Jumat, 22 November 2013

UNIFIKASI HUKUM SEBAGAI SOLUSI PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA



PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. [1] Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.
Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Pada umumnya dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem patrilineal (terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali), (2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau), dan (3) sistem bilateral atau parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok).[2]


B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas ,penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.        Bagaimana eksistensi pluralisme hukum waris di Indonesia?
2.        Bagaimana solusi untuk mengatasi pluralisme hukum waris di Indonesia?

C.  Maksud dan Tujuan Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.        Mengetahui pluralisme hukum waris yang berlaku di Indonesia.
2.        Mengetahui permasalahan yang diakibatkan oleh pluralisme hukum waris di Indonesia.
3.        Mengetahui pentingnya unifikasi hukum waris di Indonesia.
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Sebagai bahan diskusi mengenai pluralisme hukum waris di Indonesia dan pentingnya unifikasi hukum waris nasional.
2.        Sebagai prasyarat dari mata kuliah Hukum Waris


















BAB  II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Hukum Waris
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk kepada hukumnya masing-masing. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tentang arti dan makna hukum waris. Namun demikian, apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 ( tiga ) unsur pokok yakni :
·           adanya harta peninggalan ( kekayaan ) pewaris yang disebut warisan,
·           adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau meneruskannya,
·           adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan ( penerusan ) atau pembagian harta warisan itu .
Berikut beberapa pengertian hukum waris :
1.        Menurut H. Abdullah Syah dalam hukum kewarisan Islam (hukum faraidh ), pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra. [3]
2.        Menurut pasal 171 huruf A Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan”Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.”
3.        Menurut Soepomo  ditinjau dari hukum adat, pengertian hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang  yang tidak berwujud benda ‘Immateriele Goederen’ dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada keturunannya  . [4]
4.        Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata ( BW ), pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."

B.  Pluralitas  Hukum Waris di Indonesia
Hukum waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem hukum waris yang dianut di Indonesia meliputi : Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
Berikut akan dibahas mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum tersebut.
1.        Hukum Waris Islam
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. “ Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir / qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi ahli waris.
Harta warisan menurut Hukum Islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris[5]
Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapatkan bagian harta peninggalan menurut Al-Qur’an, yaitu:
a.       Karena hubungan darah;
b.      Hubungan semenda atau pernikahan;
c.       Hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Qur’an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris;
d.      Hubungan kerabat karena sesame hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah.
Ahli waris dalam hukum Islam secara garis besar dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
a.       Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh sehingga bagian mereka selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah.
b.      Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah yaitu golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluakan adalah dzul faraa’idh, setelah itu sisanya diberikan kepada ashabah.
c.       Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Golongan ini baru akan mewaris jika sudah tidak ada dzul faraa’idh dan tidak ada pula ashabah.
Di samping itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu “ahli waris yang didahulukan untuk mewaris” dari kelompok ahli waris lainnya, yang terdiri dari:
a.       Keutamaan Pertama, yaitu:
-       anak laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia
-       ayah, ibu dan duda/janda, bila tidak terdapat anak
b.      Keutamaan Kedua, yaitu:
-       saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan saudara;
-       ayah, ibu dan janda atau duda, bila tidak ada saudara
c.       Keutamaan Ketiga, yaitu:
-       Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah satu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara;
-       Janda atau duda.
d.      Keutamaan Keempat
-       Janda atau duda;
-       Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.
Di antara ahli waris, ada yang tidak patut dan tidak berhak mendapat bagian waris dari pewarisnya karena beberapa penyebab, yaitu:
a.       Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari keluarga yang dibunuhnya;
b.      Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya;
c.       Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama Islam.
Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang disebutkan di atas, apabila ternyata telah berpura-pura dan menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris, maka dia berkewajiban mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya. “Tidak patut dan tidak berhak mendapat warisan” berbeda dengan “penghapusan hak waris atau hijab” karena yang menyebabkan timbulnya persoalan itu pun berbeda. Penghapusan hak waris dapat terjadi jika:
a.       Karena ahli waris yang mewaris bersama-sama dia, sehingga bagian warisnya dikurangi. Misalnya: ibu memperoleh 1/6 bagian jika mewaris bersama anak atau cucu atau beberapa saudara.
b.      Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Misalnya: cucu laki-laki tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.

2.        Hukum Waris Adat
Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis (berdasarkan keturunan) dan persekutuan territorial (berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum teritorial).
Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama.
Persekutuan genelogis disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu).
Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah.
Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini (bilateral).
Golongan masyarakat inilah yang meletakkan dasar-dasar persamaan kedudukan antar suami dan isteri di dalam keluarga masing-masing.[6]
Di dalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip yaitu :
                                 I.            Prinsip azas umum  yang menyatakan ”Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh “.
                              II.            Prinsip penggantian tempat ( Plaats Vervulling ) yang menyatakan bahwa jika seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak tersebut meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan warisan dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung ) “.[7]
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.
Kalau harta warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :
1)         Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris )
2)        Anak laki-laki tertua atau perempuan
3)         Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana
4)        Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta , ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris “.[8]
Apabila terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang masih hidup , anak lelaki atau perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum waris adat tidak mengenal azas “ Legitieme Portie “ atau bagian mutlak.
Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan yang terdapat dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:
a.       Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki, contohnya pada masyarakat Batak. Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di tanah patrilineal, terdiri atas:
1)      Anak laki-laki;
2)      Anak angkat;
3)      Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris;
4)      Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu;
5)      Persekutuan adat. 
b.      Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan, contohnya pada masyarakat Minangkabau. Harta warisan dalam hukum adat waris Minangkabau terdiri atas:
1)      Harta Pusaka Tinggi, yaitu harta yang turun dari beberapa generasi.
2)      Harta Pusaka Rendah, yaitu harta yang turun dari satu generasi.
3)      Harta Pencaharian, yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko.
4)      Harta Suarang, yaitu harta yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama masa perkawinan.
Menurut hukum adat Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan antara:
1)      Waris bertali darah, yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri atas waris satampok (setampuk), waris sejangka (sejengkal) dan waris saheto (sehasta). Masing-masing ahli waris tersebut mewaris secara bergiliran, artinya selama waris satampok masih ada maka waris sejangka belum berhak mewaris, demikian seterusnya.
2)      Waris bertali adat, yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.
c.       Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu sehingga kedudukan anak laki-laki dan perempuan sama atau sejajar, contohnya di Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok. Harta warisan menurut hukum adat waris parental terdiri atas:
1)      Harta Asal, yaitu kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.
2)      Harta Bersama (harta gono-gini)
Ahli waris di dalam hukum adat waris parental yaitu:
1)      Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli waris sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu, sedangkan ahli waris tidak sedarah terdiri dari anak angkat , janda/duda.
2)      Kepunahan atau Nunggul Pinang, yaitu pewaris tidak memiliki ahli waris sehingga harta warisannya diserahkan kepada desa dan selanjutnya desa lah yang akan menentukan pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut.[9]

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris, terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:
a.       Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dll.
b.      Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris, contohnya “harta pusaka” di Minangkabau dan “tanah dati” di semenanjung Hitu Ambon.
c.       Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
1)      Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.
2)      Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

