertanahan. Dalam proses pendaftaran
pemecahan karena pewarisan tersebut, ada perbedaan dalam hal pengajuan
persyaratan pendaftarannya, yaitu mengenai perlu tidaknya pembuatan Akta
Pembagian Hak Bersama untuk harta kekayaan yang telah dibagi-bagi.
Peralihan hak
karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak meninggal dunia.
Sejak itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Pendaftaran
peralihan hak karena pewarisan diwajibkan
dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi
ketertiban tata usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan
selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir.[4]
Harta kekayaan yang diwariskan bisa dalam keadaan telah terbagi-bagi maupun
belum terbagi-bagi, seperti yang disebutkan dalam pendahuluan di atas.
Secara umum, berdasarkan
pasal 111 ayat (1) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PMNA/Ka.BPN
No. 3 Tahun 1997), permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan
melampirkan :
1.
sertipikat hak atas tanah atau sertipikat Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun atas nama pewaris, atau, apabila mengenai tanah
yang belum terdaftar, bukti pemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997;
2.
surat kematian atas nama pemegang hak yang
tercantum dalam sertipikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Lurah tempat
tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau
intansi lain yang berwenang;
3.
surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat
berupa :
a.
wasiat dari pewaris, atau
b.
putusan Pengadilan, atau
c.
penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau
d.
- bagi
warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat
oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu
meninggal dunia;
- bagi warganegara Indonesia keturunan
Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris,
- bagi warganegara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
4.
surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila
yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang
bersangkutan;
5.
bukti identitas ahli waris;
Untuk harta
kekayaan yang telah dibagi-bagi, pendaftaran pemecahan karena waris dalam pasal
42 ayat (4) PP 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa:
“Jika
penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut
didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada seorang
penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan
berdasarkan surat tanda bukti ahli waris dan akta pembagian waris tersebut.
“
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 42 ayat (4),
disebutkan:
“Apabila
dari akta pembagian waris yang dibuat sesuai ketentuan yang berlaku bagi ahli
waris sudah ternyata suatu hak yang merupakan harta waris jatuh pada seorang
penerima warisan tertenttu, pendaftaran
peralihan haknya dapat langsung dilakukan tanpa alat bukti peralihan hak lain,
misalnya akta PPAT.”
Hal
ini lebih jelas disebutkan dalam pasal
111 ayat (3) PMNA/
Ka.BPN No. 3 Tahun 1997, yang berbunyi:
“akta mengenai
pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh semua ahli waris
dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta notaris”.
Pasal
111 ayat (2) yang dimaksud berbunyi:
“apabila pada waktu permohonan
pendaftaran peralihan sudah ada putusan pengadilan atau penetapan hakim/Ketua
Pengadilan atau akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud Pasal 42
ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka putusan/penetapan atau
akta tersebut juga dilampirkan pada permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Dengan merujuk dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa jika penerima warisan
lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai
dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada seorang penerima
warisan tertentu atau dalam keadaan
telah dibagi, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun itu dilakukan langsung kepada penerima warisan yang
bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris (akta
pembagian waris di bawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2
orang saksi atau dengan akta notaris) tersebut, tanpa alat bukti peralihan hak lain, misalnya akta PPAT. Contoh
akta pembagian waris dapat dilihat pada lampiran makalah ini.
Untuk bidang tanah yang belum dibagi,
sebagaimana
diatur dalam Pasal 42 ayat (5) yang berbunyi:
“Warisan berupa hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus
dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya,
didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat
tanda bukti sebagai ahli waris
dan/atau akta pembagian waris tersebut.”
Dan selanjutnya dalam penjelasan
pasal 42 ayat (5) disebutkan bahwa:
“Sesudah hak tersebut didaftar
sebagai harta bersama, pendaftaran
pembagian hak tersebut selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal
51”
Isi
pasal 51 ayat (1) :
“Pembagian hak bersama atas tanah
atau milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing‑masing pemegang hak
bersama didaftar berdasarkan akta yang
dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan
kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama
tersebut.“
Dalam pasal 111 ayat (4) lebih
jelas disebutkan juga bahwa:
“apabila ahli waris lebih dari 1
(satu) orang dan belum ada pembagian waris maka pendaftaran peralihan haknya
dilakukan kepada para ahli waris sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak
selanjutnya dapat dilakukan sesuai ketentuan pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997.”
Oleh karena itu,
untuk bidang tanah yang belum dibagi dan para ahli warisnya belum mau membagi,
maka bidang tanah tersebut didaftarkan sebagai hak bersama terlebih dahulu. Jika
sertipikat tersebut mau dipecah atas nama masing-masing ahli waris, harus
disertai dengan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) yang dibuat oleh PPAT.
Namun, pada
kenyataannya terdapat perbedaan dalam pemahaman regulasinya, bahwa pendaftaran pembagian waris dengan akta
notaris atau akta di bawah tangan diminta dengan akta PPAT,
yaitu Akta Pembagian Hak Bersama.Salah
satu Kantor Pertanahan yang melaksanakan pendaftaran pemecahan karena waris
yang mengharuskan menggunakan akta PPAT, baik untuk tanah yang telah dibagi
maupun belum dibagi adalah Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta.
C.
Kesimpulan
Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik
Indonesia. Pelaksanaan pendaftaran tanah yang dimaksud meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kegiatan pemeliharaan
data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek
pendaftaran tanah yang telah terdaftar dan pemegang hak yang
bersangkutan wajib mendaftarkan perubahannya. Perubahan yang dimaksud salah
satunya disebabkan oleh pewarisan.
Warisan
menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal (pewaris), baik
harta itu telah dibagi-bagi ataupun
masih dalam keadaan tidak/belum
terbagi-bagi. Untuk harta yang telah dibagi, menurut ketentuan pasal 42
ayat (4) PP No. 24 Tahun 1997 dan penjelasannya, serta PMNA/ Ka.BPN No. 3 Tahun
1997 pasal 111 ayat (3), dijelaskan bahwa pendaftaran peralihan haknya dilakukan langsung kepada penerima warisan
yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris (akta
pembagian waris di bawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2
orang saksi atau dengan akta notaris) tersebut, tanpa alat bukti peralihan hak lain, misalnya akta PPAT. Sedangkan
untuk harta yang belum dibagi, menurut ketentuan pasal 42 ayat (5) dan penjelasannya,
pasal 51 PP No. 24 Tahun 1997, serta pasal 111 ayat (4) PMNA/ Ka.BPN No. 3
Tahun 1997 dijelaskan bahwa untuk bidang tanah yang belum
dibagi dan para ahli warisnya belum mau membagi, maka bidang tanah tersebut
didaftarkan sebagai hak bersama terlebih dahulu. Jika sertipikat tersebut mau
dipecah atas nama masing-masing ahli waris, harus disertai dengan Akta
Pembagian Hak Bersama (APHB) yang dibuat oleh PPAT
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Rizal. 2008. “Tesis Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Warisan
Berkaitan Dengan Pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama”. Universitas Diponegoro:
Semarang.
Harsono,
Boedi. 2007. “Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah”. Jakarta: Djambatan;
Hilman Hadikusumah, 1980. Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni;
Suparman, Eman. 2007. “Hukum
Waris Indonesia“. PT. Refika Aditama: Bandung. Cetakan kedua;
[1]
Rizal Effendi, Tesis
Pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Karena Warisan Berkaitan
Dengan Pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama, (Semarang : Universitas,
2008)
[2]
Eman Suparman, Hukum
Waris Indonesia. (Bandung : PT. Refika Aditama, 2007) Cetakan kedua.
hal 2.
[3]
Hilman Hadikusumah, Hukum
Waris Adat, (Bandung : Alumni, 1980) hal.23.
[4]
Boedi Harsono,
Hukum Agraria
Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok
Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya (Jakarta
: Djambatan, 2008), Hal. 519
Tidak ada komentar:
Posting Komentar