Jumat, 22 November 2013

Hubungan Antara Manusia Sebagai Subyek Hukum dan Hak-hak Atas Tanah di Indonesia





Segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum adalah ‘purusa’ (subyek) dalam arti yuridis.[1] Subyek Hukum dalam hukum perdata terdiri dari manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (recht persoon). Keberadaan manusia sebagai subyek hukum dimulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal dunia.[2] Bahkan lahirnya hak perdata tersebut dapat berlaku surut yaitu sejak si anak masih berada dalam kandungan.
Pasal 1 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menentukan bahwa “Menikmati hak-hak keperdataan tidak bergantung pada hak-hak kenegaraan” . Ketentuan ini berarti semua orang, baik manusia maupun badan hukum di dalam melaksanakan haknya adalah sama.[3]
Pasal 2 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menentukan bahwa “Anak yang berada dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bila kepentingan anak itu menuntutnya.” Hal ini berarti keberadaan seseorang sebagai subyek hukum dapat berlaku surut bagi anak yang belum dilahirkan apabila kepentingan si anak menuntut demikian.[4]  Pelaksanaan pasal 2 Burgerlijk Wetboek harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1.    Anak itu telah lahir,
2.    Ia lahir hidup,
3.    Kepentingannya itu membawa serta tuntutan akan hak-haknya.
Semua manusia merupakan subyek hukum. Di Indonesia terlihat dalam pasal 27 UUD 1945. Namun tidak semua manusia pribadi dapat menjalankan sendiri hak-haknya. Pasal 1329 KUHP menyatakan bahwa pada dasarnya semua orang cakap kecuali oleh Undang-Undang (UU) dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak cakap menurut UU antara lain orang-orang yang belum dewasa (Pasal 330 KUHP) dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (pasal 433 dan 434 KUHP).
Dengan demikian seluruh bangsa Indonesia dapat dinyatakan sebagai subyek hukum.  Setiap subyek hukum dapat melakukan perbuatan hukum tertentu.
Lantas siapakah yang dapat dikatakan sebagai Warga Negara Indonesia itu?
Warga Negara adalah orang yang terkait dengan sistem hukum Negara dan mendapat perlindungan Negara. Ada beberapa definisi dari WNI di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain :
·                Pasal 26 UUD 1945 WNI adalah : Orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan Undang-undang sebagai warga Negara.
·                UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Menurut UU ini, yang termasuk warga negara Indonesia ialah :
1)             setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang - undangan dan atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi warga
2)             anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI 
3)             anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA
4)             anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI 
5)             anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI ,, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
6)             anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI
7)             anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI 
8)             anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anak dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
9)             anak yang lahir dalam wilayah negara RI yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
10)         anak yang baru lahir yang ditemukan dalam wilayah negara RI selama ayah dan ibunya tidak diketahui
11)         anak yang lahir dalam wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
12)         anak yang dilahirkan di luar wilayah negara RI dari seorang ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut lahir memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
13)         anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelu mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia .

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
1)             anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2)             anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3)             anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4)             anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
1.             Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2.             Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Selanjutnya, Warga Negara Indonesia yang akan melakukan perbuatan hukum tertentu tadi diatur menurut sistem poeraturan perundang-undangan yang ada di negara kita.Menurut Buku II KUHP tentang kebendaan, dalam pasal 503 KUHP benda dapat digolongkan menjadi benda berwujud dan benda tak berwujud. Sedangkan dalam pasal 504 KUHP benda dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tak bergerak.
Pembendaan atas benda bergerak dan benda tak bergerak adalah sangat penting sebab dapat menimbulkan akibat yang berbeda terhadap kedua jenis benda tersebut. Misalnya dalam hal  pemindah-tanganan, benda bergerak cukup dengan menyerahkan saja sedangkan benda tak bergerak harus dengan cara balik nama. Dalam hal benda bergerak dijadikan jaminan utang, jaminan itu disebut dengan gadai sedangkan kalau yang dijadikan jaminan benda tak bergerak namanya adalah Hypotik.
Hak-hak kebendaan yang diatur dalam KUHP antara lain : Hak Eigendom (Hak Milik), Hak Servituut (Hak Pekarangan), Hak Opstal (Hak Guna Bnagunan), Hak Erfact (Hak Guna Usaha), Hak Vruchgebruik (Hak pakai hasil), Hak Hypotik, dan sebagainya.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) maka hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHP  dicabut sepanjang mengenai bumi, air,dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya kecuali hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. UUPA bermaksud mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan hukum adat atas tanah.[5]
Semenjak berlakunya UUPA, maka hak-hak atas tanah yang menganut hukum barat perlu disesuaikan dengan hak-hak yang berlaku menurut UUPA. Hal inilah yang kemudian mengatur tentang ketentuan konversi dalam Bagian II UUPA tentang Ketentuan Konversi yang termuat dalam sembilan pasal.
Hak-hak atas tanah yang tercantum dalam UUPA (pasal 16) meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan,dan sebagainya. Hak-hak atas tanah ini memiliki syarat tersendiri didalam penguasaan dan pemilikannya.
Berikut mengenai beberapa macam hak atas tanah yang dikaitkan dengan subyek hukum pemilikan dan penguasaannya :
A.    Hak Milik
Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan : “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. “ Ketentuan ini merupakan penjabaran azas nasionalitas sebagaimana disebutkan pasal 9 ayat (1) UUPA”hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.”  Penjelasan umum II (5) UUPA menegaskan : ‘Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal I maka menurut Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) hanya Warga Negara Indonesia sajayang dapat mempunyai hak milik atas tanah.Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang pasal 26 ayat (2). Konsekuensinya, seorang WNI yang mempunyai kewarganegaraan ganda seperti tersebut dalam Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia maka tidak dapat sebagai subjek Hak Milik. Penjelasan pasal 21 ayat (3) UUPA menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
·         Orang asing tidak dapat memiliki Hak milik namun dalam hal tertentu secara sah dapat memperoleh hak milik atas tanah. Yang dimaksud memperoleh secara sah adalah bilamana ia memperoleh Hak Milik atas tanah tanpa melakukan ‘sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak atas tanah itu misalnya seperti : pewarisan tanpa wasiat dan percampuran harta perkawinan. Orang asing yang yang memperoleh hak milik dengan cara di atas, hanya boleh memegang hak milik yang diperolehnya selama satu tahun. Tenggat waktu satu tahun ini merupakan kesempatan untuk mengalihkannya kepada seorang WNI yang memenuhi syarat. Jika orang asing tersebut tidak mengalihkan haknya selama satu tahun sejak diperolehnya maka haknya hapus karena hukum. Artinya hapus dengan sendirinya tanpa dengan suatu keputusan pengadilan. Tetapi cukup dengan pernyataan pejabat eksekutif. Penegasan pejabat eksekutif diperlukan untuk keperluan pendaftaran sebagaimana dimaksud pasal 23 UUPA.[6]
Pasal 9 ayat (2) UUPA menyatakan : ‘Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

B.     Hak Guna Usaha
Pasal 30 UUPA secara konsisten menerapkan semangat yang terkandung pada prinsip nasionalitas yang terdapat dalam Pasal 9 UUPA. Konsekuensinya hanya WNI dan badan hukum Indonesia serta yang berkedudukan di Indonesia yang boleh sebagai subjek HGU. Ketentuan ini juga dipertegas di dalam pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996 . Implikasi lain dari prinsip nasionalitas ini juga tampak dalam pasal 30 ayat (2) yang menyatakan bahwa apabila pemegang HGU tidak lagi memenuhi syarat, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU itu kepada pihak lain yang memnuhi syarat, dan apabila dalam jangka waktu satu tahun itu tidak dilepaskan atau dialihkan, maka HGU tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
C.     Hak Guna Bangunan
Pasal 36 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : (a) Warga Negara Indonesia dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya pasal 36 ayat (2) UUPA tersebut menyatakan “Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D.    Hak Pakai
Pasal 42 UUPA menyatakan bahwa  yang dapat mempunyai hak pakai ialah : (a) warganegara Indonesia , (b) orang asing yang berkedudukan di Indonesia, (c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Selanjutnya Pasal 39 PP No. 46 tahun 1996 lebih rinci menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah : (a) warganegara Indonesia , (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan Pemerintah Daerah, (d) Badan-badan keagamaan dan Sosial, (e) orang asing yang berkedudukan di Indonesia, (f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dan (g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Yang perlu dicermati bahwa : kalau dalam HM, HGU, HGB tidak diperkenankan orang asing (WNA) dan badan hukum asing sebagai subyek hak, maka salah satu keunikan HP adalah bahwa subyeknya bisa orang asing (WNA) dan badan hukum asing.
Hal tersebut mengindikasikan :
·         Hubungan yang sepenuhnya dan terkuat serta turun-menurun dalam HM hanya bisa diberikan kepada WNI ;
·         Hubungan yang kuat dalam HGU dan HGB dapat diberikan kepada WNI dan Badan Hukum Indonesia ;
·         Hubungan yang terbatas dalam HP selain untuk WNI dan Badan Hukum Indonesia juga dapat diberikan kepada WNA dan Badan Hukum Asing.[7]
Orang asing yang dapat menjadi subyek HP adalah orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Namun dalam penjelasan Pasal 39 Huruf e PP No. 40 tahun 1996 pengertian ‘berkedudukan’ di Indonesia sudah diperlonggar yakni jika kehadiran orang asing itu di Indonesia memberkan manfaat bagi pembangunan nasional.
Pada dasarnya Hak Pakai dapat dialihkan. Dalam hal terdapat tanah yang merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Namun, apabila terdapat tanah yang merupakan tanah hak milik, maka pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain hanya dimungkinkan apabila dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jadi, apabila dalam suatu kejadian pemegang Hak Pakai kehilangan persyaratannya atas hak tersebut, maka pihak tersebut akan kehilangan haknya dan wajib mengalihkannya kepada pihak lain atau Hak Pakai tersebut dihapuskan.[8]







[1] Van Apeldoroorn,LJ.2011.Pengantar Ilmu Hukum.PT.Pradnya Paramita.Yogyakarta.
[2] Komariah.Hukum Perdata. Malang : UMM Press.2010. Hlm.21-22
[3] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press. 1991.Hlm 3.
[4] Ibid.
[5] Budhiawan , Haryo dan Lily Dwi Astuti.2007.Modul Hukum Perdata. STPN Press.Yogyakarta.
[6] Sitorus , Oloan dan Rofiq Laksamana.2007.Modul Hukum Agraria. STPN Press.Yogyakarta.

[7] Sitorus , Oloan dan Rofiq Laksamana.2007.Modul Hukum Agraria. STPN Press.Yogyakarta.
[8] www.hukumproperti.com diunduh pada hari Senin tanggal 30 September 2007 pukul 22.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar