Sabtu, 19 Januari 2013

Komparasi HM dan HGB



BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam  yang  terkandung  didalamnya  itu  pada  tingkatan  tertinggi  dikuasai  oleh  Negara”. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak  menguasai  dari  Negara  termaksud  dalam  UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi  wewenang kepada Negara untuk :
·      mengatur  dan  menyelenggarakan  peruntukan,  penggunaan,  persediaan  dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
·      menentukan  dan  mengatur  hubungan-hubungan  hukum  antara  orang-orang  dengan  bumi, air dan ruang angkasa;
·      menentukan  dan  mengatur  hubungan-hubungan  hukum  antara  orang-orang  dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya  macam-macam  hak  atas  permukaan  bumi,  yang  disebut  tanah,  yang  dapat diberikan  kepada  dan  dipunyai  oleh  orang-orang  baik  sendiri  maupun  bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1). pasal  ini  memberi  wewenang  untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan  penggunaan  tanah  itu  dalam  batas-batas  menurut  undang-undang  ini  dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan PP Nomor 40/1996 terdiri dari :
1.         Hak Penguasaan atas tanah
2.         Hak-hak atas tanah yanhg bersifat tetap (pasal 16 UUPA)
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolo ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Ada juga penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua yaitu :
1.    Hak penguasaan atas tanah sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang atau badan hukum tertentu seb
agai pemegang haknya.
2.    Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, adalah:
1.    Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang adadalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1 ayata (1)-(3) UUPA.
2.    Hak Menguasai dari Negara atas tanah.
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya, Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam pasal 2 ayat (2) UUPA, adalah:
a)        Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah (lihat pasal 10, 14, 15 UUPA).
b)        Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan tanah (lihat pasal 7, 16, 17, 53 UUPA).
c)         Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dan perbuatan –perbuatan hukum yang mengenai tanah (lihat pasal 19 Jo PPNo. 24/1997)
Hak menguasai dari negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.
3.         Hak ulayat masyarakat hukum adat
Menurut pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
4.         Hak perseorangan atas tanah
Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan , dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.



Hak menguasai dari negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki (lihat pasal 16 dan 53 UUPA Jo. PP No 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai).
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu :
1.         Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air danruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain.
2.         Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.

Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA dikelompokan menjadi tiga yaitu :
1.         Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2.         Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
3.         Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Sementara dari segi asalnya, hak atas tanah dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
1.         Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah Negara, HP Atas Tanah Negara.
2.         Hak atas tanah bersifat sekunder
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas Tanah Hak Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak atas tanah di Indonesia tidak semuanya dapat dimiliki oleh orang yang tinggal di Indonesia. Bagi orang asing yang tinggal di Indonesia hanya diberikan hak pakai saja, sedangkan untuk hak atas tanah yang lainnya seperti : Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia.
Makalah ini akan membahas lebih dalam mengenai perbandingan hak atas tanah yang bersifat primer yaitu antara Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik.

  1. Rumusan Masalah
1.       Apakah yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan (HGB) ?
2.       Apakah yang dimaksud dengan Hak Milik (HM) ?
3.       Bagaimanakah komparasi antara Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik ditinjau dari isi, subyek, obyek, cara perolehan, jangka waktu dan hapusnya hak?

  1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan  yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:
1.       Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan (HGB).
2.       Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hak Milik (HM).
3.       Mengetahui perbandingan komparasi antara Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik ditinjau dari isi, subyek, obyek, cara perolehan, jangka waktu dan hapusnya hak.











BAB II
PEMBAHASAN
KOMPARASI ANTARA HAK MILIK DAN HAK GUNA BANGUNAN

A.            Penjelasan mengenai hak milik dan hak guna bangunan
1.         Penjelasan mengenai Hak Milik
SEBAGAI LEMBAGA HUKUM
1                     Isi dan Sifat
Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa Hak Milik adalah hak turun-temurun,terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA yakni mengenai fungsi sosial hak atas tanah. Isi dan sifat HM disebutkan ‘turun-temurun,terkuat dan terpenuh’. Boedi Harsono menegaskan bahwa HM tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya tetapi hak itu dapat pula diwariskan dan diwarisi. Makna terkuat dan terpenuh menurut Penjelasan Pasal 20 UUPA adalah untuk membedakannya dengan HGU , HGB, HP ,dan sebagainya yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, Hak Milik yang paling kuat dan terpenuh.
Kewenangan terpenuh dari HM tampak jelas dari kewenangan penggunaan dan pemanfaatan hak tersebut yang boleh digunakan untuk tanah pertanian atau tanah non-pertanian dalam jangka waktu yang tak terbatas.
Kewenangan penggunaan HM dimaknai dalam kerangka pembatasan pasal 4 ayat(2) UUPA yakni sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu’ sebab bagaimanapun HM adalah tetap sebagai hak atas tanah yakni hak atas permukaan bumi.Sesuai hukum adat, HM bersumber dari hak ulayat sebagai hak bersama dari masyarakat kaum adat sehingga harus tetap berfungsi sosial,eksistensi dan penggunaannya harus tetap memperhatikan kepentingan bersama yakni kepentingan bangsa Indonesia.
Luas HM yang dapat dimiliki secara individual oleh WNI dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Khususnya mengenai pemilikan tanah pertanian yang diatur dalam UU No 56 Prp tahun 1960 sedangkan mengenai pemilikan tanah perkotaan dengan HM masih belum ada pengaturan yang tegas.
Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya
Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.


2                     Subjek
Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik”. Ketentuan ini merupakan penjabaran dari aspek nasionalitas.
Pasal 9 ayat (1) UUPA menyatakan “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”.
Konsekuensinya adalah seorang WNI yang juga mempunyai kewarganegaran yang lain (berkewarganegaraan rangkap) tidak dapat menjadi subjek HM Pasal 21 ayat (4) UUPA.
Ketentuan pasal 21 ayat (3) UUPA menyatakan “ Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini mempunyai hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai HM dan setelah berlakunya Undang-undang ini wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperoleh hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan maka hak tersebut hapus karena hukum dan jatuh kepada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.
Pasal 9 ayat (2) UUPA menyatakan “Tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri senidri maupun keluarganya.”
Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan “Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”. Lebih lanjut penjelasan umum II (5) UUPA menyatakan :” ......pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai HM  pasal 21 ayat (2) UUPA. Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya asal saja ada jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (HGU, HGB, HP menurut pasal 28, 35, 41)
Dengan demikian jika badan hukum menjadi subjek Hak Milik maka harus ditentukan dengan undang-undang atau peraturan lainnya seperti PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Menurut pasal 38 PP No 38 Tahun 1963 , badan hukum yang dapat mempunyai HM atas tanah adalah sebagai berikut :
a)      Bank-bank yang didirikan oleh negara
b)      Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU No. 79 Tahun 1958
c)       Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Kepala BPN setelah mendengar dari Menteri Agama
d)      Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Kepala BPN setelah mendengar Menteri Sosial

3                     Objek
Tanah yang dapat diberikan HM dapat dari tanah yang berstatus tanah negara, tanah ulayat maupun tanah tanah yang merupakan Hak Milik Adat.

SEBAGAI HUBUNGAN HUKUM KONKRIT

1         Cara Terjadinya
Pasal 22 UUPA menyatakan bahwa terjadinya HM adalah dengan :
1)      Karena hukum adat
Menurut penjelasan pasal 22 UUPA  terjadinya HM karena hukum adat adalah karena pembukaan tanah. Hak membuka tanah itu sendiri oleh pasal 16 ayat (1) UUPA merupakan salah satu hak atas tanah dan oleh pasal 46 UUPA dinyatakan hanya dapat dipunyai oleh WNI dan diatur dengan Peraturan Pemerintah
2)      Karena Penetapan Pemerintah
Terjadinya HM karena penetapan pemerintah berarti bahwa HM itu ada karena keputusan pemberian hak oleh pemerintah. Kewenangan pemberian hak diatur dalam PMNA KBPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara dengan penjelasan :
a)      Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (pasal 3) jika :
-          Tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 Ha
-          Tanah non-pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000 m2, kecuali mengenai tanah bekas HGU
-          Dalam rangka program transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan pendaftaran tanah secara massal baik secara sporadik maupun sistematik
b)      Kepala Kantor Wilayah BPN jika :
-          Tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 Ha
-          Tanah non-pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000 M2 kecuali yang kewenangan pemberian haknya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
3)      Karena Undang-undang
Hal ini berarti karena ketentuan konversi. Konversi adalah penyesuaian hak atas tanah yang lama baik berdasarkan Hukum Barat  (Hak Barat) maupun Hukum Adat (Hak adat) kedalam sistem hukum yang baru (UUPA)


2         Peralihannya
Pasal 23 ayat (1) UUPA menyatakan “Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 19 ”.
Pasal 26 ayat (1) UUPA menyatakan “Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan Hak Milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”.
Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung maupun tidak langsung memindahkan Hak Milik kepada seseorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2 adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali ”.
3         Pembebanannya
HM dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya yang lebih rendah nilainya, dalam hal ini HGB, HP, dan Hak Sewa. HM tidak dapat dibebani dengan HGU, karena HGU hanya dapat diberikan di atas tanah negara. Menurut Pasal 44 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pembebanan HGB, HP, dan Hak Sewa itu dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Selain itu, HM juga dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Pasal 25 UUPA menyatakan “Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.”

4         Hapusnya
Pasal 27 UUPA menyatakan bahwa hak milik hapus apabila:
a)        Tanahnya jatuh kepada negara:
1           karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18
2           karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3           karena diterlantarkan
4           karena ketentuan pasal 21ayat 3 dan pasal 26 ayat 2
b)        Tanahnya musnah


2.         Penjelasan mengenai Hak Guna Bangunan
SEBAGAI LEMBAGA HUKUM
4                     Isi dan Sifat
Pasal 35 ayat (1) UUPA menyatakan : “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.
Menurut penjelasan pasal 35 UUPA karena HGB tidak mengenai tanah pertanian maka HGB selain atas diberikan atas tanah yang langsung dikuasai negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.Pasal ini mengandung unsur-unsur penting dari HGB yaitu : peruntukan HGB, objek tanah HGB dan jangka waktu HGB.

a.         Peruntukan HGB
Hak guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian maupun rumah tempat usaha (toko, kantor), bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya. Meskipun HGB dapat dimanfaatkan bagi bangunan rumah tempat tinggal/hunian, namun lembaga HGB sesungguhnya diciptakan untuk memperkaya lembaga hukum hak atas tanah menurut hukum adat yang lebih dimaksudkan guna memenuhi kebutuhan usaha warganegara atau badan hukum Indonesia. Penciptaan lembaga hukum HGB adalah lebih dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan usaha dari warganegara sedangkan untuk hunian lebih merupakan maksud dari Hak Milik.Oleh karena itu tidak sesuai apabila Pemerintah Daerah di wilayah perkotaan membuat kebijakan untuk memberikan HGB kepada pembangunan rumah hunian dengan alasan agar lebih murah untuk mengganti ruginya jika suatu waktu dibutuhkan untuk kepentingan umum. Konsisten dengan hal itu maka diambil kebijakan kemudahan untuk memberikan peningkatan HGB menjadi HM bagi pemilikan rumah yang masih berstatus HGB di lingkungan perumahan.
Pasal 30 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa pemegang HGB berkewajiban :
1      membayar uang pemasukan yang jumlahnya dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya
2      menggunakan tanah sesuia dengan peruntukannya dan persyartan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya
3      memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup
4      menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bnagunan kepada Negara, pemegang hak pengelolaan atas pemegang hak milik sesudah HGB itu hapus
5      menyerahkan sertipikat HGB yang telah hapus kepada Kepala kantor Pertanahan
Dalam pasal 31 PP No.40 Tahun 1996 menyatakan : “ Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaaan  geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikan rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain darilalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu.”
b.        Objek Tanah HGB
Objek tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa : tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Hak Milik. Pasal 21 PP No 49 Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan HGB adalah :
-        Tanah Negara
-        Tanah Hak Pengelolaan
-        Tanah Hak Milik

c.         Jangka Waktu HGB
Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun sehingga kalau dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk mempunyai atau atau mendirikan bangunan maka HGB tersebut Tidak dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan :” Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 20 tahun”. Dapat diperpanjang atau diperbarui berarti berarti bahwa perpanjangan atau pembaruan HGB hanya dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai persyaratan perpanjangan atau pembaruan HGB tersebut yang ditentukan dalam Pasal 26 PP No 40 Tahun 1996 yakni:
a)    Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut;
b)   Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak
c)    Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB
d)   Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan;
e)   Mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan (bagi HGB yang diberikan diatas Hak Pengelolaan)
Menurut pasal 29 PP No. 40 tahun 1996 atas kesepakatan pemegang HGB dan HM, HGB diatas HM bisa diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat akta Tanah. Pembaruan HGB wajib didaftarkan.
Menurut pasal 27 PP No. 40 Tahun 1996 , permohonan perpanjangan diajukan dua tahun sebelum berakhirnya HGB.
Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan HGB dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan  yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan HGB. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaruan HGB dan perincian uang pemasukannya dicantumkan dalam keputusan pemberian HGB.
5                     Isi dan Sifat
Pasal 36 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan adalah :
a)      Warganegara Indonesia;
b)      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Pasal 36 ayat (2) UUPA menyatakan : “Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat” Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak  yang memperoleh HGB, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
6                     Objek
Menurut pasal 35 UUPA, HGB diberikan atas tanah yang “bukan milik” dari pemegang HGB itu sendiri. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 37 UUPA maka dapat diartikan bahwa HGB menurut ketentuan Pasal 35 UUPA HGB dapat diberikan di atas tanah negara maupun tanah hak milik orang lain.
Selanjutnya pasal 21 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan HGB adalah :
-          Tanah Negara
-          Tanah Hak Pengelolaan
-          Tanah Hak Milik
Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 37 UUPA diatas, karena Hak Pengeloaan seyogyanya secara yuridis lebih dekat dikategorikan sebagai tanah negara”
Selanjutnya mengenai luas HGB yang dapat dimiliki oleh subyek hak sampai saat ini belum ada ketentuan yang membatasinya. Oleh karena pembatasan pemilikan tanah yang diatur oleh UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, hanya melakukan pembatasan terhadap luas tanah pertanian, sedangkan untuk tanah perumhan dan bangunan lainnya oleh pasal 12 UU No 6 Prp itu akan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang sampai sekarang belum ada sehingga langkah pragmatisnya, pembatasan tanah perumahan dilakukan melalui instrumen perizinan peralihan hak atas tanah seperti yang diatur dalam PMNA No 14 Tahun 1961 yang dinyatakan bahwa orang sudah menguasai lima bidang tanah, maka apabila ia memohon hak atas tanah yang baru dipunyainya lagi diwajibkan untuk memperoleh izin pemindahan hak.
SEBAGAI HUBUNGAN HUKUM KONKRET
1.       Cara terjadinya
Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa HGB dapat terjadi karena :
a)      Penetapan Pemerintah bagi tanah yang langsung dikuasai oleh negara
b)      Perjanjian yang berbentuk otentik karena Penetapan Pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu bagi tanah Hak Milik.
Selanjutnya pasal 22 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa terjadinya HGB diatas tanah Hak Pengelolaan juga dilakukan dengan penetapan pemerintah, dalam hal ini keputusan pemberian HGB oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul dari pemegang Hak Pengelolaan.
2.       Peralihannya
Pasal 35 ayat (3) UUPA menyatakan :”Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan”
Pasal 34 ayat (2) PP No 40 tahun 1996 menyatakan bahwa peralihan HGB itu terjadi  karena:
a)             Jual beli
Pasal Pasal 34 ayat (4) PP No 40 tahun 1996 menyatakan “Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh PPAT”
b)             Tukar-menukar
c)              Penyertaan dalam modal
d)             Hibah
e)             Pewarisan
Pasal Pasal 34 ayat (6) PP No 40 tahun 1996 menyatakan “Peralihan Hak Guna Bnagunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat instansi yang berwenang”
                Poin a sampai dengan d disebut peralihan karena ada perbuatan hukum, sedangkan poin  e disebut peristiwa hukum bukan perbuatan hukum.
Pasal Pasal 34 ayat (7) dan (8) PP No 40 tahun 1996 menyatakan Peralihan Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Milik harus dengan persetujuan pemegang Hak Pengelolaan dan Hak Milik.


3.       Pembebanannya
Pasal 39 UUPA menyatakan “ Hak Guna Bangunan dapat dijadikan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.”
Selanjutnya pasal 33 PP No 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa:
a)      HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan;
b)      Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Bnagunan.

4.       Hapusnya
Pasal 40 UUPA menyatakan bahwa HGB hapus karena:
a)      Jangka waktunya berakhir
b)      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
c)       Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d)      Dicabut untuk kepentingan umum
e)      Diterlantarkan
f)       Tanahnya musnah

5.       Pembuktiannya
Pasal 38 UUPA menyatakan :
1)      Hak Guna bangunan termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2)      Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktu berakhir.

B.      Komparasi mengenai hak milik dan hak guna bangunan
Komparasi mengenai hak milik dan hak guna bangunan dapat dilihat dari tabel berikut :

Pembanding
Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Milik (HM)
1.         Subyek
a.       Warga Negara Indonesia;
b.      Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
a.       Warga Negara Indonesia
b.      Badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah
2.         Obyek
a.       Tanah yang dikuasai langsung oleh negara;
b.      Tanah Milik.
a.       Tanah Adat
b.      Tanah Negara
3.         Cara Perolehan
a.       Penetapan pemerintah;
b.      Perjanjian otentik antara pemilik tanah bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak yang bermaksud menimbulkan hak tsb.
a.       Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah
b.      Selain menurut cara sebagaimana tersebut di atas hak milik terjadi karena :
Ø Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
Ø Ketentuan Undang-Undang
4.         Jangka waktu
Paling lama 30 tahun dan dapat  diperpanjang paling lama 20 tahun.
Dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
5.         Hapus & Berakhirnya Hak
a.       Jangka waktunya berakhir;
b.      Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena syarat yang tidak dipenuhi;
c.       Dilepas oleh pemegang hak sebelum jangka waktu berakhir;
d.      Dicabut untuk kepentingan umum;
e.      Ditelantarkan;
f.        Tanahnya  musnah.
a.       Tanahnya jatuh kepada negara,
Ø Karena pencabutan hak untuk kepentingan umum
Ø Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
Ø Karena ditelantarkan
Ø Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2)
b.      Tanahnya musnah






















BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai  bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial .
Persamaan yang terlihat jelas antara Hak Guna Bangunan dan Hak Milik adalah subyek hak yaitu sama-sama warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sedangkan perbedaan yang mencolok antara Hak Guna Bangunan dengan Hak Milik yaitu jangka waktunya, dimana Hak Guna Bangunan jangka waktunya ditentukan yaitu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun sedangkan Hak Milik dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.








DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-dasar Peraturan Pokok Agraria

http://hukumkompasiana.com/2010/07/04/hak-milik-atas-tanah/ di download tanggal 16 juni 2012 pukul 22.00 WIB
http://realmaczman.wordpress.com/2011/06/15/hak-atas-tanah-menurut-uupa/di download tanggal 16 juni 2012 pukul 22.00 WIB


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar