PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu
bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari
hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan
terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang
meninggal dunia tersebut. [1] Penyelesaian
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur
oleh hukum waris.
Hukum waris di Indonesia hingga kini
dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris
adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman
hukum ini semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat yang berlaku pada
kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti
bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Pada umumnya
dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem patrilineal (terdapat
pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali),
(2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau), dan (3) sistem
bilateral atau parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera
Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,
Ternate dan Lombok).[2]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas ,penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana eksistensi pluralisme hukum waris di
Indonesia?
2.
Bagaimana solusi untuk mengatasi pluralisme hukum
waris di Indonesia?
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Mengetahui pluralisme
hukum waris yang berlaku di Indonesia.
2.
Mengetahui permasalahan yang diakibatkan oleh
pluralisme hukum waris di Indonesia.
3.
Mengetahui pentingnya unifikasi hukum waris di
Indonesia.
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Sebagai bahan diskusi mengenai pluralisme hukum waris
di Indonesia dan pentingnya unifikasi hukum waris nasional.
2.
Sebagai prasyarat dari mata kuliah Hukum Waris
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris
Seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, hukum waris di Indonesia masih beraneka warna
coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk kepada hukumnya
masing-masing. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tentang arti dan
makna hukum waris. Namun demikian, apabila berbicara mengenai hukum waris, maka
pusat perhatian tidak terlepas dari 3 ( tiga ) unsur pokok yakni :
·
adanya harta peninggalan ( kekayaan )
pewaris yang disebut warisan,
·
adanya pewaris yaitu orang menguasai
atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau meneruskannya,
·
adanya ahli waris, orang yang menerima
pengalihan ( penerusan ) atau pembagian harta warisan itu .
Berikut
beberapa pengertian hukum waris :
1.
Menurut H. Abdullah Syah dalam hukum
kewarisan Islam (hukum faraidh ), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa
ialah takdir ( qadar / ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus
mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra. [3]
2.
Menurut pasal 171 huruf A Kompilasi
Hukum Islam (KHI) menyatakan”Hukum
Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing.”
3.
Menurut Soepomo ditinjau dari hukum adat, pengertian hukum
waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper
barang-barang yang tidak berwujud benda
‘Immateriele Goederen’ dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada
keturunannya . [4]
4.
Menurut Kitab Undang-undang hukum
perdata ( BW ), pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI
yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."
B. Pluralitas Hukum Waris di Indonesia
Hukum
waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem hukum waris yang
dianut di Indonesia meliputi : Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum
Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
Berikut
akan dibahas mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum tersebut.
1.
Hukum
Waris Islam
Sebagaimana diketahui bersama bahwa
hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. “ Faraidh menurut istilah
bahasa ialah takdir / qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi ahli waris.
Harta
warisan menurut Hukum Islam yaitu “sejumlah
harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”.
Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah
harta benda serta segala hak, “setelah
dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran
lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris”[5]
Adapun yang
menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapatkan bagian harta
peninggalan menurut Al-Qur’an, yaitu:
a.
Karena
hubungan darah;
b.
Hubungan
semenda atau pernikahan;
c.
Hubungan
persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Qur’an bagiannya tidak lebih
dari sepertiga harta pewaris;
d.
Hubungan
kerabat karena sesame hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak
ada hubungan darah.
Ahli waris
dalam hukum Islam secara garis besar dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
a.
Ahli
waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh sehingga bagian mereka
selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah.
b.
Ahli
waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah
yaitu golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau sisa. Jadi, bagian
ahli waris yang terlebih dahulu dikeluakan adalah dzul faraa’idh, setelah itu sisanya diberikan kepada ashabah.
c.
Ahli
waris menurut garis ibu, disebut dzul
arhaam. Golongan ini baru akan mewaris jika sudah tidak ada dzul faraa’idh dan tidak ada pula ashabah.
Di samping
itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu “ahli waris
yang didahulukan untuk mewaris” dari kelompok ahli waris lainnya, yang terdiri
dari:
a.
Keutamaan
Pertama, yaitu:
-
anak
laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang
meninggal dunia
-
ayah,
ibu dan duda/janda, bila tidak terdapat anak
b.
Keutamaan
Kedua, yaitu:
-
saudara,
baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan saudara;
-
ayah,
ibu dan janda atau duda, bila tidak ada saudara
c.
Keutamaan
Ketiga, yaitu:
-
Ibu
dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah satu, bila tidak ada anak
dan tidak ada saudara;
-
Janda
atau duda.
d.
Keutamaan
Keempat
-
Janda
atau duda;
-
Ahli
waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.
Di antara ahli waris, ada yang tidak patut dan tidak berhak mendapat
bagian waris dari pewarisnya karena beberapa penyebab, yaitu:
a.
Ahli
waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari keluarga yang
dibunuhnya;
b.
Orang
yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam,
demikian pula sebaliknya;
c.
Orang
kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama Islam.
Orang-orang
yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang disebutkan di atas,
apabila ternyata telah berpura-pura dan menguasai sebagian atau seluruh harta
peninggalan pewaris, maka dia berkewajiban mengembalikan seluruh harta yang
dikuasainya. “Tidak patut dan tidak berhak mendapat warisan” berbeda dengan
“penghapusan hak waris atau hijab” karena yang menyebabkan timbulnya persoalan
itu pun berbeda. Penghapusan hak waris dapat terjadi jika:
a.
Karena
ahli waris yang mewaris bersama-sama dia, sehingga bagian warisnya dikurangi.
Misalnya: ibu memperoleh 1/6 bagian jika mewaris bersama anak atau cucu atau
beberapa saudara.
b.
Karena
ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Misalnya: cucu
laki-laki tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
2.
Hukum
Waris Adat
Pandangan hukum adat terhadap hukum
kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa
persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis (berdasarkan
keturunan) dan persekutuan territorial (berdasarkan kependudukan yakni
persekutuan hukum teritorial).
Dalam persekutuan yang geneologis,
anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka
berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat
hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya
merasa terikat satu sama lain karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah
yang sama.
Persekutuan genelogis disebut desa
atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Sedangkan persekutuan
hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat di beberapa daerah
seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di Mingkabau disebut
dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Dalam persekutuan geneologis ini
terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan),
matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu).
Menurut sistem patrilineal ini keturunan
diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi
penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi
saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki
ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian
seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu,
Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih mementingkan
keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara matrilineal adalah
keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah
pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu
persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga
sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam keturunan ibunya. Sistem
matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa daerah
Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal lebih menghargai
ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-laki.
Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah.
Sedangkan yang terakhir, pertalian
darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua
keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini (bilateral).
Golongan masyarakat inilah yang
meletakkan dasar-dasar persamaan kedudukan antar suami dan isteri di dalam
keluarga masing-masing.[6]
Di dalam hukum waris adat dikenal
beberapa prinsip yaitu :
I.
Prinsip azas umum yang menyatakan ”Jika pewarisan tidak dapat
dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini dilakukan secara keatas atau
kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau
perempuan dan keturunan mereka.Kalau tidak ada anak atau keturunan secara
menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas .
Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta
dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh “.
II.
Prinsip penggantian tempat ( Plaats
Vervulling ) yang menyatakan bahwa jika seorang anak sebagai ahli waris dari
ayahnya, dan anak tersebut meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan
oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari sipeninggal harta )
Dan warisan dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya
sebagai bagian warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga pengangkatan
anak ( adopsi ), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (
Kandung ) “.[7]
Selanjutnya akan
dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya
tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya
diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada
ketentuannya . Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris
dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh
hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris
wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.
Kalau harta warisan
akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :
1)
Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda
dari pewaris )
2)
Anak laki-laki tertua atau perempuan
3)
Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur ,
adil dan bijaksana
4)
Anggota kerabat tetangga , pemuka
masyarakat adat atau pemuka agama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para
ahli waris “.[8]
Apabila terjadi konflik
( perselisihan ) , setelah orang tua yang masih hidup , anak lelaki atau
perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun
telah dilakukan secara musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta
bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum waris adat
tidak mengenal azas “ Legitieme Portie “ atau bagian mutlak.
Setiap sistem
keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan yang
terdapat dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:
a.
Sistem
Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek
moyang laki-laki, contohnya pada masyarakat Batak. Ahli waris atau para ahli
waris dalam sistem hukum adat waris di tanah patrilineal, terdiri atas:
1)
Anak
laki-laki;
2)
Anak
angkat;
3)
Ayah
dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris;
4)
Keluarga
terdekat dalam derajat yang tidak tertentu;
5)
Persekutuan
adat.
b.
Sistem
Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek
moyang perempuan, contohnya pada masyarakat Minangkabau. Harta warisan dalam
hukum adat waris Minangkabau terdiri atas:
1)
Harta
Pusaka Tinggi, yaitu harta yang turun dari beberapa generasi.
2)
Harta
Pusaka Rendah, yaitu harta yang turun dari satu generasi.
3)
Harta
Pencaharian, yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko.
4)
Harta
Suarang, yaitu harta yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama
masa perkawinan.
Menurut hukum adat Minangkabau, ahli waris dapat
dibedakan antara:
1)
Waris
bertali darah, yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri
atas waris satampok (setampuk), waris
sejangka (sejengkal) dan waris saheto (sehasta). Masing-masing ahli
waris tersebut mewaris secara bergiliran, artinya selama waris satampok masih ada maka waris sejangka belum berhak mewaris, demikian
seterusnya.
2)
Waris
bertali adat, yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak
warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.
c.
Sistem
Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua
sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu sehingga kedudukan anak
laki-laki dan perempuan sama atau sejajar, contohnya di Jawa, Madura, Riau,
Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan
Lombok. Harta warisan menurut hukum adat waris parental terdiri atas:
1)
Harta
Asal, yaitu kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun
selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.
2)
Harta
Bersama (harta gono-gini)
Ahli waris di dalam hukum adat waris parental yaitu:
1)
Sedarah
dan Tidak Sedarah
Ahli
waris sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu, sedangkan
ahli waris tidak sedarah terdiri dari anak angkat , janda/duda.
2) Kepunahan atau Nunggul Pinang, yaitu pewaris tidak
memiliki ahli waris sehingga harta warisannya diserahkan kepada desa dan
selanjutnya desa lah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta
kekayaan tersebut.[9]
Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh
terhadap pengaturan hukum adat waris, terutama terhadap penetapan ahli waris
dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga
sistem kewarisan, yaitu:
a.
Sistem
Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli
waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dll.
b.
Sistem
Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris
harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan
tersebut tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris,
contohnya “harta pusaka” di
Minangkabau dan “tanah dati” di
semenanjung Hitu Ambon.
c.
Sistem
Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta
peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada
dua macam, yaitu:
1)
Mayorat
laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki
yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.
2)
Mayorat
perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal
dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.
3.
Hukum
Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
Dalam hukum
waris barat terdapat dua unsur penting yaitu :
a.
Unsur individual (menyangkut diri
pribadi seseorang)
Pada prinsipnya
seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya
sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang dimilikinya termasuk
harta kekayaannya menurut kehendaknya.[10]
b.
Unsur sosial (menyangkut kepentingan
bersama)
Perbuatan yang
dilakukan pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam unsur individual
dapat mengakibatkan kerugian pada ahli waris sehingga Undang-undang memberikan
pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan ahli waris.[11]
Pembatasan tersebut dalam kewarisan perdata disebut
dengan istilah Legitieme
Portie yang artinya bagian tertentu/ mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh
karena bagian mutlak tersebut erat kaitannya dengan pemberian/ hibah yang
diberikan pewaris, yaitu pembatasan atas kebebasan pewaris dalam membuat
wasiat, maka Legitieme Portie diatur
di dalam bagian yang mengatur mengenani
wasiat atau testament.
Sistem waris BW
tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang
diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun
juga merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan
beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Hal ini
ditegaskan di dalam Pasal 849 BW, yaitu “Undang-undang
tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu
peninggalan untuk mengatur pewarisan.”
Dasar hukum
seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris
BW ada dua cara, yaitu:
a.
Menurut
ketentuan undang-undang (ab intestato)
Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas
menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia,
namun bila ternyata orang tersebut tidak menentukan sendiri ketika masih hidup
maka undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang
ditinggalkan seseorang tersebut. Ahli waris menurut undang-undang berdasarkan
hubungan darah, terdapat empat golongan, yaitu:
1)
|
Golongan I
|
:
|
keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak dan keturunan
mereka beserta suami atau isteri yang
hidup paling lama.
|
2)
|
Golongan II
|
:
|
keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara,
baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
|
3)
|
Golongan III
|
:
|
kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
|
4)
|
Golongan IV
|
:
|
anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya
sampai derajat keenam.
|
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki
dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan
bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota
keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula,
golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.
b.
Ditunjuk
dalam surat wasiat (testamen)
Surat wasiat (testamen)
merupakan suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal
dunia.[12]
Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat
surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris
menurut surat wasiat jumlahnya tidak tentu sebab bergantung pada kehendak si
pembuat wasiat.
Dari kedua macam
ahli waris tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli waris menurut
undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan
seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya, yaitu dala
Pasal 881 ayat (2), yaitu ”Dengan sesuatu
pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris
tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
Undang-undang menyebut empat hal
yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena
kematian, yaitu:
a.
Seorang
ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan
membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris;
b.
seorang
ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan
memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan
yang diancam pidana empat tahun atau lebih;
c.
ahli
waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencagah pewaris
untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d.
seorang
ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
Seseorang yang akan menerima
sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Harus
ada orang yang meninggal dunian (Pasal 830 BW);
b.
Harus ada ahli waris atau para ahli waris
harus ada pada saat pewaris meninggal
dunia;
c.
Seorang
ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.
Jika
syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka para ahli waris diberi kelonggaran
oleh undang-undang untuk menentukan sikap terhadap suatu harta warisan selama
empat bulan. Seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
a.
Menerima
warisan dengan penuh;
b.
Menerima
warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang
pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu (menerima warisan secara beneficiaire);
c.
Menolak
warisan.
Baik menerima
maupun menolak warisan, masing-masing memiliki konsekuensi sendiri-sendiri
terhadap ahli waris.
Apabila harta warisan telah dibuka namun
tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, maka
warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam
keadaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan
wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan tersebut harus
dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang
apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan
diputus oleh hakim. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung sejak
terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta
Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada
negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi milik
negara.
(Perbedaan
tata cara pengaturan ketiga macam hukum
waris ini dapat dilihat pada lampiran 1.1)
C. Kondisi Obyektif Kompleksitas dan
Potensi Konflik Pluralisme Hukum Waris
Kesejarahan
hukum di Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris
berlaku secara bersama-sama meski titik
mula munculnya tidak bersamaan namun telah lama menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah
perkembangannya, dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat lebih dahulu ada
dibandingkan dengan sistem hukum waris yang lain. Hal ini dikarenakan
hukum adat, termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia, berasal
dari nenek moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara
turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.[13]
Ketika agama
Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi ‘kontak yang akrab’ antara ajaran mau
pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan hukum
adat. Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah di beberapa daerah. Di Aceh
terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom
cre, lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat
dicerai-pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat
dengan sifat suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengati adat memakai
[artinya, adat dan hukum Islam (syara’) saling topang menopang, adat yang
benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.[14] Di
Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat
hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adat (adat bersendi syara’ dan
syara’ bersendi adat). [15]
Hubungan
antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan
oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Jawa, terutama di daerah pedesaan.[16]
Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada
sistem pembagian warisan yang disebut dengan sapikul-sagendong.
Titik
singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya
“keistimewaan” antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan
sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris
dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung
bersifat patrilineal.
Perbedaan
yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata anak laki-laki berbanding
sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris
dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah
atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris
ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke
bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri
yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang
ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun
1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan
kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik
laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada
peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼
(seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersama-sama saudara pewaris;
c. Golongan
ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan
keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga
lainnya sampai derajat keenam.
Dalam masyarakat Islam di Indonesia hukum
Islam itu tidak berlaku sebab yang berlaku adalah hukum adat. Hukum Islam baru
berlaku jika dinyatakan berlaku oleh hukum adat. [17] Akan tetapi kenyataan menunjukkan
tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di
Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad 19 melahirkan rumusan yang mantap
mengenai hubungan hukum adat dan hukum Islam.
Sementara itu dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang
bulan Juli 1968 diperoleh kesimpulan bahwa (1) harta pusaka tinggi yang
diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan
menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan
menurut hukum Islam.[18]
Melalui justifikasi formal tersebut dapat diketengahkan bahwa telah terjadi
harmonisasi antara hukum Islam dengan hukum adat dalam proses pelembagaan hukum
waris di masyarakat, terutama di masyarakat Minangkabau.
Di samping kedua hukum waris yang sudah akrab tersebut, masyarakat
Indonesia juga telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW.
Pada masa penjajahan bangsa Belanda dulu, dengan asas konkordansi BW dinyatakan
berlaku untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga dinyatakan
berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Sementara bagi golongan Timur
Asing bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta
benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku
hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.[19]
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak lepas dari strategi hukum. pemerintah
kolonial Belanda untuk memecah belah penduduk yang ada di tanah jajahannya. [20] Strategi dengan menggunakan hukum untuk
memecah belah penduduk di Indonesia dibingkai melalui pasal 131 Indische
Staatsregeling. Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia
terbelah-belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1) golongan Eropa,
(2) golongan Timur Asing (Tionghoa dan non-Tionghoa), dan (3) golongan pribumi.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum waris di Indonesia
tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masing langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”, maka
ketiga sistem hukum waris tersebut kemudian menjadi bagian hukum nasional.
Keberadaan pasal II Aturan Peralihan tersebut merupakan keharusan
konstitusional, menginat (1) ahli hukum pada saat itu masih sangat sedikit, dan
(2) kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengisi kevakuman hukum (rechtsvacuum)
dari bangsa yang baru merdeka dan sedang berjuang untuk meneguhkan eksistensi
kemerdekaannya.[21]
D. Pentingnya Unifikasi Hukum Waris di
Indonesia
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak selamanya berjalan
beriringan. Para ahli hukum seringkali memandangnya sebagai sebuah konflik baik
sebagai hasil penelitian murni maupun untuk kepentingan tertentu.
Cristian van den
Berg pernah mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang
menyatakan bahwa hukum agama adalah hukum adat di mana hukum adat telah
meresepsi hukum Islam. [22] Teori
ini kemudian dibantah dengan teori dari Christian Snouck Hurgronye dengan teori
receptie. [23] Teori
ini menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah diterima oleh hukum Adat.[24]
Dalam
memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam
berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita
hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak
bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.[25]
Terakhir
teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin yakni cultural
existence theory, di mana hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang dimaksud
adalah Pengadilan Agama) berkembang karena adanya kebutuhan social dan budaya.
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami
perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat
relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya tetap
sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris adat berkembang melalui
berbagai macam yurisprudensi (judge made
law). Yang agaknya berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam.
Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi
nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal
dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hanya saja masih ada yang terasa aneh dalam praktik pelaksanaan hukum waris
di Indonesia ini. Meski secara yuridis UUD 1945 dan amandemennya sudah tidak
mengenal lagi penggolong-golongan penduduk, namun secara faktual empiris,
bahkan secara yuridis, masalah golongan penduduk ini masih sangat terasa kuat.
Hal ini berakibat pada subyek hukum pengguna hukum waris yang berbeda-beda
pula. Lazimnya, hukum waris Barat ini dipakai oleh Warga Negara Indonesia (WNI)
keturunan Tionghoa.[26]
Sementara itu, secara hipotetis dapat diketengahkan bahwa masyarakat adat
hampir pasti menggunakan hukum waris adat. Tetapi persoalan bisa muncul, yakni
apakah masyarakat adat yang beragama Islam mesti menggunakan hukum waris adat.
Agaknya jawaban atas persoalan ini tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Diperlukan pengkajian dan penelitian yang cukup menantang untuk memetakan dan
menjawab persoalan tersebut. Apakah lingkaran-lingkaran hukum adat (rechtskringen) dari van Vollenhoven
memang masih hidup secara faktual? Perlu penelitian lebih lanjut.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan hukum waris tersebut lebih kompleks
lagi. Mengapa? Karena hukum yang ditujukan kepada mereka yang diciptakan
melalui legislasi nasional ternyata tidak memberi kejelasan aturan hukum yang
seharusnya untuk menyelesaikan masalah kewarisan. Hal ini dapat disimak pada
pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang … (b)
kewarisan, …, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, ….
Berdasarkan ketentuan yang mengatur masalah kewarisan tersebut dapat
diketengahkan bahwa hukum waris Islam bukan merupakan ketentuan hukum yang
bersifat imperatif bagi orang Islam. Ini berbeda dengan ketentuan perkawinan
yang bersifat imperatif bagi orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan.
Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang Islam di Indonesia adalah bersifat
fakultatif (choice of law) yang barang tentu di aras faktual tidak sedikit yang
berpaling darinya.
Sebagaimana halnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
bidang kewarisan dalam KHI tersebut juga bukan merupakan ketentuan yang
sifatnya wajib dilaksanakan oleh orang Islam dalam masalah pembagian warisan.
KHI hanya merupakan pedoman saja – yang berarti dapat disimpangi – bagi orang
atau instansi yang memerlukan. Hal ini dapat disimak pada bagian Menimbang
huruf b Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berbunyi: “bahwa Kompilasi Humum
Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan masalah-masalah
di bidang tersebut”.[27] Jadi,
hukum waris Islam digunakan atau tidak itu masalah pilihan yang mandiri bagi
orang Islam.
Barangkali kondisi demikian ini dapat dilihat sebagai suatu berkah
keadilan, tetapi bisa juga merupakan kerumitan tersendiri dalam lapangan hukum
waris di Indonesia. Dikatakan merupakan kerumitan karena tidak adanya jaminan
kepastian hukum di bidang kewarisan. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa
orang Indonesia dipersilakan memillih hukum waris mana yang akan digunakan.
Asal ada kesepakatan, orang bisa saja memilih hukum waris BW, hukum waris Islam
atau hukum waris adat.
Tapi masalahnya menjadi kompleks jika tidak ada kesepakatan antar pihak
yang bersengketa. Jika demikian, maka masalahnya bisa menjadi panjang dan
berlarut-larut yang tak berujung. Dalam situasi demikian itu barang tentu tidak
dapat dihindari terjadi konflik kepentingan dari masing-masing pihak. Persoalan
semakin melebar yang kemudian mengarah kepada konflik pemakaian hukum waris,
yakni apakah hukum waris Islam yang akan dipakai, atau hukum waris adat,
ataukah hukum waris BW?
Barang tentu konflik hukum sudah seharusnya diakhir. Demikian
pula persoalan sosiologis menyangkut penggolongan penduduk di era sekarang ini
kurang kondusif bagi negara kesatuan Indonesia yang secara konstitusional hanya
mengenal WNI dan WNA. Pengakhiran dari situasi yang serba kompleks tersebut
diperlukan dalam rangka mencapai kepastian, kemanfaatan dan keadilan di bidang
hukum waris di Indonesia. Bagi Subekti, melihat bahwa kondisi demikian ini
rasanya sangat janggal bagi
bangsa yang ingin membangun suatu kodefikasi hukum nasional.[28]
Kerumitan yang berpangkal tolak dari konflik hukum demikian itu sudah pada
masanya untuk dicarikan jalan keluar. Ada dua kemungkinan cara penyelesaian
masalah konflik hukum waris tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan hukum waris
dalam keberagaman dan manakala timbul konflik hukum kemudian diserahkan kepada
pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi dengan membuat suatu undang-undang
baru di bidang kewarisan yang bersifat nasional.
Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat
dicapai melalui unifikasi hukum. Ide untuk mempertahankan pluralitas hukum
tentu saja tidak sejalan dengan cita-cita ‘hukum yang sama untuk semua orang’.
Jika pluralitas hukum dipertahankan, tentu saja akan terjadi distorsi terhadap
cita-cita persamaan hukum tersebut. Pada aras yang lebih mendasar, tidak ada
landasan konstitusionalnya untuk membuat hukum yang berbeda-beda yang
diterapkan bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda pula. Jika ditengok
lebih dalam, maka Konstitusi Indonesia tidak mengenal penggolong-golongan
penduduk.
Argumentasi untuk tetap mempertahankan hukum waris di Indonesia dalam
keadaan beranekaragam ternyata lebih banyak mengandung konsekuensi negatif,
sebab dengan tetap membiarkan keadaan itu terus berlangsung jelas bertentangan
dengan cita-cita bangsa yang berkeinginan untuk memiliki hukum nasional (yang
terunifikasi dan terkodifikasi) yang merupakan produk bangsa sendiri. Dengan
pembiaran tersebut, hal ini juga berarti melestarikan terjadi konflik hukum
antara ketiga sistem hukum waris tersebut yang sudah terjadi sejak masa
penjajahan Belanda dan yang hingga kini terus berlangsung.[29]
Usaha ke arah unifikasi dan
kondifikasi hukum waris yang berlaku secara nasional sudah pernah dilakukan.
Contohnya, pada Simposium Hukum Waris Nasional di Jakarta tahun 1983 berhasil
disepakati untuk menentukan asas-asas kewarisan yang diambil dari ketiga sistem
hukum waris tersebut sebagai dasar penyusunan hukum waris nasional yang akan
datang.
Meski masih ada perbedaan dalam beberapa hal, misalnya dalam hal ahli waris
yang berbeda agama dan beberapa lainnya, tetapi kesepakatan Simposium tersebut
cukup maju ketika mencapai kesepakatan tentang asas-asas (general principles) hukum nasional di bidang kewarisan, seperti
asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Dengan keberhasilan
mengambil asas-asas dari ketiga sistem hukum waris tersebut, ini berarti
kodifikasi yang direncanakan menganut model kodifikasi terbuka. Berbagai nilai
dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan
dirumuskan norma-normanya dalam rumusan yang lebih implementatif.
Penyusunan hukum waris nasional ini, di samping untuk memberikan
kepastian hukum, juga sekaligus merupakan pembaruan terhadap hal-hal yang
dianggap tidak adil dalam sistem hukum waris yang ada.
E. Dimensi Hukum Waris Nasional
Pola
penyusunan hukum waris nasional yang akan datang dapat menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence dari Roscoe
Pound. Menurut Pound, hukum (tertulis) yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[30] Rumusan yang demikian ini menunjukkan kompromi
yang cermat antara hukum tertulis (dari proses legislasi nasional) sebagai kebutuhan
hukum masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan
masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.[31] Selaras dengan
pandangan Pound, Eugen Ehrlich menekankan prinsip tentang pentingnya
keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup dalam mayarakat (the living law). Keseimbangan
antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.[32]
Dalam upaya pembentukan Hukum Kewarisan
Nasional perlu kandungan tiga dimensi yaitu:
1.
Dimensi pemeliharaan yang berarti
tatanan hukum kewarisan mempunyai sifat prinsipil berdasarkan agama dan
kepercayaan masyarakat yang tidak dapat disatukan dan harus tetap dipelihara,
dihargai dan dihormati agar tidak timbul kekosongan hukum, seperti keberadaan
harta pusaka, kedudukan anak angkat pada masyarakat dan lain sebagainya
2.
Dimensi pembaharuan yang berarti dalam
usaha peningkatan dan menyempurnakan sistem hukum kewarisan yang pluralistis
itu, karena berasal dari 3 sistem hukum kewarisan menjadi hukum kewarisan
nasional harus dilakukan terutama pada bagian yang kemungkinan dapat disatukan
seperti; pengertian hukum kewarisan, unsur dan syarat terjadinya pewarisan,
harta warisan, seperti asas individual; asas penderajatan; asas keadilan
berimbang; asa bilateral; asas hubungan darah dan perkawinan; maupun asas yang
kelihatan berbeda namun saling melengkapi seperti asas plaatvervuling/mawaly
(KUH Perdata dan Hukum Kewarisan Islam) dengan asas musyawarah dalam hukum
kewarisan adat; asas individual dalam hukum kewarisan adat dan sebagainya
sehingga akan membuat kuat substansi dan sistem hukum kewarisan Nasional secara
bilateral nantinya
3.
Dimensi penciptaan, pada dimensi ini
diciptakan peraturan perundang-undangan yang baru di bidang Hukum Kewarisan
Nasional yang sebelumnya belum pernah ada guna menghadapi tuntutan kemajuan
zaman dan pengaruh dari masyarakat dunia yang lebih bersifat terbuka atas
nilai-nilai baru di dalam masyarakat modern, seperti tuntutan di dalam
kesetaraan pria dan wanita dan sebaliknya menolak ketidak adilan jender,
penegakan Hak Asasi Manusia dan sebaliknya menolak sifat diskriminasi
Sebagaimana
disampaikan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 bahwa Pembinaan Bidang Hukum harus
mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan kebutuhan hukum sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercipta
ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah
peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana
penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dengan
dilakukan:
1.
Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan
Hukum Nasional antara lain dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta
unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran
hukum dalam masyarakat
2.
Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum
menurut proporsinya masing-masing
3.
Peningkatan kemampuan dan kewibawaan
penegak hukum
Selanjutnya
dalam TAP MPRS No. II/MPRS/1960 pada Lampiran A angka 402 huruf C2 dan 4 dalam
nomor 38 disebutkan bahwa; “mengenai penyempurnaan Undang-undang Hukum
Perkawinan dan Hukum Kewarisan supaya memperhatikan adanya faktor-faktor agama,
adat dan lain-lainnya.”
Dari
kedua TAP MPR diatas dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya TAP MPR No.
II/MPRS/1960 ini merupakan dasar hukum didalam pembentukan Hukum Kewarisan
Nasional meskipun TAP MPR ini sudah dicabut berdasarkan TAP MPRS No.
XXXVIII/1968 namun secara substansi hukum dalam pembentukan Hukum Kewarisan
Nasional berdasarkan sistim Bilateral semangat TAP MPRS No. II/MPRS/1960 akan
tetap relevan.
Semangat
Unifikasi Hukum ini juga terlihat pada telah diaturnya Undang-undang yang
mengatur khusus kependudukan yaitu UU No. 62 Tahun 1958 jo UU No. 3 Tahun 1976
jo UU No. 12 Tahun 2006 yang pada intinya hanya membagi penduduk Indonesia
menjadi 2 golongan saja yaitu Warga Negara Indonesia dan dan Warga Negara
Asing. Sehingga dengan terbitnya UU diatas maka Indonesia tidak mengenal
penggolongan Warga Negara seperti pada zaman Hindia Belanda. Ketentuan ini
didukung oleh Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 menyangkut hal
untuk tidak menggunakan penggolongan warga negara Indonesia dan Surat Edaran
bersama departemen Kehakiman RI dan Departemen Dalam Negeri No.
Pemdes/51/1/3/J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 perihal pelaksanaan Keputusan
Instruksi Presidium Kabinet No. No. 31/U/IN/12/1966. Adanya Unifikasi Hukum
Kependudukan Indonesia seharusnya diikuti dengan Kodifikasi hukum kewarisan
Indonesia karena tidak berlakunya lagi penggolongan Warga Negara namun sampai
saat ini cita-cita tersebut sulit terwujud
Di dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN 1978,1983,1988 dan 1999) menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan
hukum perlu penignkatan pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu dengan
membentuk sedapat mungkin kodifikasi hukum dan unifikasi hukum dalam bidang
tertentu, serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dubutuhkan untuk
mendukung pembangunan, menata sistim hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaiki hukum warisan kolonial dan
hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender, memperhatikan
tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam
ketentuan wawasan nusantara disebutkan bahwa seluruh Kepulauan Nusantara
merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional
yang mengabdi kepada kepentingan nasional. TAP MPRS No. II/MPRS/1960 telah
menghendaki produk hukum kewarisan yang bersifat nasional dan bercorak
bilateral serta komitmen untuk membangun masyarakat Indonesia diatas pondasi
Hukum Kekeluargaan yang berwawasan Nusantara.
Menurut Rumonda
Nasution hendaknya Hukum Kewarisan
Nasional berdasarkan kepada:[33]
1.
Wawasan Nusantara yang melihat tanah air
Indonesia sebagai satu kesatuan bukan hanya sekedar gabungan dari bagian-bagian
untuk diperlukan adanya hukum nasional yang berlakuuntuk seluruh Indonesia
2.
Wawasan Kabangsaan yang melihat penduduk
Indonesia tidak lagi terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok etnis akan tetapi
sebagai bangsa sebagaimana telah dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928, kemudian sejak proklamasi kemerdekaan kita sudah menjadi anggota
bangsa dan warga negara Indonesia
3.
Wawasan Bhineka Tunggal Ika yang
mengakui adanya perbedaan-perbedaan sepanjang tidak melemahkan wawasan
kebangsaan dan wawasan Nusantara
4.
Kodifikasi Hukum Kewarisan Nasional
hendaknya dipahami sebagai seruan untuk melakukan pembaharuan dan pembentukan
hukum secara bertahap dan hati-hatim karena dalam kenyataannya memang tidak
mungkin dilakukan serentak untuk seluruh bidang hukum yang ada.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan
pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku
bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris
Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Hukum kewarisan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sekarang
ini cenderung pada pada hukum mana yang menguntungkan dari ketiga jenis hukum
kewarisan tersebut.
2.
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris
tersebut mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan.
Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW
dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris adat
berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Hukum waris Islam berkembang melalui Pelembagaan
dan pengembangan hukum waris Islam dalam
legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991
yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
3.
Pluralisme hukum waris mengalami banyak kendala dalam
realitanya antara lain : seseorang cenderung menggunakan hukum waris yang
menguntungkan bagi dirinya, ketidaksamaan persepsi dalam kedudukan seseorang
dan keambiguan dalam menentukan hukum waris yang akan digunakan pada
daerah-daerah yang masih kental hukum adatnya.
4.
Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah
satunya hanya dapat dicapai melalui unifikasi hukum. Unifikasi hukum bertujuan
untuk :
i. Untuk
mencapai kesatuan dan keseragaman hukum (Rechseenheid)
ii. Untuk
mencapai kepastian hukum (Rechszekerheid)
iii. Untuk
penyederhanaan hukum (Rechsvereenvoudiging)
5.
Hukum waris nasional hendaknya menganut azas
kodifikasi terbuka yang memuat asas-asas (general
principles) seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian
hukum. Berbagai nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya,
dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya dalam rumusan yang lebih
implementatif sehingga dapat mengakomodir kepentingan rakyat
6.
Adanya
pemahaman pembentukan kodifikasi hukum hanya ditujukan pada
bidang-bidang hukum yang sifatnya netral saja seperti perikatan, hukum jaminan,
dan pada bidang hukum benda. Pada bidang hukum tidak netral seperti Hukum Kewarisan
tidak perlu diadakan Kodifikasi dikarenakan bidang hukum ini adalah bidang
hukum sensitive dan peka karena berkaitan dengan agama, tradisi dan kepercayaan
yang dianut. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Upaya pakar hukum untuk
melakukan pembinaan tata hukum nasional yang uniform terus digalakkan termasuk
hukum kewarisan. Kenyataannya Hukum Perkawinan sebagai hukum yang tidak netral
telah dikodifikasikan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 sehingga hal ini
mempermudah penggarapan Hukum Kewarisan contoh dalam hal Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tetap menghormati secara penuh adanya
perbedaan berdasarkan agama,adat dan kepercayaan masing-masing masyarakat
dibawah kerangka Hukum Kewarisan Nasional.
B.
Saran
Diperlukan
hukum waris nasional untuk mengatasi permasalahan waris yang ada di
Indonesia.Unifikasi hukum waris nasional diharapkan dapat mewujudkan tipologi
dasar dari keadaan hukum yang responsif, yakni hukum yang demokratis dan responsif
terhadap kebutuhan tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat.
Demokratisasi dan responsivitas dari hukum waris nasional yang akan datang
sangat tergantung kepada dua persyaratan, yakni: (1) adanya political will dan (2) political action yang berjalan seiring
berkelindan dari para legislator dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan
hukum masyarakat yang rindu akan kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima. 1947-1957. Disertasi IAIN
Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987.
Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja
Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini. Program Pendidikan Spesialis
Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW “Pewarisan Menurut
Undang-Undang”.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2005.
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya.
Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW”,
Bandung : PT.Refika Aditama.
Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan
Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970.
Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra
Aditnya Bakti.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985.
M.Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir,
tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam”, Majalah Hukum
dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982, Jakarta:FHUI.
MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press. Kuala
Lumpur. 1978.
Mochtar Na’im, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for
Minangkabau Studies, Padang, 1968.
Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada
Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan Tulisan). Jakarta : Raja
Grafindo Persada.2002.
Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan Kewarisannya; Jakarta; BPHN.
R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A.Soehardi. Vorkink
van Hoeve Bandung.
Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam Perspektif
Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006.
Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan Hukum Islam. Jakarta:
Bina Aksara.1980.
Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan Universitas.1996.
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. hlm
6.
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink
van Hoeve,’s-Gravenhage.
Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van
Hoeve. Bandung. R.van Dijk. Pengantar
Hukum Adata Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve.
Bandung.
[1] M.Idris Ramulyo, “Suatu
Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir, tentang Pembagian
Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam”, Majalah Hukum dan Pembangunan No.2
Tahun XII Maret 1982, Jakarta:FHUI, 1982, hlm.154
[2] Wirjono Prodjodikoro.Hukum
Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve. Bandung.hal 8-10, R.van Dijk. Pengantar
Hukum Adata Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve. Bandung.
Hal 43-45
[3] Abdullah Syah.1994.Hukum
Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja Simposium Hukum Waris
Indonesia Dewasa Ini, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara,Medan.
[5] Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan
di Indonesia, Bandung: Vorkink van Hoeve,’s-Gravenhage, hlm.8
[9] Eman Suparman, “Hukum Waris
Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW”, Bandung : PT.Refika
Aditama, hlm.6-7.
[10] Ahlan Sjarif, Surini dan
Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW “Pewarisan Menurut Undang-Undang”.(Depok :
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005) hal 13.
[13] R. Van Dijk.Pengantar
Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A.Soehardi. Vorkink van Hoeve Bandung.
hlm 78.
[14] Hamka. Hubungan Timbal
Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Masyarakat.
Nomor 61/IV/1970. Hlm10
[15] A.Gani Abdullah. Badan
Hukum Syara’ Kesultanan Bima. 1947-1957. Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah.
Jakarta.1987. hal 89.
[17] Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
[18] Mochtar Na’im, Menggali
Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies,
Padang, 1968, hal. 241.
[19] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta,
1985, hal. 10-14.
[20] Strategi hukum di sini
sama dengan politik hukum yaitu legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh penguasa negara sebagaimana yang diintrodusir Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum Di Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.
[21] Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum
pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
[22] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan
Agama.(kumpulan Tulisan). Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002. hlm 225
[23] A. Rahmad Rosyadi dan M.
Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia.
Bogor: Ghalia Indonesia.2006. hlm 76.
[24] Teori receptie oleh Prof.
Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru Dapat Diterima Setelah diakui oleh
hukum adat. Dibuktikan dengan pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyi :
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan
oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu
tidak ditentukan lain oleh ordonansi.”
[25] Sayuti Thalib. Receptie a
Contrario. Hubungan hukum adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980.
hlm 15.
[26] Secara yuridis konstitusional tidak ada istilah ‘WNI keturunan’ tersebut.
Tetapi secara sosiologis istilah demikian ini masih sering dijumpai. Bahkan
tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI pribumi dan non-pribumi.
[27] Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia.
Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum
Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul
Arifin,SH. Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 147-155, KHI adalah hukum tidak tertulis, meski formatnya
ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan
disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum
tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian
besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menulusuri norma-norma hukum
bersangkutan apabila diperlukan, baik di dalam mau pun di luar pengadilan.
[28] Subekti,
1985, Pokok-pokok Hukum Perdata.
Intermasa, Jakarta. Hlm 14.
[29] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar
Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
[31] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa
Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.
terimakasih sudah berbagi, tetap semangat dalam menulis...
BalasHapusjangan lupa kunjungi Bedah Buku Konstruksi Baru Budaya Hukum Berbasis Hukum Progresif karya Dr. M. Syamsudin