MENGENAL PENTINGNYA STATUS HAK ATAS
TANAH
A.
Pengantar
Pembentukan Hukum Tanah Nasional yang diawali lahirnya UUPA berusaha
melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang
bersifat tunggal. Tanah disini dimaknai secara filosofis yang cenderung
diartikan sebagai land dan bukan soil. Tanah dipandang dari multi
dimensional dan multi aspek.
Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di
Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum
agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24
September 1960 dan sejak itu untuk seluruh wilayah Republik Indonesia hanya ada
satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas
tanah yang baru. Pembentukan Hukum Tanah Nasional kemudian diikuti dengan
dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak
atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hierarki yang berjenjang.
Hukum Agraria/Tanah hanya mengatur segi tertentu dari agrararia/tanah
itu sendiri, yakni menyangkut Hak Penguasaan atas Sumberdaya Agraria (HPAA)
atau Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT).
B. Status Hak Penguasaan Atas Tanah
Untuk menjamin kepastian hukum maka Hukum Tanah Nasional sejauh mungkin diberi bentuk tertulis. Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur semua
hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan lain, ada juga
pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam Hukum Kebiasaan-kebiasaan
baru (yang bukan Hukum Adat). Oleh karena itu, sampai saat ini hukum yang
berlaku mengenai HPAT dalam HTN, terdiri atas:
a.
hukum tertulis,
yang meliputi:
1)
Pasal 33 UUD 1945;
2)
UUPA;
3)
Peraturan-peraturan
pelaksanaan;
4)
Peraturan-peraturan
lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan peraturan peralihan dari UUD 1945.
b.
hukum yang tidak
tertulis, yang meliputi:
1)
Hukum Adat yang sudah disaneer;
2)
Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.
Boedi Harsono
menyatakan bahwa dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai
Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi
serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang
merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah dalam
Hukum Tanah.[1]
Lingkup studi dari Hukum Tanah ini dapat dilihat dari tata jenjang atau
hierarkhi hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yang
meliputi:[2]
a.
Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1 UUPA
sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang beraspek perdata dan
publik;
b.
Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA
sebagai hak penguasaan yang semata-mata mengandung aspek publik;
c.
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal
3 UUPA, yang beraspek perdata dan publik;
d.
Hak-hak perorangan/individual, yang semuanya berunsur
perdata, terdiri atas:
1)
Hak-hak atas
tanah sebagai hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak
langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;
2)
Wakaf, yaitu Hak
Milik yang sudah diwakafkan, Pasal 49 UUPA;
3)
Hak Jaminan atas
Tanah yang disebut Hak Tanggungan dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51 UUPA serta UU
No. 4 Tahun 1996;
4)
HMRS
Oleh
karena, Hak Bangsa merupakan Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) yang tertinggi di
Indonesia, maka semua HPAT lainnya bersumberkan dari Hak Bangsa sebagai
kekayaan bersama dari seluruh Bangsa Indonesia. Salah satu implikasinya, semua
hak atas tanah pun harus berfungsi sosial.
C. Tanah Negara
Tanah Negara dapat didefinisikan
sebagai :
a)
Menurut Prof. Dr. Maria
S.W. Soemardjono, S.H., M.C.L., MPA. Tanah Negara adalah tanah-tanah
yang tidak dilekati dengan sesuatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, serta tanah ulayat
dan tanah wakaf.[3]
b)
Menurut Prof. Arie
Sukanti Hutagalung, S.H., MCL. Tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai
oleh negara di atasnya belum dihaki dengan hak-hak perseorangan yang diberikan
oleh siapa yang meliputi badan hukum perdata, perorangan maupun Instansi
Pemerintah .[4]
c)
Menurut Effendi Perangin Tanah Negara adalah tanah yang langsung
dikuasai oleh negara. Langsung dikuasai, artinya tidak ada hak fihak lain di
atas tanah itu. Tanah itu disebut juga tanah negara bebas. [5]
Ruang Lingkup tanah
Negara yaitu :
a)
Tanah- tanah yang diserahkan secara
sukarela oleh pemiliknya kepada negara
b)
Tanah- tanah HGU, HGB, HP di atas
tanah negara yang berakhir jangka
waktunya dan tidak diperpanjang lagi kecuali HGB dan HP yang terbitnya di atas
HM, HPL
c)
Tanah- tanah yang pemegang haknya
meninggal dunia tanpa ahli waris
d)
Tanah- tanah yang diterlantarkan (PP
No. 36/1998)
e)
Tanah- tanah milik Perusahaan Belanda
yang terkena UU Nasionalisasi (UU No. 86
Tahun 1958)
f)
Tanah-tanah yang diambil untuk
kepentingan umum sesuai dengan tata cara pencabutan hak yang diatur dalam UU
No. 20 Tahun 1961 dan pengadaan tanah UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
g)
Tanah-tanah yang dikuasai menurut
Perpu No. 3 Tahun 1960 tentang Penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958
h)
Menurut Effendi Parangin ada 4 jenis
dari Tanah Negara :
1.
Sejak
semula tanah negara belum pernah ada pihak tertentu selain negara yang
menguasainya;
2.
Bekas
tanah partikelir;
Tanah negara bekas partikelir merupakan konsekuensi dari UU No. 1 Tahun
1958 yang menghapus semua tanah partikelir di Indonesia.Penghapusan tersebut
menyebabkan tanah partikelir menjadi tanah negara.
Tanah Negara yang berasal dari
Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir (yang telah diberikan ganti kerugian semula
merupakan/berupa tanah partikelir dengan
hak-hak pertuanan, tanah usaha, dan tanah kongsi).
Tanah-tanah Negara yang berasal dari
Tanah Bekas/Eks Swapradja atau Swapradja berdasarkan Diktum Ke IV Huruf A dan B UUPA, kecuali SG dan PA di Yogyakarta
3.
Bekas
tanah hak barat;
Tanah negara bekas tanah hak barat merupakan
implikasi yuridis dari ketentuan konversi
tanah-tanah hak barat, yang menyatakan bahwa tanggal 24 September 1980 merupakan habisnya waktu berlaku dari bekas
tanah hak barat (kecuali sudah dikonversi menjadi Hak Milik).
4.
Bekas
tanah hak.
Suatu tanah hak dapat menjadi tanah negara karena
hak yang ada di atasnya dicabut oleh yang berwenang, dilepaskan secara sukarela
oleh yang berhak, habis jangka waktunya, dan karena pemegang hak bukan subjek.
Menurut
Prof. Dr. Maria S.W. Soemardjono, MCL., MPA: Tanah yang dikuasai oleh
Pemerintah tidak serta merta masuk dalam
pengertian Tanah negara, walaupun tanah tersebut merupakan aset/kekayaan Negara, karena tanah-tanah
negara yang dikuasai oleh suatu
instansi pemerintah dan dipergunakan sesuai tugas dan fungsinya diberikan
dengan HPL dan Hak Pakai sesuai PMA No. 9 Tahun 1965. Jika Instansi Pemerintah
menguasai tanah, namun tidak mempunyai/memiliki HPL atau HP maka status
tanahnya adalah tanah Negara.
Pada
intinya Tanah Negara terdapat dua unsur tentang Tanah Negara yaitu : dikuasai
langsung atau penuh oleh negara dan belum dilekati dengan sesuatu hak atas
tanah.[6]
D.
Tanah Ulayat
Masyarakat Hukum Adat
Hukum Tanah Adat (HTA) ini merupakan bagian dari
hukum adat. Sebagaimana ajaran ter
Haar, hukum adat adalah hukum yang bersumber pada keputusan penguasa.
Ini yang disebut ajaran keputusan (beslissingen leer). Hukum adat adalah
adat yang mempunyai akibat hukum, yang kalau tidak dilaksanakan atau dilanggar
akan ada sanksi dari para penguasa adat.
Berikut beberapapengertian Hak Ulayat :
a.
.Pasal 3 UUPA. Menurut
Boedi Harsono, hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya. Subyek dari hak ulayat adalah masyarakat hukum adat,
baik yang bersifat teritorial (warganya tinggal di wilayah yang sama) maupun yang
bersifat genealogik (warganya terikat dengan hubungan darah).
b.
UU No 21 Tahun 2001, Hak Ulayat adalah hak
persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi
hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
c.
Pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, hak
ulayat adalah kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk mengambil mamfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
Prof. Mahadi mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) ‘TIANG HUKUM ADAT’ yang
ditegakkan oleh van Vollenhoven, yaitu:[7]
a.
Persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen),
yang terjadinya ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yakni:
1)
faktor territorial, contoh faktor territorial
ini jumlahnya lebih banyak misalnya desa di daerah Sunda, Jawa, Madura, Bali,
Gampong di Aceh, kampung di daerah Melayu, Bangka, Belitung, di sebagian
Sumatera Selatan, di Sulawesi Selatan, negerai di Minahasa, dan Ambon;
2)
faktor genealogis, contohnya adalah di tanah
Gayo; dan
3)
faktor campuran, contohnya terdapat di Nias
(euri), Mentawai (uma), huta dan kuria di daerah Batak, nagari di Minangkabau,
marga dan dusun di Sumatera Selatan.
b.
Hak Ulayat, yakni hak menguasai
masyarakat hukum (adat), yang berisi: (1) kewenangan privat (kewenangan dari
para anggota masyarakat hukum adat untuk menguasai dan mengusahakan seluruh
wilayah hukum adat; dan (2) kewenangan publik (kewenangan penguasa adat dan
para tetua adat untuk mengatur penggunaan dan penguasaan wilayah adat);
c.
Daerah Hukum Adat, yang menurut van Vollenhoven ada
19 wilayah hukum adat (adat rechtskringen) di seluruh Indonesia,
semuanya itu dipandang sebagai aset-bersama yang menjadi pendukung utama
kehidupan persekutuan-persekutuan hukum tersebut, sehingga daerah hukum adat
itupun disebut sebagai lebensraum;
d.
Perjanjian adalah perbuatan konkrit, yang oleh
Holleman dinyatakan bahwa pada praktek hukum hutang piutang (Schuldenrecht) di
Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura diekspresikan dengan ungkapan: (1) “…which
are actual forms of transferring property and not agreement creating the obligation
to transfer property… the mere expression of consensus is not enough”; (2) “…
legal obligation does not simply arise from
a bare consensus, but requires the actual transfer of something
tangible”, sedangkan oleh Mahkamah Agung sifat perjanjian riil (terhadap
jual beli tanah) antara lain diekspresikan, seperti: “dengan perjanjian telah
dituliskan, penulisan itu terjadi di hadapan Kepala Kampung, dan harga telah
dibayar, dianggap barang telah diserahkan”;
e.
Hukum Adat tidak mengenal konstruksi yuridis yang
abstrak, sehingga beberapa contoh konstruksi yuridis yang abstrak seperti badan
hukum, kedewasaan, dan kadaluarsa tidak dikenal dalam Hukum Adat;
f.
Hukum Adat “makes sensory perception the basis of
legal catagories and distinction” (menjadikan tangkapan dengan pancaindera
sebagai dasar bagi penentuan kategori dan sebagai ukuran untuk
membeda-bedakan), sehingga pembedaan antara right in rem dan right in
personam tidak dikenal dalam Hukum Adat, yang dikenal adalah ‘hak atas
tanah dan air’ serta ‘hak atas benda-benda’ lain;
g.
Sifat susunan keluarga, yang terdiri dari
patrilineal, matrilineal, dan parental, adakalanya menggerapai kepada
bidang-bidang lain, termasuk dalam hal ini Hukum Agraria, sebagai contoh tanah
hanya boleh dimiliki oleh marga tertentu.
Pengertian hak ulayat
dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa
“hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap
dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat
itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan
yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan
yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat
di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak
penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua
tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat
tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat
mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai
hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas
tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek
moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung
utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat
hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan
untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah
ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun
ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini
adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan
pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada
keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah
yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya.
Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut
adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia
bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam
melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan
penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk
menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:[8]
a.
Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya
sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah
ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c.
Unsur hubungan antara masyarakat tersebut
dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh
para warga persekutuan hukum tersebut
Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945
tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat
penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang
bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur
dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia,
pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang
telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara
hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Setelah
Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat
pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal
sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal
sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian
hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan
pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga
terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh
mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.[9]
Apabila ditelaah
pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat
mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan
hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis
dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam
masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya
tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan
yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan
kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan
tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan
tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan
merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan
dan roh para leluhur persekutuan[10]
Dengan demikian
dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang
adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat
diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok
Agraria serta hukum adat yang berlaku.
Pada
dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi
pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu:
“eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat
diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di
daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan
kembali.
Pelaksanaan
tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai
berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka
H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk
pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab
itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota
masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan
hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang
demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan
asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA ,Hak
Ulayat yang pada kenyataanya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali,
juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional
tugas kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat telah menjadi tugas kewenangan negara. Pada
kenyataanya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu
dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). Oleh karena itu hak ulayat tidak akan
diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur karena pengaturan hak
tersebut akan berakibat melestarikan eksistensinya.
E. Tanah Hak
(1)
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat
bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan
saksi dan atau penyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk
mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
(2)
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia
secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat
:
a.
Penguasaan
tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan
sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat
dipercaya;
b.
Penguasaan
tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa / kelurahan yang
bersangkutan ataupun pihak lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Peratanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Admnistrasi
Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 4.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum
Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.23.
Mahadi,
Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit
Perpustakaan Fakultas Hukum USU, Medan, 1987, hlm. 52-139.
Perangin, Effendi.1991. Praktek Permohonan Hak Atas
Tanah.Jakarta : Rajawali Press
Sarjita.Prosedur Pelaksanaan Ruilslag Barang
Milik/Kekayaan Negara dan Pemerintah Daerah. Yogyakarta : UPPM-STPN, 2003.
Sembiring, Julius.2012.Tanah Negara.Yogyakarta :
STPN Press.
Soerjono Wigjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur
Bandung, Jakarta, 1983, h. 197.
Sumardjono, Maria.2009.Kebijakan Pertanahan Antara
Regulasi dan Implementasi.Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan
Nasional, yang Ditujukan Kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan
Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.23.
[2] Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
... 2003, ibid,hlm.24.
[3]
Sumardjono, Maria.2009.Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi.Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
[4]
Sarjita.Prosedur Pelaksanaan Ruilslag
Barang Milik/Kekayaan Negara dan Pemerintah Daerah. Yogyakarta : UPPM-STPN,
2003.
[5]
Perangin, Effendi.1991. Praktek Permohonan Hak Atas Tanah.Jakarta : Rajawali
Press
[6]
Sembiring, Julius.2012.Tanah Negara.Yogyakarta
: STPN Press.
[7] Mahadi, Uraian
Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, Penerbit Perpustakaan
Fakultas Hukum USU, Medan, 1987, hlm. 52-139.
[8]
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
[9]
Badan Peratanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Admnistrasi Perlindungan Tanah Adat,
Palangkaraya, 2007, h. 4.
[10]
Soerjono Wigjodipuro, Asas-Asas Hukum
Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983,
h. 197.