BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia,
baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata
pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim
dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara
termaksud dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi wewenang kepada
Negara untuk :
· mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
· menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
· menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). pasal
ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya,
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok
Agraria dan PP Nomor 40/1996 terdiri dari :
1.
Hak Penguasaan atas tanah
2.
Hak-hak atas tanah yanhg bersifat tetap (pasal 16
UUPA)
Hak
penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya.
Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolo ukur pembeda di antara
hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Ada juga penguasaan yuridis, yang
biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik,
pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya
seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi
disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut
dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa
tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditor (bank)
pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis
atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan
tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut
diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis
yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.
Pengaturan
hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Hak penguasaan atas tanah
sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya.
2.
Hak penguasaan atas tanah
sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah
dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, adalah:
1.
Hak Bangsa Indonesia atas
tanah.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang adadalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1 ayata (1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang adadalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1 ayata (1)-(3) UUPA.
2.
Hak Menguasai dari Negara atas
tanah.
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya, Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2 ayat (1) UUPA).
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya, Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari
negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam pasal 2 ayat (2) UUPA, adalah:
a)
Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah (lihat pasal 10,
14, 15 UUPA).
b)
Menentukan dan mengatur
hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan tanah (lihat pasal 7, 16,
17, 53 UUPA).
c)
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dan perbuatan –perbuatan
hukum yang mengenai tanah (lihat pasal 19 Jo PPNo. 24/1997)
Hak menguasai dari
negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.
3.
Hak ulayat
masyarakat hukum adat
Menurut pasal 1 Permen
Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan
menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat
dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan
hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah
secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu
dengan wilayah yang bersangkutan.
4.
Hak perseorangan atas tanah
Hak-hak perseorangan atas
tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan,
sekelompok orang secara bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam
arti menguasai, menggunakan , dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah
tertentu.
Hak menguasai dari
negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.
Hak atas tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah
atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki (lihat pasal 16 dan 53 UUPA Jo.
PP No 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai).
Hak atas tanah
bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga negara asing, sekelompok
orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan
hukum publik.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah
terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air danruang
yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain.
2.
Wewenang
khusus
Wewenang yang bersifat
khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan
tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada tanah Hak
Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,
HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian, perkebunan,
perikanan dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA dikelompokan menjadi tiga yaitu :
1.
Hak atas
tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak
Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2.
Hak atas
tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
3.
Hak atas
tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan
dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan
Hak Sewa Tanah Pertanian.
Sementara dari segi asalnya, hak atas tanah
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
1.
Hak atas
tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM,
HGU, HGB Atas Tanah Negara, HP Atas Tanah Negara.
2.
Hak atas
tanah bersifat sekunder
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas
Tanah Hak Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan,
HP Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi
Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak atas tanah di Indonesia tidak semuanya dapat dimiliki oleh orang yang
tinggal di Indonesia. Bagi orang asing yang tinggal di Indonesia hanya
diberikan hak pakai saja, sedangkan untuk hak atas tanah yang lainnya seperti :
Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha hanya dapat dimiliki oleh Warga
Negara Indonesia.
Makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai perbandingan hak
atas tanah yang bersifat primer yaitu antara Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik.
- Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan (HGB) ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan Hak Milik (HM) ?
3.
Bagaimanakah komparasi antara Hak
Guna Bangunan dengan Hak Milik ditinjau dari isi, subyek, obyek, cara perolehan,
jangka waktu dan hapusnya hak?
- Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan
yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini
adalah:
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan
(HGB).
2.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hak Milik (HM).
3.
Mengetahui perbandingan komparasi antara Hak
Guna Bangunan dengan Hak Milik ditinjau dari isi, subyek, obyek, cara perolehan,
jangka waktu dan hapusnya hak.
BAB II
PEMBAHASAN
KOMPARASI ANTARA
HAK MILIK DAN HAK GUNA BANGUNAN
A.
Penjelasan
mengenai hak milik dan hak guna bangunan
1.
Penjelasan mengenai Hak Milik
SEBAGAI LEMBAGA HUKUM
1
Isi dan Sifat
Pasal 20 ayat (1)
UUPA menyatakan bahwa Hak Milik adalah hak turun-temurun,terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA yakni
mengenai fungsi sosial hak atas tanah. Isi dan sifat HM disebutkan
‘turun-temurun,terkuat dan terpenuh’. Boedi Harsono menegaskan bahwa HM tidak
hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya tetapi hak itu
dapat pula diwariskan dan diwarisi. Makna terkuat dan terpenuh menurut
Penjelasan Pasal 20 UUPA adalah untuk membedakannya dengan HGU , HGB, HP ,dan
sebagainya yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat
dipunyai orang, Hak Milik yang paling kuat dan terpenuh.
Kewenangan
terpenuh dari HM tampak jelas dari kewenangan penggunaan dan pemanfaatan hak
tersebut yang boleh digunakan untuk tanah pertanian atau tanah non-pertanian
dalam jangka waktu yang tak terbatas.
Kewenangan
penggunaan HM dimaknai dalam kerangka pembatasan pasal 4 ayat(2) UUPA yakni
sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu’ sebab bagaimanapun HM adalah tetap sebagai hak atas tanah
yakni hak atas permukaan bumi.Sesuai hukum adat, HM bersumber dari hak ulayat
sebagai hak bersama dari masyarakat kaum adat sehingga harus tetap berfungsi
sosial,eksistensi dan penggunaannya harus tetap memperhatikan kepentingan
bersama yakni kepentingan bangsa Indonesia.
Luas HM yang dapat
dimiliki secara individual oleh WNI dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.
Khususnya mengenai pemilikan tanah pertanian yang diatur dalam UU No 56 Prp
tahun 1960 sedangkan mengenai pemilikan tanah perkotaan dengan HM masih belum
ada pengaturan yang tegas.
Mengenai
keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo
plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat
mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya
atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis
mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan
pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya
Kedua asas
tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas
tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan
di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat
mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan
dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas
tersebut.
2
Subjek
Pasal 21 ayat (1)
UUPA menyatakan “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik”.
Ketentuan ini merupakan penjabaran dari aspek nasionalitas.
Pasal 9 ayat (1)
UUPA menyatakan “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”.
Konsekuensinya
adalah seorang WNI yang juga mempunyai kewarganegaran yang lain (berkewarganegaraan
rangkap) tidak dapat menjadi subjek HM Pasal 21 ayat (4) UUPA.
Ketentuan pasal
21 ayat (3) UUPA menyatakan “ Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang
ini mempunyai hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai HM dan setelah berlakunya
Undang-undang ini wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun
sejak diperoleh hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah
jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan maka hak tersebut
hapus karena hukum dan jatuh kepada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung”.
Pasal 9 ayat (2)
UUPA menyatakan “Tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah untuk mendapat
manfaat dan hasilnya baik bagi diri senidri maupun keluarganya.”
Pasal 21 ayat (2)
UUPA menyatakan “Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”. Lebih lanjut penjelasan umum II (5)
UUPA menyatakan :” ......pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai
HM pasal 21 ayat (2) UUPA. Adapun
pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak
milik atas tanah ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik
tetapi cukup hak-hak lainnya asal saja ada jaminan yang cukup bagi
keperluan-keperluannya yang khusus (HGU, HGB, HP menurut pasal 28, 35, 41)
Dengan demikian
jika badan hukum menjadi subjek Hak Milik maka harus ditentukan dengan
undang-undang atau peraturan lainnya seperti PP No. 38 Tahun 1963 tentang
Penunjukkan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Menurut pasal 38
PP No 38 Tahun 1963 , badan hukum yang dapat mempunyai HM atas tanah adalah
sebagai berikut :
a)
Bank-bank yang didirikan
oleh negara
b)
Perkumpulan-perkumpulan
koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No. 79 Tahun 1958
c)
Badan-badan keagamaan
yang ditunjuk oleh Kepala BPN setelah mendengar dari Menteri Agama
d)
Badan-badan sosial yang
ditunjuk oleh Kepala BPN setelah mendengar Menteri Sosial
3
Objek
Tanah yang dapat
diberikan HM dapat dari tanah yang berstatus tanah negara, tanah ulayat maupun
tanah tanah yang merupakan Hak Milik Adat.
SEBAGAI HUBUNGAN HUKUM KONKRIT
1
Cara Terjadinya
Pasal 22 UUPA
menyatakan bahwa terjadinya HM adalah dengan :
1)
Karena hukum adat
Menurut
penjelasan pasal 22 UUPA terjadinya HM
karena hukum adat adalah karena pembukaan tanah. Hak membuka tanah itu sendiri
oleh pasal 16 ayat (1) UUPA merupakan salah satu hak atas tanah dan oleh pasal
46 UUPA dinyatakan hanya dapat dipunyai oleh WNI dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah
2)
Karena Penetapan
Pemerintah
Terjadinya HM
karena penetapan pemerintah berarti bahwa HM itu ada karena keputusan pemberian
hak oleh pemerintah. Kewenangan pemberian hak diatur dalam PMNA KBPN No. 3
Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara dengan penjelasan :
a)
Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota (pasal 3) jika :
-
Tanah pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 2 Ha
-
Tanah non-pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 2000 m2, kecuali mengenai tanah bekas HGU
-
Dalam rangka program
transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan pendaftaran tanah
secara massal baik secara sporadik maupun sistematik
b)
Kepala Kantor Wilayah BPN
jika :
-
Tanah pertanian yang
luasnya lebih dari 2 Ha
-
Tanah non-pertanian yang
luasnya tidak lebih dari 5000 M2 kecuali yang kewenangan pemberian haknya telah
dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
3)
Karena Undang-undang
Hal ini berarti
karena ketentuan konversi. Konversi adalah penyesuaian hak atas tanah yang lama
baik berdasarkan Hukum Barat (Hak Barat)
maupun Hukum Adat (Hak adat) kedalam sistem hukum yang baru (UUPA)
2
Peralihannya
Pasal 23 ayat (1)
UUPA menyatakan “Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang
diatur dalam pasal 19 ”.
Pasal 26 ayat (1)
UUPA menyatakan “Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan
Hak Milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”.
Pasal 26 ayat (2)
UUPA menyatakan “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat,pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung maupun tidak langsung memindahkan Hak Milik kepada seseorang
warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan
oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemilik tidak dapat dituntut kembali ”.
3
Pembebanannya
HM dapat dibebani dengan
hak-hak atas tanah lainnya yang lebih rendah nilainya, dalam hal ini HGB, HP,
dan Hak Sewa. HM tidak dapat dibebani dengan HGU, karena HGU hanya dapat
diberikan di atas tanah negara. Menurut Pasal 44 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Pembebanan HGB, HP, dan Hak Sewa itu dapat didaftar jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Selain itu, HM
juga dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Pasal 25 UUPA menyatakan “Hak Milik
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.”
4
Hapusnya
Pasal 27 UUPA
menyatakan bahwa hak milik hapus apabila:
a)
Tanahnya jatuh kepada
negara:
1
karena pencabutan hak
berdasarkan pasal 18
2
karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya
3
karena diterlantarkan
4
karena ketentuan pasal
21ayat 3 dan pasal 26 ayat 2
b)
Tanahnya musnah
2.
Penjelasan mengenai Hak Guna Bangunan
SEBAGAI LEMBAGA HUKUM
4
Isi dan Sifat
Pasal 35 ayat (1)
UUPA menyatakan : “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun”.
Menurut
penjelasan pasal 35 UUPA karena HGB tidak mengenai tanah pertanian maka HGB
selain atas diberikan atas tanah yang langsung dikuasai negara dapat pula
diberikan atas tanah milik seseorang.Pasal ini mengandung unsur-unsur penting
dari HGB yaitu : peruntukan HGB, objek tanah HGB dan jangka waktu HGB.
a.
Peruntukan HGB
Hak guna Bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah. Bangunan
tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian maupun rumah tempat usaha (toko,
kantor), bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata
serta bangunan-bangunan lainnya. Meskipun HGB dapat dimanfaatkan bagi bangunan
rumah tempat tinggal/hunian, namun lembaga HGB sesungguhnya diciptakan untuk
memperkaya lembaga hukum hak atas tanah menurut hukum adat yang lebih
dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan usaha warganegara atau badan hukum
Indonesia. Penciptaan lembaga hukum HGB adalah lebih dimaksudkan untuk
mengakomodasi kepentingan usaha dari warganegara sedangkan untuk hunian lebih
merupakan maksud dari Hak Milik.Oleh karena itu tidak sesuai apabila Pemerintah
Daerah di wilayah perkotaan membuat kebijakan untuk memberikan HGB kepada
pembangunan rumah hunian dengan alasan agar lebih murah untuk mengganti ruginya
jika suatu waktu dibutuhkan untuk kepentingan umum. Konsisten dengan hal itu
maka diambil kebijakan kemudahan untuk memberikan peningkatan HGB menjadi HM bagi
pemilikan rumah yang masih berstatus HGB di lingkungan perumahan.
Pasal 30 PP No 40
Tahun 1996 menyatakan bahwa pemegang HGB berkewajiban :
1
membayar uang pemasukan
yang jumlahnya dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian
haknya
2
menggunakan tanah sesuia
dengan peruntukannya dan persyartan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan
perjanjian pemberiannya
3
memelihara dengan baik
tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan
hidup
4
menyerahkan kembali tanah
yang diberikan dengan Hak Guna Bnagunan kepada Negara, pemegang hak pengelolaan
atas pemegang hak milik sesudah HGB itu hapus
5
menyerahkan sertipikat
HGB yang telah hapus kepada Kepala kantor Pertanahan
Dalam pasal 31 PP No.40 Tahun 1996 menyatakan : “ Jika
tanah Hak Guna Bangunan karena keadaaan
geografis atau lingkungan atau
sebab-sebab lain letaknya sedemikan rupa sehingga mengurung atau menutup
pekarangan atau bidang tanah lain darilalu lintas umum atau jalan air, pemegang
Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan
lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.”
b.
Objek Tanah HGB
Objek tanah yang
dapat diberikan HGB dapat berupa : tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan
Tanah Hak Milik. Pasal 21 PP No 49 Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat
diberikan HGB adalah :
-
Tanah Negara
-
Tanah Hak Pengelolaan
-
Tanah Hak Milik
c.
Jangka Waktu HGB
Jangka waktu HGB
maksimal adalah 30 tahun sehingga kalau dalam jangka waktu tersebut belum
digunakan untuk mempunyai atau atau mendirikan bangunan maka HGB tersebut Tidak
dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan :” Atas permintaan
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling
lama 20 tahun”. Dapat diperpanjang atau diperbarui berarti berarti bahwa
perpanjangan atau pembaruan HGB hanya dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai
persyaratan perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut yang ditentukan dalam Pasal
26 PP No 40 Tahun 1996 yakni:
a)
Tanahnya masih dipergunakan
dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
b)
Syarat-syarat pemberian
hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak
c)
Pemegang hak masih
memenuhi syarat sebagai pemegang HGB
d)
Tanah tersebut masih
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan;
e)
Mendapat persetujuan dari
pemegang Hak Pengelolaan (bagi HGB yang diberikan diatas Hak Pengelolaan)
Menurut pasal 29 PP No. 40 tahun 1996 atas kesepakatan
pemegang HGB dan HM, HGB diatas HM bisa diperbarui dengan pemberian HGB baru
dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat akta Tanah. Pembaruan HGB wajib
didaftarkan.
Menurut pasal 27 PP No. 40 Tahun 1996 , permohonan
perpanjangan diajukan dua tahun sebelum berakhirnya HGB.
Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa untuk
kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan HGB dapat
dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama
kali mengajukan permohonan HGB. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau
pembaruan HGB dan perincian uang pemasukannya dicantumkan dalam keputusan
pemberian HGB.
5
Isi dan Sifat
Pasal 36 ayat (1)
UUPA menyatakan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah :
a)
Warganegara Indonesia;
b)
Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Pasal 36 ayat (2) UUPA menyatakan : “Orang atau badan
hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat
yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat”
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGB, jika ia tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
6
Objek
Menurut pasal 35
UUPA, HGB diberikan atas tanah yang “bukan milik” dari pemegang HGB itu
sendiri. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 37 UUPA maka dapat diartikan
bahwa HGB menurut ketentuan Pasal 35 UUPA HGB dapat diberikan di atas tanah
negara maupun tanah hak milik orang lain.
Selanjutnya pasal
21 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan HGB adalah :
-
Tanah Negara
-
Tanah Hak Pengelolaan
-
Tanah Hak Milik
Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 35 ayat
(1) jo. Pasal 37 UUPA diatas, karena Hak Pengeloaan seyogyanya secara yuridis
lebih dekat dikategorikan sebagai tanah negara”
Selanjutnya mengenai luas HGB yang dapat dimiliki oleh
subyek hak sampai saat ini belum ada ketentuan yang membatasinya. Oleh karena
pembatasan pemilikan tanah yang diatur oleh UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian, hanya melakukan pembatasan terhadap luas tanah
pertanian, sedangkan untuk tanah perumhan dan bangunan lainnya oleh pasal 12 UU
No 6 Prp itu akan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang belum
ada sehingga langkah pragmatisnya, pembatasan tanah perumahan dilakukan melalui
instrumen perizinan peralihan hak atas tanah seperti yang diatur dalam PMNA No
14 Tahun 1961 yang dinyatakan bahwa orang sudah menguasai lima bidang tanah,
maka apabila ia memohon hak atas tanah yang baru dipunyainya lagi diwajibkan
untuk memperoleh izin pemindahan hak.
SEBAGAI HUBUNGAN HUKUM KONKRET
1.
Cara terjadinya
Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat terjadi karena :
a)
Penetapan Pemerintah bagi
tanah yang langsung dikuasai oleh negara
b)
Perjanjian yang berbentuk
otentik karena Penetapan Pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan
dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu bagi tanah Hak Milik.
Selanjutnya pasal 22 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa
terjadinya HGB diatas tanah Hak Pengelolaan juga dilakukan dengan penetapan
pemerintah, dalam hal ini keputusan pemberian HGB oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk berdasarkan usul dari pemegang Hak Pengelolaan.
2.
Peralihannya
Pasal 35 ayat (3) UUPA menyatakan :”Hak Guna Bangunan dapat beralih dan
dialihkan”
Pasal 34 ayat (2) PP No 40 tahun 1996 menyatakan bahwa peralihan HGB itu
terjadi karena:
a)
Jual beli
Pasal Pasal 34
ayat (4) PP No 40 tahun 1996 menyatakan “Peralihan Hak Guna Bangunan karena
jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam
modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh PPAT”
b)
Tukar-menukar
c)
Penyertaan dalam modal
d)
Hibah
e)
Pewarisan
Pasal Pasal 34 ayat (6)
PP No 40 tahun 1996 menyatakan “Peralihan Hak Guna Bnagunan karena pewarisan
harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat
instansi yang berwenang”
Poin
a sampai dengan d disebut peralihan karena ada perbuatan hukum, sedangkan
poin e disebut peristiwa hukum bukan
perbuatan hukum.
Pasal Pasal 34
ayat (7) dan (8) PP No 40 tahun 1996 menyatakan Peralihan Hak Guna Bangunan
diatas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Milik harus dengan persetujuan pemegang
Hak Pengelolaan dan Hak Milik.
3.
Pembebanannya
Pasal 39 UUPA menyatakan “ Hak Guna Bangunan dapat dijadikan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan.”
Selanjutnya pasal 33 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa:
a)
HGB dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan;
b)
Hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Bnagunan.
4.
Hapusnya
Pasal 40 UUPA menyatakan bahwa HGB hapus karena:
a)
Jangka waktunya berakhir
b)
Dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
c)
Dilepaskan oleh pemegang
haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d)
Dicabut untuk kepentingan
umum
e)
Diterlantarkan
f)
Tanahnya musnah
5.
Pembuktiannya
Pasal 38 UUPA menyatakan :
1)
Hak Guna bangunan
termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap peralihan dan hapusnya
hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.
2)
Pendaftaran termasuk
dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan
serta sahnya peralihan hak tersebut kecuali dalam hal hak itu hapus karena
jangka waktu berakhir.
B.
Komparasi
mengenai hak milik dan hak guna bangunan
Komparasi mengenai hak milik dan hak guna bangunan dapat dilihat dari tabel
berikut :
Pembanding
|
Hak Guna Bangunan (HGB)
|
Hak Milik (HM)
|
1.
Subyek
|
a.
Warga Negara Indonesia;
b.
Badan Hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
|
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Badan Hukum yang ditetapkan
oleh pemerintah
|
2.
Obyek
|
a.
Tanah yang dikuasai langsung
oleh negara;
b.
Tanah Milik.
|
a.
Tanah Adat
b.
Tanah Negara
|
3.
Cara Perolehan
|
a.
Penetapan pemerintah;
b.
Perjanjian otentik antara
pemilik tanah bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak yang
bermaksud menimbulkan hak tsb.
|
a.
Terjadinya hak milik menurut
hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah
b.
Selain menurut cara
sebagaimana tersebut di atas hak milik terjadi karena :
Ø Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah
Ø Ketentuan Undang-Undang
|
4.
Jangka waktu
|
Paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang
paling lama 20 tahun.
|
Dapat berlangsung terus selama
pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek
hak milik.
|
5.
Hapus & Berakhirnya Hak
|
a.
Jangka waktunya berakhir;
b.
Dihentikan sebelum jangka
waktunya berakhir karena syarat yang tidak dipenuhi;
c.
Dilepas oleh pemegang hak
sebelum jangka waktu berakhir;
d.
Dicabut untuk kepentingan
umum;
e.
Ditelantarkan;
f.
Tanahnya musnah.
|
a.
Tanahnya jatuh kepada negara,
Ø Karena pencabutan hak untuk kepentingan umum
Ø Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
Ø Karena ditelantarkan
Ø Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2)
b.
Tanahnya musnah
|
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak Guna Bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun.
Hak milik adalah
hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial .
Persamaan yang
terlihat jelas antara Hak Guna Bangunan dan Hak Milik adalah subyek hak yaitu
sama-sama warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum
indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sedangkan perbedaan yang mencolok
antara Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik yaitu jangka waktunya, dimana Hak
Guna Bangunan jangka waktunya ditentukan yaitu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang paling lama 20 tahun sedangkan Hak Milik dapat berlangsung terus
selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak
miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai
subjek hak milik.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-dasar Peraturan Pokok
Agraria
http://hukumkompasiana.com/2010/07/04/hak-milik-atas-tanah/
di download tanggal 16 juni 2012 pukul 22.00 WIB
http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/05/hak-hak-atas-tanah-menurut-uupa-dan-pp.html di download
tanggal 16
juni 2012 pukul 22.00 WIB
http://realmaczman.wordpress.com/2011/06/15/hak-atas-tanah-menurut-uupa/di download tanggal 16 juni 2012 pukul 22.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar