MAKALAH SEJARAH TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA PERALIHAN
HAK DI INDONESIA
I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara
terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu
mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu ,pengolahan,
penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat , dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda
buktinya dan pemeliharaannya.
Data yang disimpan/ disajikan, baik data fisik maupun
data yuridis perlu disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian, agar selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kegiatan ini yang
disebut dengan pemeliharaan data.
Perubahan data mencakup perubahan pada data fisik dan
perubahan pada data yuridis.Perubahan data fisik terjadi jika luas tanah
berubah akibat pemisahan, pemecahan, atau penggabungan. Perubahan data yuridis
bisa mengenai haknya yaitu berakhirnya jangka waktu berlakunya, dibatalkan,
dicabut atau dibebani hak lain. Perubahan juga bisa mengenai pemegang haknya
yaitu jika terjadi pewarisan, pemindahan hak, atau penggantian nama.
Dalam sistem pendaftaran akta untuk perubahan-perubahan
itu dibuatkan akta, yang selanjutnya merupakan surat tanda buktinya. Dalam
sistem pendaftaran hak, perubahannya dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak
yang bersangkutan, berdasarkan data yang dimuat dalam akta perubahannya.
Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan
tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak.Dalam perbuatan hukum
pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak
lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah,
pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng”, dan
hibah-wasiat atau “legaat”.Pemindahan hak dilakukan oleh para pihak di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertugas
membuat aktanya.
Sebelum Undang-undang Pokok Agraria peralihan hak
dilakukan di depan pengadilan. Sistem pengalihan hak ini, dilakukan oleh Baljuw
dan Sheepen dan selanjutnya oleh dua orang scheepen.Selanjutnya pendaftaran hak
yang diadakan dalam hubungannya dengan pengalihan hak di depan pengadilan yang
bersifat administrasi berkembang menjadi pendaftaran hak untuk menjamin
kepastian hukum dari hak-hak atas tanah.
Perkembangan selanjutnya pendaftaran hak di Indonesia
diatur dalam ordonansi balik nama S.1834 Nomor 27 yang berlangsung sampai
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP 10 Tahun 1961).
B.
Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana proses pendaftaran hak sebelum ordonansi balik
nama
2. Bagaimana proses pendaftaran hak setelah ordonansi balik
nama
3. Bagaimana proses pendaftaran hak setelah PP Nomor 10
tahun 1961
C.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui proses
pendaftaran hak sebelum dan sesudah ordonansi balik nama serta proses
pendaftaran hak setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang pendaftaran tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pendaftaran Hak Sebelum Ordonansi Balik Nama
Periode sebelum
ordonansi balik nama ini berlangsung dari tahun 1920 sampai tahun 1834 sejak
diundangkan ordonansi balik nama tahun 1834. Perkembangan pendaftaran hak-hak
yang diselenggarakan oleh VOC pada tahun 1620, dalam hubungannya dengan
peralihan hak di depan pengadilan oleh hakim Panitera Pengadilan Negeri, maka
pengadilan hak itu harus diberitahukan kepada 2(dua) orang scheepen untuk
dicatat dalam “Stadboeken” atau daftar-daftar tanah dan dibuat akta
pemberitahuan pengalihan hak.Pemberitahuan pengalihan hak tersebut kepada 2 (dua)
orang scheepen, adalah suatu penyerahan hak anatara penjual kepada pembeli di
depan 2 (dua) orang scheepen. Pendaftaran hak-hak karena pengalihan hak yang
diselenggarakan pemerintah VOC adalah bersifat administratif yaitu untuk keperluan
pemasukan pajak pengalihan hak dan untuk memperoleh suatu ikhtisar pemilik hak
atas tanah yang telah dikeluarkan. Dengan demikianpendaftaran peralihan hak
untuk menjamin kepastian hukum belum mendapatkan perumusan yang tegas atau
pasti.Selanjutnya pada tahun 1708 dengan plakat tanggal 25 Maret 1708,
pengalihan hak yang telah didaftar dalam daftar-daftar tanah seperti pemilik
tanah, pemegang hak atas bidang tanah dan beban-beban di atas tanah (hipotik)
wajib diinformasikan kepada yang berkepentingan oleh sekretaris dewan scheepen.
Akta
pengalihan yang telah didaftar dalam daftar-daftar tanah oleh 2 (dua) orang
scheepentersebut diterbitkan akta pendaftaran peralihan hak atau akta over schrijving ordonantie atau akta van eigendom
yang sekaligus merupakan hak eigendom sebagai bukti hak atas tanah.Sistem
pendaftaran hak ini terus berlaku sampai dikeluarkannya ordonansi balik nama
(overschrijving orodnatie) pada tahun 1834.
B.
Proses Pendaftaran Hak Sesudah Ordonansi Balik Nama
Periode ordonansi balik nama
ini berlangsung dari tahun 1834 sampai dengan tahun 1961 yaitu sejak terbit PP
No. 10 Tahun 1961. Pada tanggal 21 April 1834 dikeluarkan ordonansi balik nama
atau Overschrijving Ordonantie Staatsblaad 1834 Nomor 27 yang bertujuan untuk :
·
Mengatur kembali
ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran hak dan
·
Mengatur kembali
ketentuan-ketentuan mengenai bea balik nama
Pada tahun 1924 ketentuan mengenai bea balik nama diatur
secara tersendiri dalam “Ordonantie Ophet rechts van Overschrijving. S 1924 No.
291 “ sedangkan sejak tahun 1924 tersebut, ordonansi balik nama hanya mengatur
pendaftaran hak saja.
Pokok-pokok pendaftaran hak yang diatur dalam ordonansi
balik nama adalah sebagai berikut :
·
Setiap peralihan hak harus
didaftar pada pejabat balik nama (overschrijving ambtenaaren) dulu oleh 2 (dua)
orang scheepen (zaman VOC). Dalam menyelenggarakan pendaftaran hak pejabat
balik nama dibantu pejabat-pejabat pembantu (bijstaande ambtenaaren)
·
Untuk pendaftaran
peralihan hak oleh pejabat balik nama dibuat akata pendaftaran peralihan hak
atau akta balik nama/ akta van overschrijving yang sekaligus merupakan
pendaftaran lahirnya hak eigendom.
Menurut pasal 20 ordonansi balik nama 1834 No. 27 bahwa
setiap peralihan hak baik di bawah tangan atau autentik yang disebut penyerahan
nyata (di lapangan dengan menduduki atau menguasai fisik tanahnya, kemudian
akta peralihan hak tersebut didaftar dalam daftra-daftar tanah yang dikenal
dengan “Yuridische Levering”).
Pendaftaran akta peralihan hak dalam daftar tanah oleh
pejabat balik nama tersebut diterbitkan akta pendaftaran peralihan hak atau
akta balik nama atau akta van eigendom yang sekaligus merupakan akta
eigendom.Sebagai tanda bukti hak atas tanah dan kepada pemegang haknya
diberikan salinan sah dari “akta van eigendom” yang disebut “ groose akta hak
eigendom”. Dengan demikian kepastian hukum mengenai peralihan hak adalah sejak
diadakan penyerahan yuridis atau sejak akta didaftar dalam daftar-daftar tanah.
Jika dalam periode sebelum ordonansi balik nama,
kepastian hukum mengenai peralihan hak adalah sejak dibuat akta peralihan hak ,
sedangkan pengalihan hak yang telah didaftar, belum mendapat perumusan yang
tegas mengenai kepastian hukumnya maka pada era ordonansi balik nama telah
tegas dan pasti bahwa kepastian hukum mengenai peralihan hak adalah sejak akta
didaftarkan pada daftar tanah atau sejak dilakukan penyerahan yuridis.
Berdasarkan “Government Besluit” tahun 1947, penyerahan
yuridi yang diatur dalam ordonansi balik nama 1834 No. 27 oleh hakim panitera
Pengadilan Negeri diserahkan wewenangnya kepada Kepala Kadaster (Jawatan
Pendaftaran Tanah).
Ketentuan-ketentuan dalam pasal 20 ordonansi balik nama
1834 no.27 tersebut sudah dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan dalam pasal 149
KUHP Perdata Belanda yang menetapkan bahwa Hak eigendom atas benda yang dibeli
baru beralih kepada pembeli setelah dilakukan penyerahan (levering). Dengan
demikian penyerahan hak eigendom tersebut, mengandung yuridis levering atau
kepastian hukum.Selain itu, pada pemerintahan Jepang, tanah-tanah yang diduduki
Jepang secara sukarela dan paksa. Melalui Surat edaran Menteri Dalam Negeri
1120/5/7 tanggal 9 Mei 190, diatur tata carapengembalian tanah yang diambil
oleh Jepang yang pelaksanaan kadaster dan pendaftaran hak oleh Jawatan
Pendaftaran tanah.Ketentuan yang diatur dalam overschrijving ordonantie
(ordonansi balik nama) 1834-27 berlaku sampai dengan 24 September 1961 yaitusejak
berlakunya PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
C.
Proses pendaftaran hak
setelah PP Nomor 10 Tahun 1961
Dalam
UUPA istialh jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 yaitu yang menyangkut
jual-beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang
menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan.Pengertian dialihkan
menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas
tanah kepada pihak lain melalui jual-beli, hibah, tukar-menukar, dan
wasiat.Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah
satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual-beli.
Mengingat
dalam pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum tanah nasional kita adalah hukum adat
berarti kita menggunakan konsepsi, azas-azas, lembaga hukum, dan sistem hukum
adat. Hukum adat yang dimaksud di sini adalah hukum adat yang telah di-saneer yang dihilangkan dari sifat
kedaerahannya dan diberi sifat nasional.
Pengertian
jual beli tanah menurut Hukum adat merupakan perbuatan pemindahan hak yang
sifatnya tunai, riil, dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan
pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa
dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual-beli. Hal
ini dikuatkan dengan putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.Jual
beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual-beli serta penerimaan
harga oleh penjual meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam
penguasaan penjual.Sifat terang berarti jual beli dilakukan menurut peraturan
tertulis yang berlaku.
Sejak
berlakunya PP No.10 Tahun1961 tentang pendaftaran tanah, jual beli dilakukan
oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT
) yang bertugas membuat aktanya.
Mengenai
fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya Nomor
1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 secara jelas
menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa
akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli
tanah.Menurut boedi Harsono, akata PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian
mengenai benar sudah dilakukannya jual beli.Jual beli tersebut masih dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain.Akan tetapi dalam sistem
pendaftaran tanah menurut PP No.10 Tahun 1961
(yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No.24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah) , pendaftaran jual beli hanya dapat( boleh) dilakukan dengan
akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan
dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat biarpun jual belinya
sah menurut hukum.
Berdasarkan
aturan hukum yang berlaku bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dikualifikasikan sebagai pejabat umum dan diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tertentu di bidang peralihan dan pembebanan hak atas tanah, sebagaimana
di atur dalam:
a.
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah bahwa :
“Pejabat
Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.”
b.
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah bahwa :
“Pejabat
Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
c.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT) disebutkan bahwa:
“PPAT
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun.”
d.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ditegaskan bahwa :
“Pejabat
Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.”[1]
Selanjutnya menurut UUNomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan
Notaris dalam Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa “Notaris berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.”
super sekali bu....
BalasHapus