3.         Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
Dalam hukum waris barat terdapat dua unsur penting yaitu :
a.         Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang)
Pada prinsipnya seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang dimilikinya termasuk harta kekayaannya menurut kehendaknya.[10]
b.         Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama)
Perbuatan yang dilakukan pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam unsur individual dapat mengakibatkan kerugian pada ahli waris sehingga Undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan ahli waris.[11]
Pembatasan tersebut dalam kewarisan perdata disebut dengan  istilah  Legitieme Portie yang artinya bagian tertentu/ mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh karena bagian mutlak tersebut erat kaitannya dengan pemberian/ hibah yang diberikan pewaris, yaitu pembatasan atas kebebasan pewaris dalam membuat wasiat, maka Legitieme Portie diatur di dalam  bagian yang mengatur mengenani wasiat atau testament.
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 849 BW, yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
a.       Menurut ketentuan undang-undang (ab intestato)
Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, namun bila ternyata orang tersebut tidak menentukan sendiri ketika masih hidup maka undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut. Ahli waris menurut undang-undang berdasarkan hubungan darah, terdapat empat golongan, yaitu:
1)
Golongan I
:
keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak dan keturunan mereka  beserta suami atau isteri yang hidup paling lama.
2)
Golongan II
:
keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
3)
Golongan III
:
kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris.
4)
Golongan IV
:
anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.
b.      Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)
Surat wasiat (testamen) merupakan suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia.[12] Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris menurut surat wasiat jumlahnya tidak tentu sebab bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Dari kedua macam ahli waris tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya, yaitu dala Pasal 881 ayat (2), yaitu ”Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
            Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian, yaitu:
a.       Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris;
b.      seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana empat tahun atau lebih;
c.       ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencagah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d.      seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
            Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Harus ada orang yang meninggal dunian (Pasal 830 BW);
b.       Harus ada ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris  meninggal dunia;
c.       Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.
Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk menentukan sikap terhadap suatu harta warisan selama empat bulan. Seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
a.       Menerima warisan dengan penuh;
b.      Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu (menerima warisan secara beneficiaire);
c.       Menolak warisan.
Baik menerima maupun menolak warisan, masing-masing memiliki konsekuensi sendiri-sendiri terhadap ahli waris.
       Apabila harta warisan telah dibuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan tersebut harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung sejak terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi milik negara. 
 (Perbedaan  tata cara pengaturan ketiga macam hukum  waris ini dapat dilihat pada lampiran 1.1)

C.  Kondisi Obyektif Kompleksitas dan Potensi Konflik Pluralisme Hukum Waris
Kesejarahan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris berlaku secara bersama-sama  meski titik mula munculnya tidak bersamaan namun telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah perkembangannya, dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat lebih dahulu ada dibandingkan dengan sistem hukum waris yang lain. Hal ini  dikarenakan hukum adat, termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari nenek moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.[13]
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi ‘kontak yang akrab’ antara ajaran mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai-pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan  zat dengan sifat suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengati adat memakai [artinya, adat dan hukum Islam (syara’) saling topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.[14] Di Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adat (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat). [15]
Hubungan antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan.[16] Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada sistem pembagian warisan yang disebut dengan sapikul-sagendong.
Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya “keistimewaan” antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal.
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b.  Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;
 c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d.  Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Dalam masyarakat Islam  di Indonesia hukum Islam itu tidak berlaku sebab yang berlaku adalah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku jika dinyatakan berlaku oleh hukum adat. [17]  Akan tetapi kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad 19 melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dan hukum Islam.
Sementara itu dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan Juli 1968 diperoleh kesimpulan bahwa (1) harta pusaka tinggi yang diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut hukum Islam.[18]
Melalui justifikasi formal tersebut dapat diketengahkan bahwa telah terjadi harmonisasi antara hukum Islam dengan hukum adat dalam proses pelembagaan hukum waris di masyarakat, terutama di masyarakat Minangkabau.
Di samping kedua hukum waris yang sudah akrab tersebut, masyarakat Indonesia juga telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW. Pada masa penjajahan bangsa Belanda dulu, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa. Sementara bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.[19]
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak lepas dari strategi hukum. pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah penduduk yang ada di tanah jajahannya. [20]  Strategi dengan menggunakan hukum untuk memecah belah penduduk di Indonesia dibingkai melalui pasal 131 Indische Staatsregeling. Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia terbelah-belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1) golongan Eropa, (2) golongan Timur Asing (Tionghoa dan non-Tionghoa), dan (3) golongan pribumi.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum waris di Indonesia tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masing langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”, maka ketiga sistem hukum waris tersebut kemudian menjadi bagian hukum nasional. Keberadaan pasal II Aturan Peralihan tersebut merupakan keharusan konstitusional, menginat (1) ahli hukum pada saat itu masih sangat sedikit, dan (2) kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengisi kevakuman hukum (rechtsvacuum) dari bangsa yang baru merdeka dan sedang berjuang untuk meneguhkan eksistensi kemerdekaannya.[21]

D.  Pentingnya Unifikasi Hukum Waris di Indonesia
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak selamanya berjalan beriringan. Para ahli hukum seringkali memandangnya sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian murni maupun untuk kepentingan tertentu.
Cristian van den Berg pernah mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang menyatakan bahwa hukum agama adalah hukum adat di mana hukum adat telah meresepsi hukum Islam. [22] Teori ini kemudian dibantah dengan teori dari Christian Snouck Hurgronye dengan teori receptie. [23] Teori ini menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah diterima oleh hukum Adat.[24]
Dalam memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.[25]
Terakhir teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin yakni cultural existence theory, di mana hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang dimaksud adalah Pengadilan Agama) berkembang karena adanya kebutuhan social dan budaya.
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Yang agaknya berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam. Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hanya saja masih ada yang terasa aneh dalam praktik pelaksanaan hukum waris di Indonesia ini. Meski secara yuridis UUD 1945 dan amandemennya sudah tidak mengenal lagi penggolong-golongan penduduk, namun secara faktual empiris, bahkan secara yuridis, masalah golongan penduduk ini masih sangat terasa kuat. Hal ini berakibat pada subyek hukum pengguna hukum waris yang berbeda-beda pula. Lazimnya, hukum waris Barat ini dipakai oleh Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa.[26]
Sementara itu, secara hipotetis dapat diketengahkan bahwa masyarakat adat hampir pasti menggunakan hukum waris adat. Tetapi persoalan bisa muncul, yakni apakah masyarakat adat yang beragama Islam mesti menggunakan hukum waris adat. Agaknya jawaban atas persoalan ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Diperlukan pengkajian dan penelitian yang cukup menantang untuk memetakan dan menjawab persoalan tersebut. Apakah lingkaran-lingkaran hukum adat (rechtskringen) dari van Vollenhoven memang masih hidup secara faktual? Perlu penelitian lebih lanjut.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan hukum waris tersebut lebih kompleks lagi. Mengapa? Karena hukum yang ditujukan kepada mereka yang diciptakan melalui legislasi nasional ternyata tidak memberi kejelasan aturan hukum yang seharusnya untuk menyelesaikan masalah kewarisan. Hal ini dapat disimak pada pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang … (b) kewarisan, …, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, ….
Berdasarkan ketentuan yang mengatur masalah kewarisan tersebut dapat diketengahkan bahwa hukum waris Islam bukan merupakan ketentuan hukum yang bersifat imperatif bagi orang Islam. Ini berbeda dengan ketentuan perkawinan yang bersifat imperatif bagi orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan. Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang Islam di Indonesia adalah bersifat fakultatif (choice of law) yang barang tentu di aras faktual tidak sedikit yang berpaling darinya.
Sebagaimana halnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bidang kewarisan dalam KHI tersebut juga bukan merupakan ketentuan yang sifatnya wajib dilaksanakan oleh orang Islam dalam masalah pembagian warisan. KHI hanya merupakan pedoman saja – yang berarti dapat disimpangi – bagi orang atau instansi yang memerlukan. Hal ini dapat disimak pada bagian Menimbang huruf b Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berbunyi: “bahwa  Kompilasi Humum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut”.[27] Jadi, hukum waris Islam digunakan atau tidak itu masalah pilihan yang mandiri bagi orang Islam.
Barangkali kondisi demikian ini dapat dilihat sebagai suatu berkah keadilan, tetapi bisa juga merupakan kerumitan tersendiri dalam lapangan hukum waris di Indonesia. Dikatakan merupakan kerumitan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum di bidang kewarisan. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa orang Indonesia dipersilakan memillih hukum waris mana yang akan digunakan. Asal ada kesepakatan, orang bisa saja memilih hukum waris BW, hukum waris Islam atau hukum waris adat.
Tapi masalahnya menjadi kompleks jika tidak ada kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Jika demikian, maka masalahnya bisa menjadi panjang dan berlarut-larut yang tak berujung. Dalam situasi demikian itu barang tentu tidak dapat dihindari terjadi konflik kepentingan dari masing-masing pihak. Persoalan semakin melebar yang kemudian mengarah kepada konflik pemakaian hukum waris, yakni apakah hukum waris Islam yang akan dipakai, atau hukum waris adat, ataukah hukum waris BW?
 Barang tentu  konflik hukum sudah seharusnya diakhir. Demikian pula persoalan sosiologis menyangkut penggolongan penduduk di era sekarang ini kurang kondusif bagi negara kesatuan Indonesia yang secara konstitusional hanya mengenal WNI dan WNA. Pengakhiran dari situasi yang serba kompleks tersebut diperlukan dalam rangka mencapai kepastian, kemanfaatan dan keadilan di bidang hukum waris di Indonesia. Bagi Subekti, melihat bahwa kondisi demikian ini rasanya sangat janggal bagi bangsa yang ingin membangun suatu kodefikasi hukum nasional.[28]
Kerumitan yang berpangkal tolak dari konflik hukum demikian itu sudah pada masanya untuk dicarikan jalan keluar. Ada dua kemungkinan cara penyelesaian masalah konflik hukum waris tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan hukum waris dalam keberagaman dan manakala timbul konflik hukum kemudian diserahkan kepada pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi dengan membuat suatu undang-undang baru di bidang kewarisan yang bersifat nasional.
Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui unifikasi hukum. Ide untuk mempertahankan pluralitas hukum tentu saja tidak sejalan dengan cita-cita ‘hukum yang sama untuk semua orang’. Jika pluralitas hukum dipertahankan, tentu saja akan terjadi distorsi terhadap cita-cita persamaan hukum tersebut. Pada aras yang lebih mendasar, tidak ada landasan konstitusionalnya untuk membuat hukum yang berbeda-beda yang diterapkan bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda pula. Jika ditengok lebih dalam, maka Konstitusi Indonesia tidak mengenal penggolong-golongan penduduk.
Argumentasi untuk tetap mempertahankan hukum waris di Indonesia dalam keadaan beranekaragam ternyata lebih banyak mengandung konsekuensi negatif, sebab dengan tetap membiarkan keadaan itu terus berlangsung jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa yang berkeinginan untuk memiliki hukum nasional (yang terunifikasi dan terkodifikasi) yang merupakan produk bangsa sendiri. Dengan pembiaran tersebut, hal ini juga berarti melestarikan terjadi konflik hukum antara ketiga sistem hukum waris tersebut yang sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda dan yang hingga kini terus berlangsung.[29]
Usaha  ke arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku secara nasional sudah pernah dilakukan. Contohnya, pada Simposium Hukum Waris Nasional di Jakarta tahun 1983 berhasil disepakati untuk menentukan asas-asas kewarisan yang diambil dari ketiga sistem hukum waris tersebut sebagai dasar penyusunan hukum waris nasional yang akan datang.
Meski masih ada perbedaan dalam beberapa hal, misalnya dalam hal ahli waris yang berbeda agama dan beberapa lainnya, tetapi kesepakatan Simposium tersebut cukup maju ketika mencapai kesepakatan tentang asas-asas (general principles) hukum nasional di bidang kewarisan, seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Dengan keberhasilan mengambil asas-asas dari ketiga sistem hukum waris tersebut, ini berarti kodifikasi yang direncanakan menganut model kodifikasi terbuka. Berbagai nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya dalam rumusan yang lebih implementatif.
 Penyusunan hukum waris nasional ini, di samping untuk memberikan kepastian hukum, juga sekaligus merupakan pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem hukum waris yang ada.

E.  Dimensi Hukum Waris Nasional
Pola penyusunan hukum waris nasional yang akan datang dapat menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound. Menurut Pound, hukum (tertulis) yang baik adalah hukum yang  sesuai dengan  hukum yang hidup dalam masyarakat.[30]  Rumusan yang demikian ini menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis (dari proses legislasi nasional) sebagai kebutuhan hukum masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.[31] Selaras dengan pandangan Pound, Eugen Ehrlich menekankan prinsip tentang pentingnya keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup dalam mayarakat (the living law). Keseimbangan antara  kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.[32]
Dalam upaya pembentukan Hukum Kewarisan Nasional perlu kandungan tiga dimensi yaitu:
1.             Dimensi pemeliharaan yang berarti tatanan hukum kewarisan mempunyai sifat prinsipil berdasarkan agama dan kepercayaan masyarakat yang tidak dapat disatukan dan harus tetap dipelihara, dihargai dan dihormati agar tidak timbul kekosongan hukum, seperti keberadaan harta pusaka, kedudukan anak angkat pada masyarakat dan lain sebagainya
2.             Dimensi pembaharuan yang berarti dalam usaha peningkatan dan menyempurnakan sistem hukum kewarisan yang pluralistis itu, karena berasal dari 3 sistem hukum kewarisan menjadi hukum kewarisan nasional harus dilakukan terutama pada bagian yang kemungkinan dapat disatukan seperti; pengertian hukum kewarisan, unsur dan syarat terjadinya pewarisan, harta warisan, seperti asas individual; asas penderajatan; asas keadilan berimbang; asa bilateral; asas hubungan darah dan perkawinan; maupun asas yang kelihatan berbeda namun saling melengkapi seperti asas plaatvervuling/mawaly (KUH Perdata dan Hukum Kewarisan Islam) dengan asas musyawarah dalam hukum kewarisan adat; asas individual dalam hukum kewarisan adat dan sebagainya sehingga akan membuat kuat substansi dan sistem hukum kewarisan Nasional secara bilateral nantinya
3.             Dimensi penciptaan, pada dimensi ini diciptakan peraturan perundang-undangan yang baru di bidang Hukum Kewarisan Nasional yang sebelumnya belum pernah ada guna menghadapi tuntutan kemajuan zaman dan pengaruh dari masyarakat dunia yang lebih bersifat terbuka atas nilai-nilai baru di dalam masyarakat modern, seperti tuntutan di dalam kesetaraan pria dan wanita dan sebaliknya menolak ketidak adilan jender, penegakan Hak Asasi Manusia dan sebaliknya menolak sifat diskriminasi
Sebagaimana disampaikan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 bahwa Pembinaan Bidang Hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dengan dilakukan:
1.             Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional antara lain dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat
2.             Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing
3.             Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum
Selanjutnya dalam TAP MPRS No. II/MPRS/1960 pada Lampiran A angka 402 huruf C2 dan 4 dalam nomor 38 disebutkan bahwa; “mengenai penyempurnaan Undang-undang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan supaya memperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainnya.”
Dari kedua TAP MPR diatas dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya TAP MPR No. II/MPRS/1960 ini merupakan dasar hukum didalam pembentukan Hukum Kewarisan Nasional meskipun TAP MPR ini sudah dicabut berdasarkan TAP MPRS No. XXXVIII/1968 namun secara substansi hukum dalam pembentukan Hukum Kewarisan Nasional berdasarkan sistim Bilateral semangat TAP MPRS No. II/MPRS/1960 akan tetap relevan.
Semangat Unifikasi Hukum ini juga terlihat pada telah diaturnya Undang-undang yang mengatur khusus kependudukan yaitu UU No. 62 Tahun 1958 jo UU No. 3 Tahun 1976 jo UU No. 12 Tahun 2006 yang pada intinya hanya membagi penduduk Indonesia menjadi 2 golongan saja yaitu Warga Negara Indonesia dan dan Warga Negara Asing. Sehingga dengan terbitnya UU diatas maka Indonesia tidak mengenal penggolongan Warga Negara seperti pada zaman Hindia Belanda. Ketentuan ini didukung oleh Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 menyangkut hal untuk tidak menggunakan penggolongan warga negara Indonesia dan Surat Edaran bersama departemen Kehakiman RI dan Departemen Dalam Negeri No. Pemdes/51/1/3/J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 perihal pelaksanaan Keputusan Instruksi Presidium Kabinet No. No. 31/U/IN/12/1966. Adanya Unifikasi Hukum Kependudukan Indonesia seharusnya diikuti dengan Kodifikasi hukum kewarisan Indonesia karena tidak berlakunya lagi penggolongan Warga Negara namun sampai saat ini cita-cita tersebut sulit terwujud
            Di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN 1978,1983,1988 dan 1999) menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan hukum perlu penignkatan pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu dengan membentuk sedapat mungkin kodifikasi hukum dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu, serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dubutuhkan untuk mendukung pembangunan, menata sistim hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat  serta memperbaiki hukum warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender, memperhatikan tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam ketentuan wawasan nusantara disebutkan bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. TAP MPRS No. II/MPRS/1960 telah menghendaki produk hukum kewarisan yang bersifat nasional dan bercorak bilateral serta komitmen untuk membangun masyarakat Indonesia diatas pondasi Hukum Kekeluargaan yang berwawasan Nusantara.
Menurut Rumonda Nasution  hendaknya Hukum Kewarisan Nasional berdasarkan kepada:[33]
1.        Wawasan Nusantara yang melihat tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan bukan hanya sekedar gabungan dari bagian-bagian untuk diperlukan adanya hukum nasional yang berlakuuntuk seluruh Indonesia
2.        Wawasan Kabangsaan yang melihat penduduk Indonesia tidak lagi terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok etnis akan tetapi sebagai bangsa sebagaimana telah dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, kemudian sejak proklamasi kemerdekaan kita sudah menjadi anggota bangsa dan warga negara Indonesia
3.        Wawasan Bhineka Tunggal Ika yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan sepanjang tidak melemahkan wawasan kebangsaan dan wawasan Nusantara
4.        Kodifikasi Hukum Kewarisan Nasional hendaknya dipahami sebagai seruan untuk melakukan pembaharuan dan pembentukan hukum secara bertahap dan hati-hatim karena dalam kenyataannya memang tidak mungkin dilakukan serentak untuk seluruh bidang hukum yang ada.

BAB  III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.    Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Hukum kewarisan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sekarang ini cenderung pada pada hukum mana yang menguntungkan dari ketiga jenis hukum kewarisan tersebut.
2.    Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Hukum waris Islam berkembang melalui Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam dalam  legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
3.    Pluralisme hukum waris mengalami banyak kendala dalam realitanya antara lain : seseorang cenderung menggunakan hukum waris yang menguntungkan bagi dirinya, ketidaksamaan persepsi dalam kedudukan seseorang dan keambiguan dalam menentukan hukum waris yang akan digunakan pada daerah-daerah yang masih kental hukum adatnya.
4.    Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui unifikasi hukum. Unifikasi hukum bertujuan untuk :
                         i.     Untuk mencapai kesatuan dan keseragaman hukum (Rechseenheid)
                       ii.     Untuk mencapai kepastian hukum (Rechszekerheid)
                     iii.     Untuk penyederhanaan hukum (Rechsvereenvoudiging)
5.    Hukum waris nasional hendaknya menganut azas kodifikasi terbuka yang memuat asas-asas (general principles) seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Berbagai nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya dalam rumusan yang lebih implementatif sehingga dapat mengakomodir kepentingan rakyat
6.    Adanya  pemahaman pembentukan kodifikasi hukum hanya ditujukan pada bidang-bidang hukum yang sifatnya netral saja seperti perikatan, hukum jaminan, dan pada bidang hukum benda. Pada bidang hukum tidak netral seperti Hukum Kewarisan tidak perlu diadakan Kodifikasi dikarenakan bidang hukum ini adalah bidang hukum sensitive dan peka karena berkaitan dengan agama, tradisi dan kepercayaan yang dianut. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Upaya pakar hukum untuk melakukan pembinaan tata hukum nasional yang uniform terus digalakkan termasuk hukum kewarisan. Kenyataannya Hukum Perkawinan sebagai hukum yang tidak netral telah dikodifikasikan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 sehingga hal ini mempermudah penggarapan Hukum Kewarisan contoh dalam hal Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974). Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tetap menghormati secara penuh adanya perbedaan berdasarkan agama,adat dan kepercayaan masing-masing masyarakat dibawah kerangka Hukum Kewarisan Nasional.

B.     Saran
Diperlukan hukum waris nasional untuk mengatasi permasalahan waris yang ada di Indonesia.Unifikasi hukum waris nasional diharapkan dapat mewujudkan tipologi dasar dari keadaan hukum yang responsif, yakni hukum yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Demokratisasi dan responsivitas dari hukum waris nasional yang akan datang sangat tergantung kepada dua persyaratan, yakni: (1) adanya political will dan (2) political action yang berjalan seiring berkelindan dari para legislator dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat yang rindu akan kepastian, kemanfaatan dan keadilan.




DAFTAR PUSTAKA

A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima. 1947-1957. Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987.
Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini. Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW “Pewarisan Menurut Undang-Undang”.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005.
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW”, Bandung : PT.Refika Aditama.
Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970.
Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra Aditnya Bakti.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985.
M.Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir, tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam”, Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982, Jakarta:FHUI.
MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press. Kuala Lumpur. 1978.
Mochtar Na’im, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang, 1968.
Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan Tulisan). Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002.
Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan  Kewarisannya; Jakarta; BPHN.
R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A.Soehardi. Vorkink van Hoeve Bandung.
Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006.
Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980.
Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan Universitas.1996.
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. hlm 6.
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van Hoeve,’s-Gravenhage.
Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve. Bandung. R.van Dijk. Pengantar Hukum Adata Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve. Bandung.





[1] M.Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir, tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam”, Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982, Jakarta:FHUI, 1982, hlm.154
[2] Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve. Bandung.hal 8-10, R.van Dijk. Pengantar Hukum Adata Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve. Bandung. Hal 43-45
[3] Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
[4] Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan Universitas.1996.hlm 72.
[5] Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van Hoeve,’s-Gravenhage, hlm.8
[6] Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. hlm 6.
[7] Datuk Usman. Ibid.Hal 192
[8] Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra Aditnya Bakti.
[9] Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW”, Bandung : PT.Refika Aditama, hlm.6-7.

[10] Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW “Pewarisan Menurut Undang-Undang”.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2005) hal 13.
[11]Ahlan Sjarif. Ibid.
[12] R. Subekti, Op.cit., hlm 78
[13] R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A.Soehardi. Vorkink van Hoeve Bandung. hlm 78.
[14] Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara’ di dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970. Hlm10
[15] A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima. 1947-1957. Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987. hal 89.
[16] MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press. Kuala Lumpur. 1978 hal 97.
[17] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
[18] Mochtar Na’im, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 241.
[19] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 10-14.

[20] Strategi hukum di sini sama dengan politik hukum yaitu legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh penguasa negara sebagaimana yang diintrodusir Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.
[21] Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
[22] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan Tulisan). Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002. hlm 225
[23] A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006. hlm 76.
[24] Teori receptie oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru Dapat Diterima Setelah diakui oleh hukum adat. Dibuktikan dengan pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyi : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain oleh ordonansi.”
[25] Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980. hlm 15.
[26] Secara yuridis konstitusional tidak ada istilah ‘WNI keturunan’ tersebut. Tetapi secara sosiologis istilah demikian ini masih sering dijumpai. Bahkan tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI pribumi dan non-pribumi.

[27] Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH. Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 147-155, KHI adalah hukum tidak tertulis, meski formatnya ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menulusuri norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukan, baik di dalam mau pun di luar pengadilan.

[28] Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta. Hlm 14.

[29] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996. 
[30] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985, hal. 47.
[31] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.
[32] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra .Ibid. hlm 84
[33] Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan                 Kewarisannya; Jakarta; BPHN.

1 komentar: