Jumat, 22 November 2013

MENGENAL PENTINGNYA STATUS HAK ATAS TANAH


MENGENAL PENTINGNYA STATUS HAK ATAS TANAH


A.    Pengantar
Pembentukan Hukum Tanah Nasional yang diawali lahirnya UUPA berusaha melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat tunggal. Tanah disini dimaknai secara filosofis yang cenderung diartikan sebagai land dan bukan soil. Tanah dipandang dari multi dimensional dan multi aspek.
Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu untuk seluruh wilayah Republik Indonesia hanya ada satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru. Pembentukan Hukum Tanah Nasional kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hierarki yang berjenjang.
Hukum Agraria/Tanah hanya mengatur segi tertentu dari agrararia/tanah itu sendiri, yakni menyangkut Hak Penguasaan atas Sumberdaya Agraria (HPAA) atau Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT).

B.     Status Hak Penguasaan Atas Tanah
Untuk menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional  sejauh mungkin diberi bentuk tertulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas:
a.              hukum tertulis, yang meliputi:
1)        Pasal 33  UUD 1945;
2)        UUPA;
3)        Peraturan-peraturan pelaksanaan;
4)        Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan peraturan peralihan dari UUD 1945.
b.             hukum yang tidak tertulis, yang meliputi:
1)        Hukum Adat yang sudah disaneer;
2)        Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Boedi Harsono menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu  mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan  isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah.[1]
Lingkup studi dari Hukum Tanah ini dapat dilihat dari tata jenjang atau hierarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yang meliputi:[2]
a.              Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1 UUPA sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang beraspek perdata dan publik;
b.             Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA sebagai hak penguasaan yang semata-mata mengandung aspek publik;
c.              Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA, yang beraspek perdata dan publik;
d.             Hak-hak perorangan/individual, yang semuanya berunsur perdata, terdiri atas:
1)        Hak-hak atas tanah sebagai hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;
2)        Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, Pasal 49 UUPA;
3)        Hak Jaminan atas Tanah yang disebut Hak Tanggungan dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51 UUPA serta UU No. 4 Tahun 1996;
4)        HMRS
Oleh karena, Hak Bangsa merupakan Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) yang tertinggi di Indonesia, maka semua HPAT lainnya bersumberkan dari Hak Bangsa sebagai kekayaan bersama dari seluruh Bangsa Indonesia. Salah satu implikasinya, semua hak atas tanah pun harus berfungsi sosial.   


C.    Tanah Negara
Tanah Negara dapat didefinisikan sebagai :
a)             Menurut Prof. Dr. Maria S.W. Soemardjono, S.H., M.C.L., MPA. Tanah Negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, serta tanah ulayat dan tanah wakaf.[3]
b)             Menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, S.H., MCL. Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara di atasnya belum dihaki dengan hak-hak perseorangan yang diberikan oleh siapa yang meliputi badan hukum perdata, perorangan maupun Instansi Pemerintah .[4]
c)             Menurut Effendi Perangin Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Langsung dikuasai, artinya tidak ada hak fihak lain di atas tanah itu. Tanah itu disebut juga tanah negara bebas. [5]
Ruang Lingkup tanah Negara yaitu :
a)             Tanah- tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya kepada negara
b)             Tanah- tanah HGU, HGB, HP di atas tanah negara yang  berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi kecuali HGB dan HP yang terbitnya di atas HM, HPL
c)             Tanah- tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris
d)            Tanah- tanah yang diterlantarkan (PP No. 36/1998)
e)             Tanah- tanah milik Perusahaan Belanda yang terkena UU Nasionalisasi  (UU No. 86 Tahun 1958)
f)              Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum sesuai dengan tata cara pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 dan pengadaan tanah  UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
g)             Tanah-tanah yang dikuasai menurut Perpu No. 3 Tahun 1960 tentang Penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958
h)             Menurut Effendi Parangin ada 4 jenis dari Tanah Negara :
1.      Sejak semula tanah negara belum pernah ada pihak tertentu selain negara yang menguasainya;
2.      Bekas tanah partikelir;
Tanah negara bekas partikelir  merupakan konsekuensi dari UU No. 1 Tahun 1958 yang menghapus semua tanah partikelir di Indonesia.Penghapusan tersebut menyebabkan tanah partikelir menjadi tanah negara.
Tanah Negara yang berasal dari Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir  (yang  telah diberikan ganti kerugian semula merupakan/berupa tanah partikelir  dengan hak-hak pertuanan, tanah usaha, dan tanah kongsi).
Tanah-tanah Negara yang berasal dari Tanah Bekas/Eks Swapradja atau Swapradja berdasarkan Diktum Ke IV Huruf  A dan B UUPA, kecuali SG dan PA di Yogyakarta
3.      Bekas tanah hak barat;
Tanah negara bekas tanah hak barat merupakan implikasi yuridis dari ketentuan konversi tanah-tanah hak barat, yang menyatakan bahwa tanggal 24 September 1980 merupakan habisnya waktu berlaku dari bekas tanah hak barat (kecuali sudah dikonversi menjadi Hak Milik).
4.      Bekas tanah hak.
Suatu tanah hak dapat menjadi tanah negara karena hak yang ada di atasnya dicabut oleh yang berwenang, dilepaskan secara sukarela oleh yang berhak, habis jangka waktunya, dan karena pemegang hak bukan subjek.
Menurut Prof. Dr. Maria S.W. Soemardjono, MCL., MPA: Tanah yang dikuasai oleh Pemerintah tidak serta merta  masuk dalam pengertian Tanah negara, walaupun tanah tersebut merupakan  aset/kekayaan Negara, karena tanah-tanah negara   yang dikuasai oleh suatu instansi pemerintah dan dipergunakan sesuai tugas dan fungsinya diberikan dengan HPL dan Hak Pakai sesuai PMA No. 9 Tahun 1965. Jika Instansi Pemerintah menguasai tanah, namun tidak mempunyai/memiliki HPL atau HP maka status tanahnya adalah tanah Negara.
Pada intinya Tanah Negara terdapat dua unsur tentang Tanah Negara yaitu : dikuasai langsung atau penuh oleh negara dan belum dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.[6]

D.    Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hukum Tanah Adat (HTA) ini merupakan bagian dari hukum adat.    Sebagaimana ajaran ter Haar, hukum adat adalah hukum yang bersumber pada keputusan penguasa. Ini yang disebut ajaran keputusan (beslissingen leer). Hukum adat adalah adat yang mempunyai akibat hukum, yang kalau tidak dilaksanakan atau dilanggar akan ada sanksi dari para penguasa adat.
Berikut beberapapengertian Hak Ulayat :
a.              .Pasal 3 UUPA. Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Subyek dari hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik yang bersifat teritorial (warganya tinggal di wilayah yang sama) maupun yang bersifat genealogik (warganya terikat dengan hubungan darah).
b.             UU No 21 Tahun 2001, Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c.              Pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, hak ulayat adalah kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.





Prof. Mahadi mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) ‘TIANG HUKUM ADAT’ yang ditegakkan oleh van Vollenhoven, yaitu:[7]
a.       Persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen), yang terjadinya ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yakni:
1)             faktor territorial, contoh faktor territorial ini jumlahnya lebih banyak misalnya desa di daerah Sunda, Jawa, Madura, Bali, Gampong di Aceh, kampung di daerah Melayu, Bangka, Belitung, di sebagian Sumatera Selatan, di Sulawesi Selatan, negerai di Minahasa, dan Ambon;
2)             faktor genealogis, contohnya adalah di tanah Gayo; dan
3)             faktor campuran, contohnya terdapat di Nias (euri), Mentawai (uma), huta dan kuria di daerah Batak, nagari di Minangkabau, marga dan dusun di Sumatera Selatan.
b.      Hak Ulayat, yakni hak menguasai masyarakat hukum (adat), yang berisi: (1) kewenangan privat (kewenangan dari para anggota masyarakat hukum adat untuk menguasai dan mengusahakan seluruh wilayah hukum adat; dan (2) kewenangan publik (kewenangan penguasa adat dan para tetua adat untuk mengatur penggunaan dan penguasaan wilayah adat);  
c.       Daerah Hukum Adat, yang menurut van Vollenhoven ada 19 wilayah hukum adat (adat rechtskringen) di seluruh Indonesia, semuanya itu dipandang sebagai aset-bersama yang menjadi pendukung utama kehidupan persekutuan-persekutuan hukum tersebut, sehingga daerah hukum adat itupun disebut sebagai lebensraum;
d.      Perjanjian adalah perbuatan konkrit, yang oleh Holleman dinyatakan bahwa pada praktek hukum hutang piutang (Schuldenrecht) di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura diekspresikan dengan ungkapan: (1) “…which are actual forms of transferring property and not agreement creating the obligation to transfer property… the mere expression of consensus is not enough”; (2) “… legal obligation does not simply arise from  a bare consensus, but requires the actual transfer of something tangible”, sedangkan oleh Mahkamah Agung sifat perjanjian riil (terhadap jual beli tanah) antara lain diekspresikan, seperti: “dengan perjanjian telah dituliskan, penulisan itu terjadi di hadapan Kepala Kampung, dan harga telah dibayar, dianggap barang telah diserahkan”;
e.       Hukum Adat tidak mengenal konstruksi yuridis yang abstrak, sehingga beberapa contoh konstruksi yuridis yang abstrak seperti badan hukum, kedewasaan, dan kadaluarsa tidak dikenal dalam Hukum Adat;
f.       Hukum Adat “makes sensory perception the basis of legal catagories and distinction” (menjadikan tangkapan dengan pancaindera sebagai dasar bagi penentuan kategori dan sebagai ukuran untuk membeda-bedakan), sehingga pembedaan antara right in rem dan right in personam tidak dikenal dalam Hukum Adat, yang dikenal adalah ‘hak atas tanah dan air’ serta ‘hak atas benda-benda’ lain;
g.      Sifat susunan keluarga, yang terdiri dari patrilineal, matrilineal, dan parental, adakalanya menggerapai kepada bidang-bidang lain, termasuk dalam hal ini Hukum Agraria, sebagai contoh tanah hanya boleh dimiliki oleh marga tertentu.

Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:[8]
a.                  Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.                  Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c.                  Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.[9]
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan[10]
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA ,Hak Ulayat yang pada kenyataanya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat  telah menjadi tugas kewenangan negara. Pada kenyataanya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). Oleh karena itu hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melestarikan eksistensinya.


E.     Tanah Hak

(1)          Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau penyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(2)          Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat :
a.              Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b.             Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa / kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.























DAFTAR PUSTAKA

Badan Peratanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Admnistrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 4.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.23.
Mahadi,  Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum USU, Medan, 1987, hlm. 52-139.
Perangin, Effendi.1991. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah.Jakarta : Rajawali Press
Sarjita.Prosedur Pelaksanaan Ruilslag Barang Milik/Kekayaan Negara dan Pemerintah Daerah. Yogyakarta : UPPM-STPN, 2003.
Sembiring, Julius.2012.Tanah Negara.Yogyakarta : STPN Press.
Soerjono Wigjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung,  Jakarta, 1983, h. 197.
Sumardjono, Maria.2009.Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang  Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.



[1]  Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.23.
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah ...  2003, ibid,hlm.24.
[3] Sumardjono, Maria.2009.Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
[4] Sarjita.Prosedur Pelaksanaan Ruilslag Barang Milik/Kekayaan Negara dan Pemerintah Daerah. Yogyakarta : UPPM-STPN, 2003.
[5] Perangin, Effendi.1991. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah.Jakarta : Rajawali Press
[6] Sembiring, Julius.2012.Tanah Negara.Yogyakarta : STPN Press.
[7] Mahadi,  Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum USU, Medan, 1987, hlm. 52-139.
[8] Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang  Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.

[9] Badan Peratanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Admnistrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 4.
[10] Soerjono Wigjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung,  Jakarta, 1983, h. 197.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar