BAB I
PENDAHULUAN
Problematika pertanahan
terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Berbagai daerah di
nusantara memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara
wilayah.
Menurut
Prof. Boedi Harsono,SH., walaupun tidak dinyatakan secara tegas dari apa yang
tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah disimpulkan
bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk selanjutnya disebut
dengan UUPA, digunakan dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. [1]
UUPA dalam pertimbangannya
juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan
tercapainya fungsi bumi,air, dan ruang angkasa sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. [2]
Hal
ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial.[3]
Namun,
kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik seputar tanah
kerap terjadi. Amanat Undang-Undang yang mengutamakan kepentingan rakyat
akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial
yang mengutamakan kepentingan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat
banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.
Sejak
bergulirnya era otonomi daerah yang mengedepankan semangat partisipasi lokal
demi pemberdayaan pemerintahan daerah, kerap muncul beberapa permasalahan yang
berujung pada sengketa kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota. Salah satu bidang yang menimbulkan permasalahan
tersebut adalah bidang pertanahan.
Di
perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya arus urbanisasi,
pembangunan proyek-proyek infrastuktur berskala besar, politik pertanahan
(seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk
kepentingan pembangunan proyek-proyek komersial) banyak berakhir pada
penggusuran paksa masyarakat miskin di perkotaan. Di daerah kaya mineral,
konflik terus terjadi antara masyarakat adat
dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi seperti yang
terjadi di Papua (Freeport) dan Riau (Caltex). Di wilayah transmigrasi, antara
transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan hutan antara Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau perusahaan perkebunan besar dan masyarakat adat. Di desa,
alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk atau tempat latihan militer
menjadi masalah yang kerap terjadi.[4]
Dalam
hal kewenangan bidang pertanahan, pemberlakuan otonomi daerah melalui
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang memberikan kekuasaaan yang amat besar
kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri
menimbulkan beragam interpretasi tentang kewenangan bidang pertanahan.[5]
Perlu
disadari bahwa pemberian otonomi daerah di bidang pertanahan kepada daerah
kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum
tanah nasional namun tetap harus memperhatikan kesesuaian peraturan sehingga
tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks.[6]
Berdasarkan
rumusan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota yang di antaranya adalah masalah pertanahan. Peraturan ini tidak
memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan
sehingga menimbulkan interpretasi beragam.
Banyaknya
peraturan yang mengatur tentang kewenangan pertanahan perlu dicermati secara
proporsional sehingga interpretasi yang beragam dan keliru dalam memahami
ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diminimalkan.
Terbentuknya
Kota Batam sebagai institusi eksekutif yang melaksanakan roda pemerintahan yang
memiliki kedudukan berbeda dengan daerah administratif lainnya yang setara
memiliki impilkasi pengaturan pertanahan yang berbeda pula.Sesuai dengan
pelaksanaan Hak Mengusasai dari Negara pada pasal 2 ayat(4) UUPA yang
menyatakan bahwa pelaksanaan kewenangan dapat dikuasakan kepada Pemerintah
Daerah dan Masyarakat Hukum Adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain kepada Pemerintah Daerah dan
Masyarakat Hukum Adat, pelaksanaan kewenangan tersebut dapat dilimpahkan
pelaksanaannya kepada Badan-Badan Otorita, perusahaan-perusahaan negara, dan
perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah tertentu dengan
Hak Pengelolaan.[7]
Penetapan
status Pulau Batam sebagai Zona Industri Lewat Keppres Nomor 41 Tahun 1973
tentang Daerah Industri Pulau Batam membuat perubahan dalam bidang pertanahan
yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk selanjutnya
disebut Otorita Batam mellaui pemberian Hak Pengelolaan. Keadaan ini
selanjutnya diperparah dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah yang memberikan kekuasaan amat besar kepada
masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.[8]
Berdasarkan
uraian di atas, penulis ingin menguraikan mengenai “Bagaimana Pembagian Kewenangan
di bidang pertanahan antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan
Industri Pulau Batam di Era Otonomi Daerah”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dimensi
Yuridis Otonomi Daerah Dalam Kewenangan Pertanahan
Istilah otonomi
daerah telah memperoleh muatannya dalam UUD 1945, khususnya pasal 18 yang mengatur tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan
ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan
sandaran UUPA.
Dalam pasal 33 tersebut
tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justru harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara tegas dinyatakan bahwa bidang tersebut harus dikuasai oleh negara demi
terciptanya kemakmuran rakyat.
Sebagaimana
ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA berdasarkan kewenangan-kewenangan yang
terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata bahwa pembentukan hukum tanah
nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan
kewenangan pemerintah pusat.
Dalam rangka
otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pelimpahan kewenangan
dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11
ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan di bidang pertanahan, tidak
berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional.
Oleh karena itu,
pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang
tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di
kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak
bersifat nasional.[1]
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan pasal 14 tentang
bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain
pelayanan pertanahan.
Pelaksanaan yang
dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan
hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa hak
menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal
2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian,pelimpahan wewenang untuk melaksanakan
hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.
Kewenangan yang
pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan,
sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang meliputi
perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertaniansesuai dengan keadaan daerah
masing-masing.
Berdasarkan
Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ,
pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan, penggunaan, dan
persediaan serta pemeliharaan tanah . Penataan ruang meliputi suatu proses perencanan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Berkaitan dengan
kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang didasarkan pada pendekatan
wilayah dengan batasan wilayah administratif sehingga terdiri atas wilayah
nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota.
Pada tahun 1999,
pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita Batam dalam pembangunan Batam
dipertegas.[1]
Semula dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999,posisi Otorita Batam selaku badan
pembangunan di Pulau Batam semakin kuat kedudukannya karena keberadaannya
dicantumkan dalam Undang-Undang tersebut. Namun, rumusan beberapa pasal justru
memperkuat keberadaan Pemerintah Kota Batam sesuai dengan semangat otonomi
daerah.
Penetapan status
pulau Batam sebagai zona industri menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola
kebijakan di bidang industri termasuk bidang pertanahan. Dengan perubahan
status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita Batam lewat
Hak Pengelolaan sebagaimana ternyata dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Di Daerah Industri Pulau
Batam.
Bagi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam, ketidak jelasan hubungan antara Pemerintah
Kota Batam dan Otorita Batam menimbulkan persoalan pertanggungajawaban.Terhadap
kebijakan Otorita Batam yang menimbulkan permasalahan bagi masyarakat Kota
Batam, DPRD Kota Batam tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada Otorita
Batam karena secara prosedural, otorita Batam tidak bertanggungjawab kepada
masyarakat Batam melalui DPRD, tetapi langsung bertanggung jawab kepada
pemerintah pusat.[2]
Sementara itu
Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi ruang gerak
Pemerintah Kota Batam. Dalam hal
pembangunan sarana pemerintahan seperti kantor-kantor dan sekolah-sekolah
negeri, Pemerintah Kota Batam harus mengajukan permohonan kepada Otorita Batam.
Sering kali terjadi, tanah yang dialokasikan tidak sesuai dengan rencana yang
dimohonkan Pemerintah Kota Batam. Bahkan aset-aset pemerintah Kota Batam dalam
bentuk tanah, tidak memiliki sertipikat termasuk Kantor Walikota Batam.
Saat ini
kewenangan bidang pertanahan tetap menjadi kewenangan Otorita Batam melalui Hak
Pengelolaan berdasarkan Keppres Nomor 41
Tahun 1973 tentang Kedudukan Pulau Batam
sebagai daerah industri. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan
bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah daerah
industri Pulau Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh
Menteri Dalam Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang agraria dengan ketentuan seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam
diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam.
Ketentuan
tersebut memberikan kewenangan kepada Pihak Ketua Otorita Pengembangan Daerah
Industri Pulau Batam untuk :
1.
Merencanakan peruntukan dan penggunaan
tanah tersebut;
2.
Menggunakan tanah tersebut untuk
keperluan pelaksanaan tugasnya;
3.
Menyerahkan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai (HGB berlaku selama 30 tahun dan dapat
diperpanjang 20 tahun kemudian dapat diperbaharui 30 tahun lagi dan seterusnya
sedangkan HP berlaku selama 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun
sejauh yang bersangkutan masih menggunakan tanah tersebut sesuai dengan
peruntukkannya);
4.
Menerima uang pemasukan dan uang wajib
tahunan (Uang Wajib Tahunan Otorita Batam “UWTO”).
Pemberian Hak
Milik atas tanah untuk rumah tinggal di atas bagian-bagian tanah Hak
pengelolaan Otorita Batam memberikan seseorang menguasai tanahnya yang semula
dengan Hak Guna Bnagunan ditingkatkan menjadi Hak Milik. Artinya dengan
perubahan status hak dimaksud, kewenangan seseorang atas tanah yang dimilikinya
menjadi meningkat. Hanya saja, penerima
hak milik tetap harus mentaati dan terikat dengan Surat Perjanjian tentang pengalokasian,
penggunaan dan penguasaan tanah atas bagian-bagian tertentu daripada tanah Hak
pengelolaan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang telah
disepakati sebelumnya.
Oleh karena itu
pertanyaannya adalah, Mengapa bagian-bagian dari hak pengelolaan yang telah
ditingkatkan menjadi hak milik tidak diberikan kebebasan (terlepas dari
perjanjian) sesuai kewenangan seseorang dalam menguasai tanah dengan Hak Milik
yaitu turun-menurun, terkuat dan terpenuh dengan tetap memperhatikan peraturan
perundangan di bidang pertanahan.Konsekuensinya adalah seseorang yang telah
memiliki hak milik yang berasal dari hak guna bangunan dan/atau hak pakai di
pulau Batam tidak mempunyai kelebihan sama sekali.
Hak Pengelolaan
yang bagian-bagiannya telah diberikan kepada pihak ketiga dengan hak milik
berakibat akan putusnya hubungan hukum antara pemegang HPL dengan bagian-bagian
tanah yang telah diserahkan tersebut dikarenakan secara tidak langsung semua
perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak akan berakhir pada saat hak
milik lahir atas bagian-bagian dari HPL tersebut. Akibat selanjutnya adalah
kepada para pemegang hak milik sudah tidak ada ikatan apapun terhadap pemegang
HPL.
[1] Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,Jakarta : Penerbit Djambatan.2003, Hlm 6.
[2]
Indonesia,Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.5
Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan.
[3]
Indonesia,Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,ibid.,Pasal
6.
[4] Arie Sukanti Hutagalung, dan Markus
Gunawan.2008.Kewenangan Pemerintah Bidang Pertanahan.Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Hlm 4.
[5]
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan daerah.Revisi tersebut tidak banyak merevisi
tentang masalah pertanahan.
Hanya satu pasal yang mengatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada
daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahn tersebut.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU. No. 32 Tahun 2004,
LN. No.125 Tahun 2004, TLN No. 4437.
[6] Arie
Sukanti Hutagalung.Tebaran Pemikiran Seputar Masalah hukum tanah, (Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005) Hlm 40.
[7] Oloan
Sitorus, dkk. Laporan Penelitian Studi Pemberian Hak atas tanah Di Daerah
Industri Pulau Batam.2005. Yogyakarta: STPN Press.Hal 2-3.
[8]
Pemerintah Kota Batam. Profil batam Madani 2004 (Batam:Pemko Batam,2004). Hal
8.