A. Pendahuluan
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari
adanya Perjanjian Giyanti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani
Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama
Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi
dua yaitu: Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi
Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui
menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi
kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu,
Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon,
Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian
Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera
menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama
Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta).
Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Kasultanan Yogyakarta merupakan
kerajaan yang memiliki wilayah administratif yang luas. Kehidupan masyarakatnya
bersifat agraris. Oleh karena itu, tanah menjadi sarana legitimasi sultan dalam
kekuasaannya. Menurut konsep tradisional jawa, raja merupakan pusat suatu
kehidupan di dunia dan pemilik tunggal atas tanah kerajaan (Sultan Ground). Sultan memiliki dua
jenis hak atas tanah yaitu hak politik yang merupakan hak untuk menetapkan
batas-batas luas daerah dan kekuasaannya dan hak untuk mengatur hasil
kepemilikan tanah sesuai dengan hukum adat.
Pada mulanya tanah kasultananan
(Sultan Ground) diwilayah Yogyakarta
diatur menurut Domein Verklaring Rijksblad
Kasultanan 1918 No. 16 jo 1925 No. 23 yang menyatakan bahwa tanah menjadi
hak milik sultan. Akan tetapi, dalam perkembangannya tanah itu ada yang
diberikan kepada pihak pemerintah Hindia Belanda, kepada perorangan bangsa
Belanda dan Tionghoa. Pada waktu diadakan reorganisasi hukum, tanah diberikan
sebagai hak milik (bezutsrecht)
kepada perorangan yang bertempat tinggal di Kota Yogyakarta dan Kalurahan di
luar ibukota.
B.
Sultan
Ground (SG)
1. Pengertian Sultan Ground (SG)
Tanah Kasultanan (Sultan Ground) merupakan tanah yang belum diberikan haknya kepada
penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga
siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
Tanah Sultan Ground dibagi dua yaitu
a.
Crown Domain atau Tanah Mahkota adalah
tanah yang tidak bisa diwariskan yang merupakan atribut pemerintahan Keraton
Ngayogyokarto Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar
Ngasem, Pesanggrahan Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul,
Masjid Besar dan sebagainya.
b.
Sultanaad Ground (tanah milik
Kasultanan) adalah tanah-tanah yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah
tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya
bisa dikuasai oleh rakyat.
2.
Dasar
Hukum Sultan Ground (SG)
a. Koninlijk Besluit
(yang diundangkan dalam Staatsblad
Nomor 474 Tahun 1915);
b.
Rijksblad
Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 dan Rijksblad Kasultanan Nomor 18 Tahun
1918;
c.
Rijksblad
Kasultanan Nomor 11 Tahun 1928 dan Rijksblad Kasultanan Nomor 2 Tahun 1931;
d.
Rijksblad
Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925.
3.
Pola
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan (Sultan Ground)
a.
Pola
Penguasaan Tanah Kasultanan (Sultan
Ground)
Pada
masa feodal, terpusatnya kekuasaan raja diwarnai dengan konsep “manunggaling kawula gusti” (persatuan
antara raja dan rakyat/hamba dan tuan) yang menggambarkan raja sebagai wakil
Tuhan di dunia, sehingga raja melindungi rakyat dan sebaliknya rakyat
diwajibkan untuk mengabdi kepada raja. Adanya kekuasaan sultan yang absolut
menyebabkan sultan menjadi penguasa atas tanah yang ada di dalam wilayah
kerajaannya, sedangkan rakyat (kawula
dalem) hanya sekedar diperkenankan menempati sebagian tanah, Dengan
demikian, rakyat hanya memiliki hak anggadhuh, meskipun memiliki status hak anggadhuh itu turun-temurun. Status
sultan sebagai penguasa atas tanah yang ada di wilayah kerajaannya dinyatakan
dalam Rijksblad Kasultanan Nomor 16
Tahun 1918 yang intinya menyebutkan
bahwa semua tanah yang tidak ada bukti kepunyaan orang lain dengan hak eigendom menjadi tanah milik Keraton
Yogyakarta. Peraturan ini lebih dikenal dengan domeinverklaring.
Dalam
hal pengawasan terhadap tanah yang sangat luas, sultan menyerahkannya kepada
kerabat sultan (sentana dalem) dan
para pegawai (priyayi) yang ditunjuk
oleh sultan yang disebut “patuh”, sedangkan tanah yang dikuasakan kepada mereka
disebut “tanah kepatuhan” atau “tanah lungguh (apanage)”. Atas tanah lungguh tersebut, para patuh dapat memungut
pajak sebagai penghasilan mereka. Dalam menjalankan pengawasan terhadap
tanah-tanah kasultanan, patuh menyerahkan hak-hak kekuasaan mereka kepada
pembantu mereka di perkotaan, yaitu aparat pemerintah (lurah), yang memiliki
kedudukan sosial di bawah patuh.
Terhadap
tanah yang dipakainya itu, rakyat (kawula
dalem) memiliki kewajiban menyerahkan sebagian dari hasil tanahnya kepada
patuh, yaitu sebesar 1/3 dari hasil tanah garapan, tetapi mereka tidak
mempunyai hak sama sekali atas tanah. Hak mereka hanya mengambil hasilnya dan
memakai untuk tempat tinggal. Jangka waktu pemakaiannya tidak ada sehingga
selama rakyat yang memakai tanah tersebut dapat memenuhi kewajiban yang
dibebankan, maka mereka dibiarkan memakai tanah yang telah ditentukan. Akan
tetapi apabila rakyat tidak dapat memenuhi kewajiban yang dibebankan, maka hak
pakai atas tanah dicabut untuk diberikan kepada yang menginginkan memakai tanah
tersebut dengan syarat bersedia memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah
ditentukan oleh patuh. Sementara itu, hak patuh adalah mendapat bagian dari
hasil tanahnya, tetapi dalam praktik kekuasaanya begitu besar terhadap tanah
rakyatnya, sehingga para patuh merupakan tuan tanah besar dari rakyatnya.
Pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda, hubungan antara kasultanan dengan
Pemerintahan Hindia Belanda diatur dalam suatu kontrak politik. Pemerintahan
colonial mengubah sistem penguasaan dan pemilikan tanah di Yogyakarta yang
semula berada di tangan sultan, para sentana dan abdi dalem dialihkan sedikit demi sedikit kepada Pemerintah Hindia
Belanda, meskipun kedudukan sosial dalam masyarakat feodal tetap berada di
tangan sultan.
Tanah
di Yogyakarta yang langsung dikuasai oleh sultan disebut tanah “Maosan Dalem”, sedangkan tanah lainnya
disebut “tanah kejawen/apanage” yaitu
tanah yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sultan. Sultan
memiliki kewenangan untuk mempergunakannya bagi kepentingan kasultanan atau
untuk kepentingan pribadi. Sultan memiliki hak memiliki hak memakai dan hak
mencabut hak-hak dari pemegangnya atau memberikan kepada pihak lain. Pola
penguasaan tanah feodal semacam itu memberikan kesempatan kepada modal asing
untuk berkembang. Persil-persil tanah yang menjadi kuasa sultan disewakan
kepada pihak Pemerintahan Hindia Belanda, NISM, SS, dan disewakan kepada
perorangan bangsa Belanda serta Tionghoa, seperti dokter keraton dengan hak eigendom atau hak opstal. Sultan tetap memegang hak eigendom apabila hak opstal diberikan
kepada mereka.
Penguasaan
tanah yang telah diuraikan merupakan ciri pola penguasaan tanah sampai awal
abad XX yang memandang sultan sebagai penguasa dan pemilik tunggal tanah di
Yogyakarta.
b.
Pola
Pemilikan Tanah Kasultanan (Sultan
Ground)
Pada
awal abad XX, sultan memiliki tanah yang sangat luas dan sekaligus memiliki
kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Yogyakarta. Oleh karena itu, sultan
telah mengatur sistem penggunaan tanah di wilayah Yogyakarta sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya, yaitu sebagai berikut:
1. Tanah
yang dipakai sendiri oleh sultan yaitu keraton;
2. Tanah-tanah
yang oleh sultan diserahkan dengan cuma-cuma untuk dipakai NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij),
Benteng Vredeburg, kantor karesidenan, stasiun, dll;
3. Tanah-tanah
dengan eigendom atau postal yang diberikan kepada orang-orang
Tionghoa dan Belanda;
4. Tanah
yang diserahkan untuk dipakai pegawai-pegawai sultan yang dikelola secara
berkelompok (krajan/tempat tinggal
pejabat) yang disebut tanah golongan;
5. Tanah
yang diserahkan kepada kerabat/sentana
sultan dengan status hak pakai yang disebut tanah kesentanaan;
6. Tanah-tanah
pekarangan bupati yang semula termasuk tanah golongan, tetapi lambat laun
dilepaskan dari ikatan golongan dan menjadi tanah pekarangan dari
pegawai-pegawai tinggi lainnya;
7. Tanah-tanah
pekarangan dan perkebunan terletak di luar pusat ibukota yang diberikan dengan
hak pakai kepada pepatih dalem yang disebut kebonan
dan tanah untuk kepentingan umum;
8. Tanah-tanah
pekarangan rakyat jelata, termasuk tanah yang ada di bawah kekuasaan sultan;
9. Sawah-sawah
yang diurus oleh bekel yang disebut dengan tanah maosan.
Sejak
tahun 1917 hingga 1925 dilakukan reorganisasi pemilikan tanah di Yogyakarta
dengan tujuan menata kembali sistem pemilikan dan penguasaan tanah di
Yogyakarta yang pada mulanya merupakan milik raja. Kebijakan reorganisasi ini
sebenarnya tidak lepas dari pengaruh Pemerintah Hindia Belanda yang hendak
memberlakukan Agrarische Wet 1870 di
Yogyakarta. Langkah pertama yang dilakukan dalam proses reorganisasi ini adalah
menghapus sistem apanage, pembentukan
kalurahan sebagai unit administrasi, pemberian hak-hak penggunaan tanah yang
jelas kepada penduduk dan penerbitan peraturan sistem sewa tanah, pengurangan
kerja wajib penduduk, serta perbaikan aturan pemindahan hak atas tanah.
Penghapusan
sistem apanage (lungguh) di Yogyakarta dilakukan pada tahun 1917. Implikasinya
adalah para pemegang lungguh, baik
para kerabat keraton maupun priyayi yang memiliki jabatan istana diberi gaji
berupa uang dan bukan diberi tanah sebagai pengganti lungguhnya. Penduduk (kawula
dalem) yang pada mulanya hanya memiliki hak pakai tanah, setelah adanya
reorganisasi tanah, penduduk memiliki hak tanah yang dipakai dengan status
hukum sebagai hak milik (andarbe). Penduduk
yang memiliki hak milik tanah adalah mereka yang menempati dan mengelola tanah
selama bertahun-tahun. Ketentuan ini didasarkan pada Rijksblad van Djogjakarta
Nomor 23 Tahun 1925.
Ada
beberapa hak penduduk atas tanah setelah pelaksanaan reorganisasi tanah, yaitu:
1)
Hak pakai secara
turun-temurun (Erfelijk Gebruiksrechten)
Penguasaan
tanah menjadi wewenang kalurahan dan tanah menjadi milik komunal warga kampung
dengan status hak pakai (gebruiksrechten).
Tanah tersebut dapat dipakai untuk kepentingan umum, misalnya: sekolah, kantor,
rumah sakit, dll. Hak pakai atas tanah dibagi menjadi dua, yaitu hak pakai
untuk penduduk asli (pribumi) dan untuk orang asing. Sultan tidak dapat berbuat
sewenang-wenang mengambil tanah-tanah tersebut, namun sultan dapat mencabut hak
tanah penduduk tanpa memperdulikan peraturan-peraturan yang ada jika tanah
tersebut selama 10 tahun tidak dipergunakan dan dimanfaatkan atau apabila
pemilik hak pakai (nganggo bumi)
turun-temurun tersebut meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris yang legal
secara hukum. Kalurahan dilarang menjual hak atas tanah kepada penduduk,
kecuali mendapatkan izin dari pepatih dan residen Yogyakarta.
2)
Hak milik (andarbe) atas tanah
Sejak
tahun 1925, Sultan memberikan tanah kepada masyarakat dengan hak milik pribadi.
Pensertipikatannya dilakukan mulai tahun 1926. Sebelum dikeluarkannya
sertipikat tanah yang berupa “Peikan Soko
Register Bab Wewenang Andarbeni Boemi”, terlebih dahulu dilakukan
pengukuran dan penentuan klasifikasi tanah untuk menentukan luas pemilikan
masing-masing penduduk. Penetapan luas ini dilakukan untuk menentukan besarnya
pajak bumi yang wajib dibayarkan penduduk yang menerima hak milik tanah. Dengan
hak andarbeni, penduduk memiliki
wewenang penuh atas tanah yang diberikan dan mereka dapat menjual, menyewakan
kepada orang lain serta dapat pula mewariskan pada ahli warisnya.
3)
Hak warisan
Pemberian
tanah hak pakai kepada ahli waris harus didaftarkan di kelurahan sesuai dengan
ketentuan Pasal 3P Sultan Yogyakarta 8 Agustus 1918, Rijksblad Nomor 16 yang
berbunyi bahwa hak pakai atas tanah-tanah kalurahan setelah pemakai meninggal
dunia, tanah itu dapat dilimpahkan pada ahli warisnya sesuai dengan urutan
daftar keputusan kalurahan, dengan pengertian bahwa warisan itu dapat diberikan
kepada orang-orang tertentu diantara pewaris-pewarisnya.
4)
Hak menyewakan
Tanah
Kasultanan disewakan kepada penduduk kasultanan dan kepada yayasan atau
lembaga-lembaga, baik departemen maupun non departemen. Luas tanah yang
disewakan tersebut tidak lebih dari 10 Ha dan tanah yang disewakan itu berupa
tanah pekarangan yang tidak ada bangunan rumahnya. Harga sewa tanah pekarangan
sebesar 1/20 harga jual tanah. Akan tetapi, untuk yayasan atau lembaga, harga
sewa tanah lebih murah, bahkan ada yang tidak membayar uang sewa tetapi justru
diberikan dengan hak pakai oleh sultan. Jangka waktu penyewaan tanah kepada
penduduk untuk didirikan bangunan atau ditanami tanaman paling lama 20 tahun
dengan menggunakan perjanjian yang ditetapkan oleh pemerintah yang dapat pula
disaksikan oleh notaris, apabila dikehendaki kedua belah pihak.
5)
Hak Gadai
Penduduk
yang memiliki tanah dengan hak pakai diperkenankan menggadaikan (diedol sende) tanahnya kepada penduduk
di wilayah kasultanan. Penggadaian tersebut harus mendapat izin dari kalurahan
dengan melalui perjanjian diantara kedua belah pihak yang disaksikan oleh
aparat di tingkat kalurahan. Perjanjian ini dibuat untuk tanah yang telah
didaftarkan pada buku register di kalurahan, seperti rumah, yayasan,
pekarangan, yang hasilnya bukan tanaman sayuran (kitri tahun) dan tanah yang disewakan pada orang yang bukan
penduduk kasultananan.
c.
Pola
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan (Sultan Ground)
Penggunaan
dan pemanfaatan tanah Kasultanan (Sultan
Ground) oleh penduduk harus mendapatkan ijin dari Kasultanan. Lembaga yang
berwenang mengeluarkan izin adalah Panitikismo, yaitu dengan mengeluarkan surat
kekancingan. Tanah yang dipergunakan tersebut berstatus magersari, artinya masyarakat boleh menempati tetapi tetap mengakui
bahwa tanah tersebut adalah tanah Keraton. Namun pada kenyataannya masyarakat
yang menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah SG sebagian besar tanpa ada
izin dari Keraton. Jika ada izin pun, ada banyak izin (surat kekancingan) yang telah kadaluarsa dan belum diperbaharui
lagi. Biasanya masa berlaku surat kekancingan tersebut maksimal 10 tahun.
Penggunaan
dan pemanfaatan tanah SG di Yogyakarta bermacam-macam, diantaranya dimanfaatkan
untuk:
1) permukiman,
misal di Desa Guwosari, Kec. Pajangan, Kab. Bantul
2) usaha
pertanian, misal di Desa Gadingsari, Kec. Sanden, Kab. Bantul
3) obyek
wisata, misal Pantai Kuwaru di Kec. Srandakan, Kab. Bantul
4) tempat
bumi perkemahan, misal di Desa Caturharjo, Kec. Pandak, Kab. Bantul
5) lokasi
transmigrasi lokal dan tempat penanaman tanaman langka, misal di Desa
Karangtengah, Kec. Imogiri, Kab, Bantul
6) tempat
pendidikan (sekolah)
7) tempat
ibadah (masjid)
8) hotel
9) mall
10) makam
11) kantor
instansi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
12) dll
C.
Pakualaman Ground (PAG)
1.
Pengertian
Pakualaman Ground (PAG)
Pakualaman
Ground (PAG) merupakan tanah di bawah kekuasaan
Puro Pakualaman. Menurut penjelasan Pasal 32 ayat (32) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2012, yang dimaksud dengan “tanah kadipaten (pakualamanaat Grond)”, lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kadipaten.
2.
Dasar
Hukum Pakualaman Ground (PAG)
a.
Koninlijk
Besluit (yang diundangkan dalam Staatsblad Nomor 474 Tahun 1915);
b.
Rijksblad
Pakualaman Tahun 1918.
3.
Pola
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Pakualaman (Pakualaman Ground)
Kadipaten Pakualaman merupakan bagian dari Daerah Istimewa
Yogyakarta yang
sekarang menjadi Kabupaten
Kulon Progo. Sebelum
terbentuknya Kabupaten Kulon Progo pada tanggal 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon
Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta yang
merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman. Perang Diponegoro di daerah Negaragung,
termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan
yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda
pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta
Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang
yang masuk wilayah Kasultanan
terbentuk empat kabupaten yaitu:
a. Kabupaten
Pengasih, tahun 1831
b. Kabupaten
Sentolo, tahun 1831
c. Kabupaten
Nanggulan, tahun 1851
d. Kabupaten
Kalibawang, tahun 1855
Sejak
masa kolonial di Yogyakarta telah
berlaku 2 (dua) hukum agrarian, hukum adat dan hukum barat (burgelijke wetboek). Urusan hak tanah
diatur dalam domein verklaring/Rijkblad
Kasultanan tahun 1918 dan Rijkblad
Pakualaman tahun 1918. Kekuasaan ini
dinyatakan kembali dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Jogjakarta.
Keberadaan
SG dan PAG diakui, baik oleh masyarakat luas maupun pemerintah. Terbukti jika
pemerintah daerah hendak menggunakan tanah di wilayah Yogyakarta harus terlebih
dahulu meminta izin kepada pihak Keraton atau Puro. Demikian juga kalangan
pengusaha yang ingin berinvestasi di Yogyakarta.
Sementara
masyarakat mengakui tanah itu ditandai dengan penerimaan Surat Kekancingan yang ada di masyarakat,
menjelaskan bahwa status tanah yang ditempati adalah tanah magersari. Surat itu ditandatangani oleh Panitikismo atau pengelola tanah keraton. Lembaga panitikismo
semacam di keraton tidak dijumpai di Paku Alaman dan saat ini baru diupayakan
dibentuk. Pihak Paku Alaman mengakui justru yang mengetahui bidang dan luasan
tanah Paku Alaman Ground adalah pihak BPN.
Permasalahan
status hukum hak atas tanah Paku Alaman Ground (PAG) dari Puro
Pakualaman dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY serta
berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 tanggal 9 Mei 1984 tentang Pelaksanaan
Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
tanggal 1 April 1984 masih memerlukan pengkajian. Hal ini dikarenakan secara
yuridis keistimewaan Pakualaman Ground
di bidang pertanahan belum mendapatkan legitimasi dalam peraturan
perundang-undangan setelah dikeluarkan Keppres RI Nomor 33 Tahun 1984.
D.
Konflik
Sultan Ground di Yogyakarta
Di Kota Yogyakarta, tanah menjadi
masalah utama dan merupakan dasar bagi munculnya konflik dan sengketa. Seluruh
tanah yang kuasai oleh Raja yang dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan
bagi masyarakatnya tentu menimbulkan pertanyaan, apakah sudah tercapai atau
malah sebaliknya hanya menimbulkan masalah dalam penerapannya. Sultan sebagai
raja yang memiliki kedudukan tertinggi harus dapat mengeluarkan kebijakan dalam
bidang pertanahan dengan arif dan berpihak pada rakyat kecil, agar tercapai
kesejahteraan yang hakiki.
Tanah sultan yang disebut dengan tanah Sultan Ground merupakan semua tanah yang
berada di wilayah keraton Kasultanan, kecuali tanah-tanah yang sudah diberikan
hak kepemilikannya kepada siapapun. Defenisi ini mengacu pada domein verklaring yang dianut sejak
tahun 1918, dikukuhkan dalam Perda DIY No.5 Tahun 1954, hingga dinyatakan
kembali pada tanggal 11 April Tahun 2000 pada acara Inventarisasi dan
Sertifikasi Tanah-tanah Keraton DIY antara pemerintah daerah dan instansi
terkait.
Dalam Diktum keempat UUPA huruf A
dinyatakan, ‘Hak-hak dan kewenangan-kewenangan atas bumi dan air dari Swapraja
atau bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-undang
ini hapus dan beralih kepada Negara’. Dengan UUPA harusnya status tanah
eks-Swapraja sudah harus beralih kepada Negara, akan tetapi dengan adanya Undang-undang No. 3 Tahun 1950
dilanjutkan dengan jo Perda DIY No.5 Tahun 1954, peraturan tanah di Yogyakarta
bersifat otonom, sehingga dianggap sebagai orang memberi tameng terhadap
intervensi hukum tanah nasional.
Meskipun penduduk memiliki status hukum
tanah yang jelas dan kuat, hak pemilikan tanah diatur dalam peraturan-peraturan
kasultanan. Peraturan-peraturan itu menyebabkan penduduk memiliki keterbatasan
hak-hak atas tanahnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya sengketa tanah karena
adanya penyimpangan dari pelaksanaan peraturan-peraturan yang ada.
Pada dasarnya sengketa tanah muncul
karena sudah tidak ada musyawarah yang dapat ditempuh dalam penyelesaian
masalah tanah oleh pihak-pihak yang bersengketa. Umumnya permasalahan tanah
berkaitan dengan adanya perbuatan melawan peraturan yang sudah ada, berupa
pendudukan tanah tanpa hak, pembagian warisan yang tidak sesuai, dan jumlah
warisan yang akan dibagikan, jual-beli yang tidak diketahui pemilik tanah yang
sebenarnya, dan sebagainya.
Masalah sengketa tanah di Yogyakarta
umumnya muncul, karena adanya dua faktor utama yaitu pertama, adanya unsur
kesengajaan dari salah satu pihak yang ingin mencoba untuk mendapatkan
keuntungan dari tetangganya atau kerabatnya dengan cara mereka sendiri. Kedua,
ketidak tahuan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak tehadap
peraturan-peraturan yang berlaku atas tanah yang mereka miliki.
Salah satu konflik internal keraton yang
pernah terjadi adalah antara pihak yang menyatakan diri sebagai ahli waris
Sultan Hamengku Buwono VII (M. Triyanto Pratowo, RM. Rooshawantoaji dan RM.
Goewindo) dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. mereka mengadukan Sultan
Hamengku Buwono X ke kepolisian DIY kaitannya dengan dugaan penyelewengan
pengelolaan tanah di Hotel Amborukmo.
Selain konflik internal diatas, terdapat
juga konflik pihak keraton dengan masyarakat seperti yang terjadi di desa
Cangkringan, Srandakan, Bantul. Di daerah Cangkringan ini warga merasa hak atas
tanah yang telah mereka kuasai diserobot oleh pihak investor yang mendapat izin
dan disetui oleh pemerintah kabupaten, guna mengolah tanah di sepanjang wilayah
yang mereka garap. Hal ini mengkibatkan sengketa yang terjadi antara
masyarakat, pemerintah daerah dan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemilik
SG.
Permasalahan mengenai tanah ini tentu
dapat diselesaikan secara damai dan musyawarah. Peradilan yang diberikan kuasa
untuk memutuskan masalah haruslah dapat mencerminkan keadilan bagi semua pihak
yang bersengketa
ataupun berkonflik. Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemimpin
(Sultan) haruslah sejalan dengan peraturan yang ada dalam memberikan izin
lokasi kepada pihak investor. Dengan adanya keseimbangan dan keadilan dalam
penguasaan tanah tentu akan menciptakan kedamaian dalam masyarakat.
E.
Konflik
Pakualaman Ground di Yogyakarta
Konflik ini terkait antara penggarap
tanah PAG di Kelurahan Karangsewu, Kecamatan Galur yang telah ditetapkan oleh
pemerintah kabupaten Kulon Progo sebagai daerah Program Transmigrasi Ring I.
Belakangan terdengar kasus konflik rencana penambangan pasir besi di Kulon
Progo. Kasus ini bermula dari munculnya surat dari Tim Pertanahan Puro Paku
Alaman Ngayogyokarta No 07/TP KPN/VI/2008 tentang Pemberitahuan proses
Pelaksanaan Pengukuran Tanah Pakualaman, tertanggal 16 juli 2008. Pihak pemerintan
desa kemudian menyosialisasikan isi surat itu kepada warganya yang menjadi
penggarap lahan pesisir.
Petani penggarap yang ada di sana
menolak keputusan penambangan itu sebab mereka telah mengusahakan lahan pesisir
itu sejak lama dengan berbudi daya tanaman holtikultura, terutama cabe. Usaha
tersebut sudah berlangsung lama, konon sesepuh mereka yang telah merintisnya.
Tanah pesisir yang dulunya adalah padang pasir yang kering itu, kini telah
berubah menjadi tanah yang produktif dengan berbagai macam tanaman
holtikultura. Bagi para penggarap PAG ini, yang terpenting adalah keinginan
mereka untuk mendapatkan tanah PAG.
Dari pengalaman yang ada di kulon progo
ini, keberadaan tanah adat PAG yang sedang mereka hadapi malah diselewengkan oleh elit-elit
adatnya dan cenderung mengorbankan masyarakat (adat) yang mengolah dan berdiam
di atasnya. Dalam konteks semacam inilah keistimewaan Yogyakarta dimaknai ulang
F.
Eksistensi
Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG)
Undang – Undang
Pokok Agraria (UUPA) dibuat dengan maksud untuk mengadakan unifikasi hukum
pertanahan di Indonesia. Dalam Diktum Keempat
UUPA huruf A dinyatakan, “hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini dihapus
dan beralih kepada Negara”. Dengan UUPA ini seharusnya status tanah
eks-swapraja Yogyakarta beralih ke tangan Negara.Tetapi maksud ini tidak bisa langsung terwujud setelah
UUPA diberlakukan, karena tidak semua daerah di wilayah Indonesia bisa begitu
saja diterapkan ketentuan – ketentuan UUPA. Salah satu daerah tersebut adalah
Daerah Istimewa Yogyakarta (UUPA berlaku secara resmi baru mulai pada tanggal
24 September 1984). Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan suatu daerah yang
pemerintahannya setara dengan tingkat I ( propinsi ) dengan wilayahnya
meliputi Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Paku Alaman (Soedarisman Poerwokoesoemo, 1985:X). Sebagai daerah
kerajaan, Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai peraturan sendiri dalam bidang
pertanahan (sebelum UUPA berlaku secara resmi di DIY, yaitu Rijksblaad No.
16 Tahun 1918 dan No.18 Tahun 1919, tentang tanah-tanah yang tidak dapat
dibuktikan dengan hak eigendom dan
hak domain Kasultanan). Sejak tanggal 1 April
1984, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 berlaku secara efektif sepenuhnya di
Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Keppres No.33 tahun 1984 dan mulai
berlaku secara efektif sejak tanggal 24 September 1984, berdasarkan SK Menteri
Dalam Negeri No.66 tahun 1984.
Dengan berlakunya
Undang-Undang No.5 tahun 1960, para pihak atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum tahun 1984 tetap diakui,
termasuk hak atas tanah bekas hak barat grosse akta sebelum tanggal 24
September 1961 dan sertifikat hak atas tanah sesudah tanggal 24 September 1961.
Adapun tanah Sultan Ground dan dan Paku Alaman Ground adalah tanah yang
tercatat dalam daftar desa sebagai tanah Sultan
Ground dan Pakualaman Ground.
Tanah SG dan PAG adalah semua tanah yang
ada di wilayah keraton Kasultanan dan Puro Paku Alaman kecuali tanah yang telah
diberikan hak kepemilikannya kepada siapapun. Definisi berdasarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, tanah kasultanan (Sultanaat
Grond), lazim disebut Kagungan Dalem,
adalah tanah milik Kasultanan, sedangkan Tanah Kadipaten (Pakualamanaat Grond), lazim disebut Kagungan Dalem, adalah tanah milik Kadipaten. Luas tanah SG dan PAG
yang telah diukur menurut Sultan HB X (2008) adalah 4000 ha. Tanah SG dan PAG
terdiri dari tanah-tanah raja, dan keluarga keraton, situs, tanah yang digarap
masyarakat (dengan sistem magersari)
dan tanah kosong. Tanah SG dan PAG merupakan tanah ulayat atau tanah adat dan
tidak dijamin oleh UUPA, sehingga status kepemilikan dibuktikan dengan surat
yang dikeluarkan keraton dan paku alaman.
Tanah SG dan PAG pada awalnya merupakan
lahan yang kurang atau bahkan tidak subur dan tidak strategis lokasinya. Dengan
pertumbuhan penduduk yang pesat, perkembangan pariwisata, dan teknologi
pengolahan tanah yang cenderung membaik, menjadikan tanah SG dan PAG diminati
oleh masyarakat. Bahkan mulai menjadi komoditi yang diperjualbelikan (dengan
berbagi istilah yang lebih halus, yaitu ganti tenaga garap)
karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground
PAG) yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sampai saat ini masih
diakui, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Keberadaan SG ini menyebar di
seluruh wilayah Provinsi DIY. Tanah itu tersebar secara sporadis di 4 (empat)
kabupaten dan Kota Yogyakarta. SG paling luas berada di Kabupaten Bantul yakni
16,7 juta meter persegi, di Kabupaten Kulonprogo 10,3 juta meter persegi, di
Kabupaten Sleman 3 juta meter persegi, dan di Kota Yogyakarta 800 ribu meter
persegi. Total luas SG dan PAG hanya sekitar 1,2 persen dari luas wilayah
Provinsi DIY.
Sebagian besar tanah-tanah tersebut
digunakan oleh masyarakat maupun pemerintah khususnya pemerintah daerah. Baik
untuk tempat tinggal seperti di lingkungan Kelurahan Kadipaten, tempat usaha
seperti yang terjadi di lingkungan sekitar kraton di mana masyarakat banyak
membuka warung kelontong maupun usaha sablon, perkantoran seperti yang
digunakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DIY maupun penggunaan lainnya seperti
untuk pertanian. Penggunaan SG tersebut berarti masyarakat, pemerintah daerah,
maupun pihak lain dapat menggunakan SG tersebut namun tidak dapat mengalihkan
SG tersebut kepada pihak lain.
Penggunaan SG oleh masyarakat telah
berlangsung lama dan turun temurun. Pihak-pihak yang akan menggunakan SG harus
memperoleh ijin terlebih dahulu dari pihak kraton. Mereka dapat menggunakan SG
berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh pihak Kraton Yogyakarta.
Masyarakat harus membayar sejumlah uang yang besarannya tidak seragam dan sangat
kecil sebagai kompensasi kepada pihak kraton namun ada juga yang tidak perlu
membayar kompensasi apapun. Konsekuensi yang harus dihadapi masyarakat pengguna
SG yaitu mereka harus pindah dan tidak diberikan pesangon apabila SG yang
mereka tempati diminta oleh pihak kraton, dan apabila di atas SG telah
didirikan bangunan maka masyarakat hanya memperoleh ganti rugi sebesar
sepertiga dari keseluruhan nilai bangunan. Hal ini tercantum dalam surat
keputusan yang diterima masyarakat.
Terkait dengan pelaksanaan tugasnya
sejak tahun 1984 sampai saat ini, tentunya BPN telah melaksanakan UUPA.
Kenyataan di lapangan terhadap SG dan PAG tersebut, meskipun data sebenarnya
sudah ada, di lapangan sudah ada, dan masyarakat sudah mengakui, namun
peraturan dari BPN sendiri belum mengakomodir mengenai bagaimana tata cara
pendaftarannya. Kalau memang akan diberikan suatu hak, akan muncul pertanyaan
bagaimanakah prosedurnya. Karena dalam peraturannya, badan hukum yang bisa
diberikan hak milik sampai saat ini baru hak milik untuk sosial maupun
keagamaan. Seandainya diberikan suatu bentuk badan hukum, maka akan memudahkan
pendataan dan prosedur pemberian suatu hak sesuai dengan apa yang nanti akan
diputuskan.
Dalam ketentuan UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta, disebutkan bahwa konsekuensi yuridis dari eksistensi/keberadaan daerah Swapraja
Kasultanan dan Pakualaman telah hapus dan wilayah/daerahnya menjadi bagian dari
wilayah/daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun demikian, sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa UUPA belum mengakomodir mengenai tata cara
pendaftarannya. Dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, mampu memberikan solusi atas
permasalahan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Bab X tentang Pertanahan,
yaitu pasal 32 ayat (1) bahwa dengan UU ini Kasultanan dan Kadipaten dinyatakan
sebagai badan hukum. Dan berikutnya pada ayat (2) dan (3) dinyatakan bahwa
sebagai badan hukum Kasultanan merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik
atas tanah Kasultanan dan Kadipaten sebagai subjek hak yang mempunyai hak milik
atas tanah Kadipaten. Selanjutnya menurut ketentuan pasal 33 ayat (1) UU ini,
hak milik atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten didaftarkan pada lembaga pertanahan.
Dengan demikian jelas bahwa eksistensi SG dan PAG semakin kuat setelah
dikeluarkannya UU tersebut.
Eksistensi status tanah keraton masih
diakui sepanjang masih tercatat dalam peta sebagai tanah Sultan Ground /
Pakualam Ground ataupun Tanah Negeri. Dan secara hukum adat SG maupun PAG
eksistensinya masih diakui oleh masyarakat namun belum diakomodir dalam UUPA
dan kenyataannya masih diakui oleh masyarakat yang memanfaatkannya. Dengan
dikeluarkannya UU No 13 Tahun 2012, semakin menegaskan eksistensi SG dan PAG
yaitu dengan dinyatakannya Kasultanan dan Kadipaten sebagai badan hukum dan
diberikannya status hak milik terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan
Kadipaten.
G.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tanah
Kasultanan (Sultan Ground) merupakan
tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah
desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya
harus meminta ijin kepada pihak Keraton.
2. Pada
masa feodal, kekuasaan sultan yang
absolut menyebabkan sultan menjadi penguasa
dan pemilik atas tanah yang ada di dalam wilayah
kerajaannya, sedangkan rakyat (kawula
dalem) hanya sekedar diperkenankan menempati sebagian tanah ( hak anggadhuh).
3. Penggunaan
dan pemanfaatan tanah SG di Yogyakarta bermacam-macam, diantaranya dimanfaatkan
untuk : permukiman, usaha pertanian, obyek wisata, tempat bumi perkemahan,
lokasi transmigrasi lokal dan tempat penanaman tanaman langka, tempat
pendidikan (sekolah), tempat
ibadah (masjid), hotel, mall, makam, kantor instansi
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dll.
4. Pakualaman Ground (PAG) merupakan tanah di bawah
kekuasaan Puro Pakualaman. Kadipaten Pakualaman merupakan bagian dari Daerah Istimewa
Yogyakarta yang
sekarang menjadi Kabupaten
Kulon Progo.
5. Secara yuridis
keistimewaan Pakualaman Ground di
bidang pertanahan belum mendapatkan legitimasi dalam peraturan
perundang-undangan setelah dikeluarkan Keppres RI Nomor 33 Tahun 1984.
6. Salah
satu konflik yang terjadi
terkait dengan SG yaitu konflik pihak keraton dengan masyarakat seperti yang terjadi di desa
Cangkringan, Srandakan, Bantul. Di daerah Cangkringan ini warga merasa hak atas
tanah yang telah mereka kuasai diserobot oleh pihak investor yang mendapat izin
dan disetujui oleh pemerintah kabupaten, guna mengolah tanah di sepanjang
wilayah yang mereka garap. Hal ini mengkibatkan sengketa yang terjadi antara
masyarakat, pemerintah daerah dan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemilik
SG.
7. Salah
satu konflik yang terjadi
terkait dengan PAG yaitu konflik yang terjadi di
Kelurahan Karangsewu, Kecamatan Galur yang telah ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten Kulon Progo sebagai daerah Program Transmigrasi Ring I. Belakangan terdengar kasus
rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo. Kasus ini bermula dari munculnya surat
dari Tim Pertanahan Puro Paku Alaman Ngayogyokarta No 07/TP KPN/VI/2008 tentang
Pemberitahuan proses Pelaksanaan Pengukuran Tanah Pakualaman, tertanggal 16 Juli
2008. Pihak pemerintan desa kemudian mensosialisasikan isi surat itu kepada
warganya yang menjadi penggarap lahan pesisir. Petani penggarap yang ada di
sana menolak keputusan penambangan itu sebab mereka telah mengusahakan lahan
pesisir itu sejak lama dengan berbudi daya tanaman holtikultura, terutama cabe. Tanah pesisir yang
dulunya adalah padang pasir yang kering itu, kini telah berubah menjadi tanah
yang produktif dengan berbagai macam tanaman holtikultura.
8. Sultan Ground
(SG) dan Pakualaman Ground (PAG) sampai saat ini
masih diakui, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dengan dikeluarkannya
UU No 13 Tahun 2012, semakin menegaskan eksistensi SG dan PAG yaitu dengan
dinyatakannya Kasultanan dan Kadipaten sebagai badan hukum khusus dan
diberikannya status hak milik terhadap tanah-tanah milik Kasultanan dan
Kadipaten.