Hak
Guna Usaha dan Problematika Pertanahan
Perkembangan Hak Guna
Usaha
Sebagaimana yang
tertulis dalam Handbook of Indonesian Esate Crops Business (2000. Dalam Sembiring,
dkk. 2001:5-7) bahwa perkembangan perkebunan di Negara berkembang termasuk
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme,
dan modernisasi.
Di Negara-negara
berkembang, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari kapitalisme
agraris barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Sistem
perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang diberikan oleh korporasi kapitalis asing
itu, pada dasarnya adalah sistem perekonomian Eropa yang berbeda dengan sistem kebun
yang telah lama berlaku di Indonesia sebelum pra-kolonial.
Perkembangan perkebunan
kapitalistik berawal dari kedatangan Belanda. Ekspedisi pertama Belanda
dipimpin oleh Cornelius De Houtman yang singgah di Banten pada tanggal 3 Juni
1596. Beberapa tahun kemudian berdirilah kongsi dagang Belanda atau The Dutch East Indie Company yang lebih
dikenal dengan VOC pada tanggal 6 Maret 1602. Secara garis besar periode ini
dapat dibedakan menjadi :
a. Tahun
1619-1830 merupakan periode monopoli perdagangan VOC yang di dalamnya diselingi
dengan kedatangan Bangsa Perancis dan Inggris;
b. Tahun
1830-1879 merupakan perkembangan pertanaman tebu dengan sistem tanam paksa (Van
Den Bosch);
c. Tahun
1879-1892 merupakan periode transisi dari sistem tanam paksa ke sistem perkebunan
bebas;
d. Tahun
1893 dimulai periode produksi bebas.
Pada masa pendudukan
Jepang tahun 1942-1945 banyak perusahaan perkebunan (Pemerintah Kolonial dan
Asing) menghentikan usahanya dan menelantarkan areal perkebunanannya. Setelah
kemerdekaan, pemerintah berusaha menata perkebunan tersebut namun belum
mendapatkan perhatian serius karena situasi politik dan keamanan yang tidak
mendukung.
Pada tahun 1957,
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 86 Tahun 1958 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 1959 tentang Nasionalisasi Perkebunan Swasta di Indonesia,
sekitar 500 perusahaan perkebunan swasta Belanda dialihkan menjadi milik Pemerintah
Republik Indonesia. Atas dasar UU tersebut pemerintah bersama militer dengan
pertimbangan keamanan semakin terlibat dalam kegiatan perkebunan. Hal ini
berlanjut sampai dengan berakhir kekuasaan Rezim Orde Lama dimana perkebunan
ikut terlibat dalam pertarungan politik tanah air.
Sejak Pembangunan Lima
Tahun (Pelita ) I, bidang perkebunan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Era
inilah yang dapat disebut sebagai tonggak bangkitnya perkebunan rakyat
Perhatian pemerintah untuk membenahi perkebunan rakyat cukup besar dengan
dibentuknya Direktorat Perkebunan Rakyat di Direktorat Jenderal Perkebunan.
Disamping itu, perkebunan swasta juga mengalami kemajuan pesat , baik karena
penyertaannya dalam pembangunan perkebunan rakyat maupun karena penanaman modal
sendiri. Era orde baru yang bercirikan ‘betting
on the strong’ (bertumpu pada yang besar) telah memberikan kesempatan
kepada para pemilik modal besar sebagai investor untuk mengembangkan usaha
sebesar-besarnya di bidang perkebunan untuk dijadikan modal pembangunan.
Setelah runtuhnya rezim
orde baru dan dimulainya era reformasi dari otonomi daerah terjadi
permasalahan-permasalahan baru yaitu munculnya konflik sosial antara perkebunan
dengan masyarakat sekitar. Hampir di seluruh areal perkebunan di Indonesia merebak
sengketa yang terjadi dengan gejala yang sama yaitu okupasi tanah oleh
masyarakat (termasuk penjarahan/ pengrusakan tanaman) dan tuntutan pengembalian
tanah perkebunan masyarakat .Hal tersebut terjadi karena menurut masyarakat
tanah tersebut dahulu diperoleh oleh pihak perkebunan dengan cara ‘merampas’
atau proses pembayaran ganti ruginya dianggap tidak sesuai.Berbagai konflik
perkebunan yang telah terjadi antara lain konflik Mesuji di Lampung, Konflik
MIFFEE di Bumi Cendrawasih, dan konflik PT Rumeksa Mekaring Sabda dan Yayasan
Universitas Islam di Salatiga.
Perolehan
Hak atas Tanah Perkebunan
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), usaha
perkebunan dapat diberikan Hak Guna Usaha (HGU). Berdasarkan pasal 28 UUPA
dinyatakan sebagai berikut :
“Hak
Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan.”
Berdasarkan pasal 29
dan 30 UUPA bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan
apabila perusahaan memerlukan waktu lebih lama lagi maka HGU dapat diberikan
waktu paling lama 35 tahun .HGU dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia
(WNI) dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia. Melalui Peraturan Kepala Badan BPN-RI Nomor 3 Tahun 1992 ditegaskan
bahwa HGU diberikan untuk jangka waktu 35 tahun, dapat diperpanjang sampai
dengan 25 tahun, serta dapat dimohonkan pembaruannya selama 35 tahun dan dapat
diperpanjang lagi sampai dengan 25 tahun. Dengan demikian bila HGU diberikan secara
otomatis , maka perbedaannya dengan hak milik menjadi kabur karena waktu
berlangsungnya HGU meliputi setidaknya dua generasi.
Di Negara yang menganut
sistem Common Law, tidak mustahil memperoleh hak atas tanah selama 99 tahun (estate for years). Tetapi di Indonesia,
kiranya perolehan hak atas tanah selama itu tidak dapat dilakukan sebab dalam
hubungan antara dan tanah, Indonesia menganut konsep hak menguasai Negara (the right of disposal). Negara bukan
merupakan owner (pemilik) tanah,
namun di dalam kedudukannya sebagai personifikasi rakyat/bangsa Indonesia
mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Dalam rangka melaksanakan
kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban menjaga untuk menjaga keseimbangan
antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan , termasuk kepentingan
pemegang HGU. Adanya pembatasan jangka waktu tersebut memungkinkan negara/pemerintah
secara berkala melakukan pengawasan apakah keseimbangan itu masih dapat
dipertahankan.
Isu jangka waktu HGU
memberikan gambaran bahwa aspek hukum merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam usaha untuk menarik investor, tanpa menutup mata terhadap
pentingnya faktor-faktor lain (ekonomi, sosial-budaya, dan politik) yang turut
berperan dalam pembuatan keputusan melakukan investasi. Perlunya
peraturan-peraturan yang bersifat proaktif dan akomodatif namun tetap selektif
sehingga mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman tanpa
meninggalkan konsep-konsep atau azas-azas yang berlaku dalam hukum Indonesia
yang bersendikan hukum adat.