Segala sesuatu yang
mempunyai kewenangan hukum adalah ‘purusa’
(subyek) dalam arti yuridis.[1]
Subyek Hukum dalam hukum perdata terdiri dari manusia (natuurlijke persoon) dan
badan hukum (recht persoon). Keberadaan manusia sebagai subyek hukum dimulai
dari saat ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal dunia.[2]
Bahkan lahirnya hak perdata tersebut dapat berlaku surut yaitu sejak si anak
masih berada dalam kandungan.
Pasal 1 Burgerlijk
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menentukan bahwa “Menikmati hak-hak
keperdataan tidak bergantung pada hak-hak kenegaraan” . Ketentuan ini berarti
semua orang, baik manusia maupun badan hukum di dalam melaksanakan haknya
adalah sama.[3]
Pasal 2 Burgerlijk
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) menentukan bahwa “Anak yang berada
dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bila kepentingan
anak itu menuntutnya.” Hal ini berarti keberadaan seseorang sebagai subyek
hukum dapat berlaku surut bagi anak yang belum dilahirkan apabila kepentingan
si anak menuntut demikian.[4] Pelaksanaan
pasal 2 Burgerlijk Wetboek harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Anak
itu telah lahir,
2. Ia
lahir hidup,
3. Kepentingannya
itu membawa serta tuntutan akan hak-haknya.
Semua manusia merupakan
subyek hukum. Di Indonesia terlihat dalam pasal 27 UUD 1945. Namun tidak semua
manusia pribadi dapat menjalankan sendiri hak-haknya. Pasal 1329 KUHP
menyatakan bahwa pada dasarnya semua orang cakap kecuali oleh Undang-Undang
(UU) dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak cakap menurut UU
antara lain orang-orang yang belum dewasa (Pasal 330 KUHP) dan mereka yang
ditaruh di bawah pengampuan (pasal 433 dan 434 KUHP).
Dengan demikian seluruh
bangsa Indonesia dapat dinyatakan sebagai subyek hukum. Setiap subyek hukum dapat melakukan perbuatan
hukum tertentu.
Lantas siapakah yang
dapat dikatakan sebagai Warga Negara Indonesia itu?
Warga Negara adalah
orang yang terkait dengan sistem hukum Negara dan mendapat perlindungan Negara.
Ada beberapa definisi dari WNI di dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia antara lain :
·
Pasal 26 UUD 1945 WNI adalah :
Orang-orang bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan Undang-undang
sebagai warga Negara.
·
UU no. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Menurut UU ini, yang
termasuk warga negara Indonesia ialah :
1)
setiap
orang yang berdasarkan peraturan perundang - undangan dan atau berdasarkan
perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah
menjadi warga
2)
anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI
3)
anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA
4)
anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI
5)
anak
yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI ,, tetapi ayahnya
tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut
6)
anak
yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari
perkawinan yang sah dan ayahnya WNI
7)
anak
yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI
8)
anak
yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh
seorang ayah WNI sebagai anak dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 tahun atau belum kawin
9)
anak
yang lahir dalam wilayah negara RI yang pada waktu lahir tidak jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya
10)
anak
yang baru lahir yang ditemukan dalam wilayah negara RI selama ayah dan ibunya
tidak diketahui
11)
anak
yang lahir dalam wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
12)
anak
yang dilahirkan di luar wilayah negara RI dari seorang ayah dan ibu WNI yang
karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut lahir memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
13)
anak
dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya,
kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelu mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia .
Selain itu, diakui pula
sebagai WNI bagi:
1)
anak WNI yang lahir di luar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah
oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2)
anak WNI yang belum berusia
lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan
penetapan pengadilan
3)
anak yang belum berusia 18
tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah
atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4)
anak WNA yang belum berusia
lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai
anak oleh WNI.
Kewarganegaraan
Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai
berikut:
1.
Anak yang
belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di
wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan
Indonesia
2.
Anak warga
negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan
status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan
kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara
asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau
sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga
negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.
Selanjutnya, Warga
Negara Indonesia yang akan melakukan perbuatan hukum tertentu tadi diatur
menurut sistem poeraturan perundang-undangan yang ada di negara kita.Menurut
Buku II KUHP tentang kebendaan, dalam pasal 503 KUHP benda dapat digolongkan
menjadi benda berwujud dan benda tak berwujud. Sedangkan dalam pasal 504 KUHP
benda dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tak bergerak.
Pembendaan atas benda
bergerak dan benda tak bergerak adalah sangat penting sebab dapat menimbulkan
akibat yang berbeda terhadap kedua jenis benda tersebut. Misalnya dalam
hal pemindah-tanganan, benda bergerak
cukup dengan menyerahkan saja sedangkan benda tak bergerak harus dengan cara
balik nama. Dalam hal benda bergerak dijadikan jaminan utang, jaminan itu
disebut dengan gadai sedangkan kalau yang dijadikan jaminan benda tak bergerak
namanya adalah Hypotik.
Hak-hak kebendaan yang
diatur dalam KUHP antara lain : Hak Eigendom (Hak Milik), Hak Servituut (Hak Pekarangan),
Hak Opstal (Hak Guna Bnagunan), Hak Erfact (Hak Guna Usaha), Hak Vruchgebruik
(Hak pakai hasil), Hak Hypotik, dan sebagainya.
Dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) maka hak-hak kebendaan yang diatur
dalam Buku II KUHP dicabut sepanjang
mengenai bumi, air,dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya kecuali hipotik
yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. UUPA bermaksud
mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan hukum adat atas tanah.[5]
Semenjak berlakunya
UUPA, maka hak-hak atas tanah yang menganut hukum barat perlu disesuaikan
dengan hak-hak yang berlaku menurut UUPA. Hal inilah yang kemudian mengatur
tentang ketentuan konversi dalam Bagian II UUPA tentang Ketentuan Konversi yang
termuat dalam sembilan pasal.
Hak-hak atas tanah yang
tercantum dalam UUPA (pasal 16) meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan,dan
sebagainya. Hak-hak atas tanah ini memiliki syarat tersendiri didalam
penguasaan dan pemilikannya.
Berikut mengenai
beberapa macam hak atas tanah yang dikaitkan dengan subyek hukum pemilikan dan
penguasaannya :
A.
Hak Milik
Pasal 21 ayat
(1) UUPA menyatakan : “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik. “ Ketentuan ini merupakan penjabaran azas nasionalitas sebagaimana
disebutkan pasal 9 ayat (1) UUPA”hanya Warga Negara Indonesia yang dapat
mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.” Penjelasan umum II (5) UUPA menegaskan :
‘Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal I maka menurut Pasal 9 jo.
Pasal 21 ayat (1) hanya Warga Negara Indonesia sajayang dapat mempunyai hak
milik atas tanah.Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan
hak milik kepada orang asing dilarang pasal 26 ayat (2). Konsekuensinya,
seorang WNI yang mempunyai kewarganegaraan ganda seperti tersebut dalam Pasal 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia maka tidak dapat sebagai subjek Hak Milik. Penjelasan pasal
21 ayat (3) UUPA menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
·
Orang asing tidak dapat memiliki Hak
milik namun dalam hal tertentu secara sah dapat memperoleh hak milik atas
tanah. Yang dimaksud memperoleh secara sah adalah bilamana ia memperoleh Hak
Milik atas tanah tanpa melakukan ‘sesuatu tindakan positif yang sengaja
ditujukan pada terjadinya peralihan hak atas tanah itu misalnya seperti :
pewarisan tanpa wasiat dan percampuran harta perkawinan. Orang asing yang yang
memperoleh hak milik dengan cara di atas, hanya boleh memegang hak milik yang
diperolehnya selama satu tahun. Tenggat waktu satu tahun ini merupakan
kesempatan untuk mengalihkannya kepada seorang WNI yang memenuhi syarat. Jika
orang asing tersebut tidak mengalihkan haknya selama satu tahun sejak
diperolehnya maka haknya hapus karena hukum. Artinya hapus dengan sendirinya
tanpa dengan suatu keputusan pengadilan. Tetapi cukup dengan pernyataan pejabat
eksekutif. Penegasan pejabat eksekutif diperlukan untuk keperluan pendaftaran
sebagaimana dimaksud pasal 23 UUPA.[6]
Pasal 9 ayat (2) UUPA
menyatakan : ‘Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kesempatan sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah untuk mendapat
manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
B.
Hak Guna Usaha
Pasal 30 UUPA
secara konsisten menerapkan semangat yang terkandung pada prinsip nasionalitas
yang terdapat dalam Pasal 9 UUPA. Konsekuensinya hanya WNI dan badan hukum
Indonesia serta yang berkedudukan di Indonesia yang boleh sebagai subjek HGU.
Ketentuan ini juga dipertegas di dalam pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996 . Implikasi
lain dari prinsip nasionalitas ini juga tampak dalam pasal 30 ayat (2) yang
menyatakan bahwa apabila pemegang HGU tidak lagi memenuhi syarat, maka dalam
jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU itu kepada pihak
lain yang memnuhi syarat, dan apabila dalam jangka waktu satu tahun itu tidak
dilepaskan atau dialihkan, maka HGU tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
menjadi tanah negara.
C.
Hak Guna Bangunan
Pasal 36 ayat
(1) UUPA menyatakan bahwa yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : (a)
Warga Negara Indonesia dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya pasal 36 ayat (2) UUPA
tersebut menyatakan “Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan
dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini
dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang
memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
D.
Hak Pakai
Pasal 42 UUPA
menyatakan bahwa yang dapat mempunyai
hak pakai ialah : (a) warganegara Indonesia , (b) orang asing yang berkedudukan
di Indonesia, (c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, (d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia. Selanjutnya Pasal 39 PP No. 46 tahun 1996 lebih rinci menyatakan
bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah : (a) warganegara Indonesia , (b)
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia, (c) Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan Pemerintah
Daerah, (d) Badan-badan keagamaan dan Sosial, (e) orang asing yang berkedudukan
di Indonesia, (f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dan
(g) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Yang perlu
dicermati bahwa : kalau dalam HM, HGU, HGB tidak diperkenankan orang asing
(WNA) dan badan hukum asing sebagai subyek hak, maka salah satu keunikan HP
adalah bahwa subyeknya bisa orang asing (WNA) dan badan hukum asing.
Hal tersebut
mengindikasikan :
·
Hubungan yang sepenuhnya dan terkuat
serta turun-menurun dalam HM hanya bisa diberikan kepada WNI ;
·
Hubungan yang kuat dalam HGU dan HGB
dapat diberikan kepada WNI dan Badan Hukum Indonesia ;
·
Hubungan yang terbatas dalam HP selain
untuk WNI dan Badan Hukum Indonesia juga dapat diberikan kepada WNA dan Badan
Hukum Asing.[7]
Orang asing yang dapat
menjadi subyek HP adalah orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Namun
dalam penjelasan Pasal 39 Huruf e PP No. 40 tahun 1996 pengertian ‘berkedudukan’ di Indonesia sudah diperlonggar
yakni jika kehadiran orang asing itu di Indonesia memberkan manfaat bagi
pembangunan nasional.
Pada dasarnya Hak Pakai
dapat dialihkan. Dalam hal terdapat tanah yang merupakan tanah yang dikuasai
oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin
pejabat yang berwenang. Namun, apabila terdapat tanah yang merupakan tanah hak
milik, maka pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain hanya dimungkinkan apabila
dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jadi, apabila dalam suatu kejadian
pemegang Hak Pakai kehilangan persyaratannya atas hak tersebut, maka pihak
tersebut akan kehilangan haknya dan wajib mengalihkannya kepada pihak lain atau
Hak Pakai tersebut dihapuskan.[8]
[1] Van
Apeldoroorn,LJ.2011.Pengantar Ilmu Hukum.PT.Pradnya Paramita.Yogyakarta.
[2]
Komariah.Hukum Perdata. Malang : UMM Press.2010. Hlm.21-22
[3] R.
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press. 1991.Hlm 3.
[4] Ibid.
[5] Budhiawan
, Haryo dan Lily Dwi Astuti.2007.Modul Hukum Perdata. STPN Press.Yogyakarta.
[6] Sitorus
, Oloan dan Rofiq Laksamana.2007.Modul Hukum Agraria. STPN Press.Yogyakarta.
[7] Sitorus
, Oloan dan Rofiq Laksamana.2007.Modul Hukum Agraria. STPN Press.Yogyakarta.
[8] www.hukumproperti.com diunduh pada hari
Senin tanggal 30 September 2007 pukul 22.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar