BAB
I
PENGANTAR
A.
LATAR
BELAKANG
Tanah
merupakan sumber daya alam yang penting sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa bagi kelangsungan hidup
umat manusia. Arti penting ini menunjukan adanya pertalian yang sangat erat
antara hubungan manusia dengan tanah, karena tanah merupakan tempat pemukiman
dan tempat mata pencaharian bagi manusia. Tanah juga merupakan kekayaan
nasional yang dibutuhkan oleh manusia baik secara individual, badan usaha maupun pemerintah dalam rangka mewujudkan
pembangunan nasional.
Perkembangan
pembangunan di
Indonesia semakin hari semakin meningkat. Kegiatan pembangunan gedung sekolah inpres, rumah
sakit, pasar, stasiun kereta api, tempat ibadah, jembatan,
pengadaan berbagai proyek pembuatan dan pelebaran jalan serta pembangunan
lainnya memerlukan tanah sebagai sarana utamanya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana pengambilan
tanah kepunyaan masyarakat untuk keperluan proyek pembangunan. Hal ini memang
menyangkut persoalan yang paling kontroversial mengenai masalah pertanahan.
Pada satu pihak tuntutan pembangunan akan tanah sudah sedemikian mendesak
sedangkan pada lain pihak sebagian besar warga masyarakat juga memerlukan tanah
sebagai tempat pemukiman dan tempat mata pencahariannya.
Berkenaan
dengan pengambilan tanah masyarakat
yang akan dipakai untuk keperluan pembangunan dilaksanakan melalui proses pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak sesuai pasal 2 ayat
(1) Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pengertian Pengadaan Tanah dari berbagai peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pasal 1 butir 2 yang berbunyi “pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberik ganti
kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
2. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum pasal 1 butir 1 yang
berbunyi “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan
tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah
tersebut.”
3. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum pasal 1 butir 1 yang berbunyi “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.”
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
hanya berumur kurang dari setahun. Kemudian pada tanggal 5 Juni 2006
diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 tentang tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang kemudian
diperbarui lagi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU
No.2 Tahun 2012).
Dalam kegiatan pengadaan tanah, ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan yaitu penetapan lokasi pembangunan, pembentukan
panitia pengadaan tanah, penyuluhan, identifikasi dan inventarisasi,
pembentukan lembaga/tim penilai tanah, penilaian harga tanah, musyawarah,
pembayaran ganti rugi dan penitipan ganti rugi, serta pelepasan atau penyerahan
hak atas tanah.
Proses
pemberian ganti rugi dalam kegiatan pengadaan tanah adalah hal yang sangat
penting, karena tanpa ganti rugi, pembangunan akan terhambat. Ganti kerugian
menurut UU No. 2 Tahun 2012 adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Kerugian yang bersifat non fisik meliputi hilangnya pekerjaan, bidang usaha, sumber
penghasilan, dan sumber pendapatan lain yang berdampak terhadap penurunan
tingkat kesejahteraan seseorang.[1]
Menurut Oloan Sitorus dan Carolina
Sitepu ganti rugi adalah imbalan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah
sebagai pengganti dari nilai tanah, termasuk yang ada diatasnya, yang telah
dilepaskan atau diserahkan.[2]
Sebagai imbalan, maka prinsip pemberian ganti-rugi harus seimbang dengan nilai
tanah, termasuk segala benda yang terdapat diatasnya, yang telah dilepaskan
atau diserahkan itu.[3]
Pelaksanaan pemberian ganti rugi dalam
kegiatan pengadaan tanah juga dilaksanakan dalam Pembangunan perluasan landasan pacu Bandar Udara Fatmawati
Soekarno di Provinsi Bengkulu. Diharapkan dengan adanya perluasan area
bandara ini dapat meningkatkan kelancaran arus transportasi melalui udara di
daerah Bengkulu dan sekitarnya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah
“bagaimana pelaksanaan
pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan perluasan landasan
pacu Bandar Udara
Fatmawati Soekarno di Provinsi Bengkulu?”
C.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan pembuatan
makalah ini untuk mengetahui pelaksanaan pemberian
ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan perluasan landasan
pacu Bandar Udara
Fatmawati Soekarno di Provinsi Bengkulu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak
Menguasai Oleh Negara
Hak
tanah tanah merupakan hak penguasaan
atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu”
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara
hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah.[4]
Hak menguasai tanah oleh negara
bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam
ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan
tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki
legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan
tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai
tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang
menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi
wewenang kepada Negara untuk :
1.
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
2.
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3.
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Penguasaan tanah oleh negara dalam
konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggungjawab,
yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak
atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada
kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan
tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan
hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.
Keterkaitan
dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan
mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:
1.
Segala bentuk
pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus
secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
2.
Melindungi dan menjamin
segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan
berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau
dinikmati langsung oleh rakyat.
3.
Mencegah segala
tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai
kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga
kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara
atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak
penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan
pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.
Dinamika
pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan
kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta
masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bgai
kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian
dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh
negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.
B.
Fungsi
Sosial Hak Atas Tanah
Dalam Pasal
2 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa :
“ Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 1,
bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh
rakyat”.
Lebih lanjut disebutkan
dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai
berikut :
“Hak menguasai
dari Negara termaksud dalam
ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air,
dan ruang angkasa tersebut;
2. menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air,
dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa”.
Hal tersebut bertujuan agar
segala sesuatu
yang telah diatur tersebut dapat mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Adapun kekuasaan Negara
yang dimaksudkan tersebut mengenai seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak.
Kekuasaan Negara mengenai
tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu
hak dibatasi oleh
isi dari hak
itu, artinya sampai
seberapa Negara memberi
kekuasaan kepada yang mempunyainya
untuk menggunakan haknya, sampai disitulah
batas kekuasaan Negara tersebut.[5]
Di dalam Pasal 4 ayat (1)
UUPA, menyatakan bahwa :
“Atas
dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan
hukum”.
Isi dari Pasal 4 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa Negara mempunyai wewenang memberikan
hak atas tanah kepada seseorang
atau badan hukum. Pada dasarnya setiap Hak Atas
Tanah baik secara langsung maupun
tidak langsung bersumber pada Hak
Bangsa, dimana Hak Bangsa tersebut merupakan
hak bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung
arti bahwa tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa : “Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Hal tersebut menjelaskan bahwa hak
atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa
tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi
kalau hal itu menimbulkan kerugian
bagi masyarakat luas.
Dalam arti bahwa tanah tidak hanya berfungsi bagi pemegang hak atas
tanahnya saja tetapi juga bagi bangsa
Indonesia seluruhnya, dengan konsekuensi bahwa penggunaan hak atas sebidang
tanah juga harus meperhatikan
kepentingan masyarakat.
Penggunaan
tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya sehingga
bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagian yang mempunyainya maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara. Namun hal tersebut bukan berarti
kepentingan seseorang terdesak oleh kepentingan masyarakat atau Negara, dan
diantara dua kepentingan tersebut haruslah seimbang.
C.
Pelepasan Hak Atas
Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah
Tanah
Hak adalah tanah yang sudah dilekati atau dibebani dengan suatu hak tertentu.
Tanah Hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, atau
Hak Pakai. Tanah Hak dapat diperoleh dengan cara pelepasan hak atas
tanah/pembebasan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan pencabutan hak atas
tanah. Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2 (dua)
cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat
sebagai pemegang hak atas tanah.
1.
Pelepasan hak atas
tanah
Pelepasan
hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar
musyawarah. Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula diantara
pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kedua perbuatan
hukum di atas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak atas
tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk
areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang
memiliki tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan
pihak lain. Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara.
Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini
sesuai dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa:
“Hak
milik hapus bila:
a.
tanahnya jatuh kepada Negara:
1.
karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2.
karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3.
karena diterlantarkan
4.
karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2
b.
tanahnya musnah.”
Acara
pelepasan hak atas tanah dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi
pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan
swasta.
3
dan 26 ayat 2 b. tanahnya musnah.”
Acara pelepasan hak atas tanah
dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan
baik untuk kepentingan umum maupun
untuk kepentingan swasta.
2.
Pencabutan hak atas tanah
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan tanah
kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan
sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi
sesuatu kewajiban hukum.[6] Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan
cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan
untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak berhasil.Dasar hukum
pengaturan
pencabutan
hak
atas
tanah
diatur
oleh
UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa:
”Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan undang-undang”
3.
Pemindahan hak atas
tanah
Pemindahan
hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak-hak atas tanah yang
bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Pemindahan hak atas tanah
dapat dilakukan dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan dalam
perusahaan, dan lain sebagainya. Cara memperoleh tanah dengan pemindahan hak
atas tanah ditempuh apabila yang membutuhkan tanah memenuhi persyaratan sebagai
pemegang hak atas tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan, yaitu apabila tanah
yang tersedia adalah tanah hak lainnya yang berstatus HM, HGU, HGB, dan Hak Pakai
maka dapat digunakan cara perolehan tanahnya melalui pemindahan hak misalnya
dalam bentuk jual beli tanah, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan,
dan lain sebagainya.
D.
Pengadaan
Tanah Bagi Kepentingan Umum
1. Pengertian
Kepentingan Umum
Secara
sederhana dapat diartikan
bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau
tujuan yang luas. Namun demikian
rumusan tersebut terlalu umum dan
tidak ada batasannya.[7]
Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi
sosial, politik, psikologis dan hankamnas
atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.[8]
UUPA dan UU No. 20 Tahun
1961 mengatakan kepentingan umum
dinyatakan dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan bersama dari rakyat dan
kepentingan pembangunan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah kepentingan
tersebut harus memenuhi peruntukkannya dan harus dirasakan
kemanfaatannya, dalam arti
dapat dirasakan oleh masyarakat
secara keseluruhan dan atau secara langsung.
2. Pengertian
Pengadaan Tanah
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian pengadaan tanah, antara
lain menurut
John
Salidenho (1993 : 31) :
“Penyediaan dan pengadaan
tanah dimaksudkan untuk
menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan
atau
keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau
pembangunan sesuatu sesuai
program pemerintah yang telah ditetapkan”.
Secara
garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan
tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan
tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan
bukan komersial atau bukan sosial. Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres
No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas
tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan
dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah
tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.
Menurut
Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan
Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman
dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas
tanah.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005
dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk
dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan
Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman
dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan
memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara
pelepasan hak.
Menurut Pasal 1
butir 2 UU No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum pengertian Pengadaan
Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Menurut
ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55/1993, yang dimaksud dengan
adalah kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketentuan ini hanya
untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1), dinyatakan bahwa:
“pembangunan
untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan
Presiden
ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan
selanjutnya
dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk
mencari
keuntungan…………….”
Sehingga
menurut Keppres No.55/1993, kriteria kepentingan umum, dibatasi:
1. dilakukan
oleh pemerintah,
2. dimiliki
oleh pemerintah,
3. tidak
untuk mencari keuntungan.
3. Jenis-jenis
Kepentingan Umum
Dalam Pasal
5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa
:
“kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya
dimiliki pemerintah serta
tidak digunakan
untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain :
a.
Jalan umum, saluran
pembuangan air;
b.
Waduk, bendungan
dan bangunan pengairan
lainnya termasuk saluran irigasi;
c.
Rumah Sakit Umum dan
Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d.
Pelabuhan atau Bandara
atau Terminal;
e.
Peribadatan;
f.
Pendidikan atau
sekolahan;
g.
Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h.
Fasilitas Pemakaman Umum;
i.
Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul
penanggulangan bahaya banjir,
lahar;
j.
Pos dan Telekomunikasi;
k.
Sarana Olah Raga;
l.
Stasiun Penyiaran
Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;
m. Kantor
Pemerintah;
n.
Fasilitas Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.
4. Azas-azas
pengadaan tanah
Pasal
2 UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum” , Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
kemanusiaan;
“asas
kemanusiaan” adalah Pengadaan Tanah harus memberikan pelindungan serta
penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
b.
keadilan;
“asas
keadilan” adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang
Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat
melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
c.
kemanfaatan;
“asas
kemanfaatan” adalah hasil Pengadaan Tanah mampu memberikan manfaat secara luas
bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
d.
kepastian;
“asas
kepastian” adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses
Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang
Berhak untuk mendapatkan Ganti Kerugian yang layak.
e.
keterbukaan;
“asas
keterbukaan” adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan
memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan Pengadaan Tanah.
f.
kesepakatan;
“asas
kesepakatan” adalah bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah
para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
g.
keikutsertaan;
“asas
keikutsertaan” adalah dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui
partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak
perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.
h.
kesejahteraan;
“asas
kesejahteraan” adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan
nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat
secara luas.
i.
keberlanjutan;
“asas
keberlanjutan” adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara
terus-menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
j.
keselarasan.
“asas
keselarasan” adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan
sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.
5. Panitia
Pengadaan Tanah
Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dilakukan dengan bantuan
Panitia Pengadaan Tanah yang
dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat (2) menyatakan bahwa Panitia
Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat
II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi
yang
diketahui
atau
dibentuk
oleh
Gubernur
Kepala
Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Susunan Panitia Pengadaan
Tanah Dalam
Pasal 7 Keppres No.55/1993, susunan panitia pengadaan tanah terdiri dari:
a. Bupati/Walikotamadya
Kepala
Daerah Tingkat
II sebagai Ketua merangkap
anggota;
b. Kepala
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap
anggota;
c. Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, sebagai anggota;
d. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan, sebagai anggota;
e. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian, sebagai anggota;
f. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota;
g.
Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana
rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota;
h.
Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala
Bagian Pemerintahan pada Kantor
Bupati Walikotamadya sebagai Sekretaris I bukan anggota;
i.
Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai
Sekretaris II bukan anggota.
Panitia pengadaan tanah tersebut
di wilayah kabupaten/kotamadya,
dibentuk oleh Gubenur. Hal ini sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) Permenag
Agraria/Kepala BPN No.1/1994. Tugas Panitia Pengadaan Tanah
dalam
Pasal
8
Keppres
No.55/1993, yaitu:
a.
Mengadakan penelitian
dan
inventarisasi atas tanah,
bangunan,
tanaman, dan
benda-benda lain yang
ada kaitannya dengan
tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan;
b.
Mengadakan penelitian
mengenai status hukum tanah
yang
hak
atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
c.
Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian
atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau
diserahkan;
d.
Memberikan
penjelasan atau penyuluhan kepada
pemegang hak atas
tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut;
e.
Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan
Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian;
f.
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian
kepada para pemegang hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas
tanah;
g.
Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
6. Jenis-jenis
Bentuk kerugian
Menurut Pasal 1 butir 10 UU No.12 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pengertian Ganti Kerugian adalah
penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan
tanah.
Menurut Pasal 13 Keppres No. 55/1993 bentuk ganti
kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan
untuk pembanguan bagi
kepentingan umum adalah :
a. uang;
b. tanah
pengganti;
c. pemukiman kembali;
d. gabungan
dari
dua
atau
lebih
untuk
ganti
kerugian
sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b dan huruf c;
e. bentuk
lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan dalam
Pasal
14,
penggantian terhadap tanah yang
dikuasai
dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.
7. Prosedur
tata cara pengadaan tanah
Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/1993 menyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu : pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; dan kedua jual-beli, tukar-menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.
Kedua cara tersebut termasuk kategori
pengadaan tanah secara sukarela. Untuk cara yang
pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan untuk kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam Keppres No.55/1993, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang memerlukan
tanah yang luasnya
tidak lebih dari 1 (satu) hektar,
dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum.
Menurut
Pasal 6 ayat
(1) Keppres No.55/1993
menyatakan bahwa:
“pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah
yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I”, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “panitia Pengadaan
Tanah
dibentuk
di
setiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres No.55/1993, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum dilaksanakan dengan
musyawarah yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan. Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan antar para pihak, maka pemilik
tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang telah disepakati oleh para pihak
sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 Keppres No.55/1993.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No.1/1994, tatacara pengadaan tanah dalam penetapan lokasi pembangunan adalah sebagai berikut:
- Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikotamadya melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat. Jika tanah yang diperlukan terletak di 2 (dua wilayah kabupaten/kotamadya, atau di wilayah DKI Jakarta, maka permohonan diajukan kepada Gubenur melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Di mana permohonan tersebut harus dilengkapi keterangan mengenai:
1)
Lokasi tanah yang diperlukan;
2)
Luas dan gambar kasar tanah yang diperlukan;
3)
Penggunaan tanah pada
saat permohonan diajukan;
4)
Uraian rencana
proyek yang akan
dibangun, disertai keterangan mengenai
aspek pembiayaan, lamanya pelaksanaan pembangunan.
5)
Diadakan penelitian
mengenai kesesuaian peruntukkan tanah
yang
dimohon dengan rencana
Tata Ruang Wilayah. Jika
sudah sesuai, maka Bupati/Walikotamadya atau Gubernur memberikan
persetujuan penetapan lokasi
pembangunan.
6)
Untuk pengadaan
tanah yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar, setelah
diterimanya persetujuan penetapan lokasi pembangunan, maka instansi pemerintah tersebut mengajukan
permohonan pengadaan tanah kepada Panitia dengan melampirkan persetujuan penetapan tersebut.
b.
Selanjutnya dilakukan
pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu:
1)
panitia bersama-sama instansi pemerintah tersebut
memberikan
penyuluhan kepada masyarakat yang
terkena lokasi pembangunan mengenai maksud
dan tujuan pembangunan agar masyarakat
memahami dan menerima pembangunan
yang bersangkutan;
2)
panitia bersama-sama instansi
pemerintah tersebut menetapkan batas lokasi tanah yang terkena
pembangunan,
selanjutnya melakukan kegiatan
inventarisasi mengenai bidang-bidang
tanah, termasuk bengunan,
tanaman dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang
bersangkutan;
3)
Panitia mengumumkan
hasil inventarisasi.
8. Pengadaan
Tanah untuk Perluasan Bandara Fatmawati di Provinsi Bengkulu
a.
Perluasan
Bandar Udara Fatmawati Soekarno di
Provinsi Bengkulu
Pembangunan
nasional pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
derajat
kesejahteraan rakyat itu
sendiri. Pembangunan tersebut dapat
berupa pembangunan dalam sektor
ekonomi, sosial, dan lainnya. Pembangunan
Bandar Udara
Fatmawati Soekarno di Provinsi Bengkulu adalah salah satu bentuk
pembangunan nasional. Pembangunan tersebut pada dasarnya dilaksanakan untuk melancarkan
transportasi bagi masyarakat Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan Surat Keputusan
Walikota Bengkulu Nomor 175 A Tahun 2007 tentang Penetapan Lokasi Tanah Untuk
Pembangunan Kawasan Bandara Fatmawati Bengkulu, perluasan bandar udara terletak
di Kelurahan Betungan dan Sukarami, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu, Provinsi
Bengkulu dengan luas total ±9 Ha. Rincian
luasnya yaitu:
1)
Kelurahan
Betungan seluas ± 7,5 Ha
2)
Kelurahan
Sukarami seluas ± 1,5 Ha
(lampiran
1)
Pembangunan
Bandar Udara
Fatmawati Soekarno di Provinsi Bengkulu dimaksudkan sebagai
bandar udara utama bagi mobilitas penduduk
melalui jalur udara antar provinsi. Selain untuk kelancaran pembangunan bandara
ini diharapkan juga dapat meningkatkan pariwisata Provinsi Bengkulu.
Perluasan Bandara Fatmawati
Soekarno dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota Bengkulu, dan Kantor Pertanahan Kota
Bengkulu. Pemerintah Provinsi sebagai pelaksana pembangunan
fisik bandara, sedangkan Pemerintah Kota
Bengkulu dan Kantor Pertanahan Kota Bengkulu adalah
sebagai pelaksana
pengadaan tanah untuk
terselenggaranya
perluasan bandara Fatmawati Soekarno. Pembiayaannya dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota
Bengkulu.
b.
Tahapan Kegiatan Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengadaan
tanah untuk pembangunan perluasan area bandara Fatmawati Soekarno meliputi :
1) Penetapan Lokasi
Berdasarkan Keputusan Walikota Bengkulu Nomor 175 A tahun 2007 tentang Penetapan Lokasi Tanah Untuk Pembangunan Kawasan
Bandara Fatmwati Bengkulu;
2) Penetapan
Panitia Pengaadaan Tanah
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk
perluasan area Bandara Fatmawati Soekarno
ini memerlukan bantuan panitia pengadaan tanah. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007
tentang Ketentuan
Pelaksanaan Presiden
(Perpres)
Nomor
36 Tahun
2005 tentang
Pengadaan
Tanah
Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Perpres Nomor 65
Tahun
2006 tentang
Perubahan
atas Peraturan
Presiden Nomor 36
Tahun
2005 tentang Pengadaan
Tanah
Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pada Pasal
60
menyatakan bahwa :
“Dalam hal pengadaan tanah yang dimaksud dalam Pasal
54 menggunakan bantuan
Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/
Kota,
maka
pengadaan tanahnya dilakukan dengan
menggunakan tata cara pengadaan
tanah sebagaimana diatur dalam BAB IV Bagian Pertama peraturan ini.”
Panitia pengadaan tanah dibentuk menurut Surat Keputusan
Walikota Bengkulu Nomor 117 Tahun 2007 tentang
Pembentukan
Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Kota Bengkulu yang
dikeluarkan pada tanggal
5 Juli 2007 (lampiran
2), di mana
tugas dari panitia
pengadaan
tanah tersebut adalah
sebagai
berikut :
a) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat;
b) Mengadakan penelitian dan
inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah, yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
c) Mengadakan penelitian mengenai status hukum bidang tanah
yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
d) Mengumumkan hasil Penelitian dan inventarisasi
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c;
e) Menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bengunan
dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dari
Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah dan Pejabat yang bertanggung jawab menilai
bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
f) Mengadakan musyawarah dengan para pemilik dan instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi;
g) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya
akan dilepaskan atau diserahkan;
h) Menyaksikan
pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemilik;
i)
Membuat berita acara
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
j)
Mengadministrasikan dan
mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dan Kantor Pertanahan Kota Bengkulu; dan
k) Menyampaikan
permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Walikota
Bengkulu apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan
keputusan.
Dengan susunan panitia
pengadaan
tanah dapat
dilihat
pada tabel berikut :
Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum di Kota Bengkulu yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 177
Tahun 2007 tanggal 5 Juli
2007
No
|
Jabatan Dalam
Instansi
|
Jabatan Dalam
Panitia
|
Ket.
|
1
|
Sekretaris
Daerah Kota Bengkulu
|
Ketua
Merangkap Anggota
|
|
2
|
Asisten
Tata Praja Setda Kota Bengkulu
|
Wakil
Ketua Merangkap Anggota
|
|
3
|
Kakan
Pertanahan Kota Bengkulu
|
Sekretaris
Merangkap Anggota
|
|
4
|
Kabag.
Tata Pemerintahan Setda Kota Bengkulu
|
Anggota
|
|
5
|
Kadis
Pertanian Kota Bengkulu
|
Anggota
|
|
6
|
Kadis
Kimpraskot Kota Bengkulu
|
Anggota
|
|
7
|
Kakan
Pelayanan PBB Kota Bengkulu
|
Anggota
|
|
8
|
Camat
Yang Bersangkutan
|
Anggota
|
|
9
|
Lurah
Yang Bersangkutan
|
Anggota
|
Sumber : Bagian Tata Pemerintahan Sekretaris Kota Bengkulu
Dari hal tersebut dapat diamati bahwa proses pembentukan panitia pengadaan tanah di Kota
Bengkulu sudah sesuai
dengan Peraturan KBPN Nomor
3 Tahun 2007 dalam pasal 14 ayat (2).
3) Penyuluhan;
Penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat di lokasi perluasan bandara dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah.
4) Penentuan batas
lokasi, inventarisasi dan pengumuman hasil inventarisasi;
Setelah
dilakukan pemasangan tanda batas lokasi oleh Instansi Pemerintah yang
memerlukan tanah bersama-sama dengan Panitia Pengadaan Tanah. Selanjutnya
dibentuk Satuan Tugas (satgas) dengan Surat Keputusan Ketua Panitia Pengadaan
Tanah yang akan melakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi yang
meliputi :
a)
pengukuran rincikan bidang tanah;
b)
Inventarisasi dan identifikasi
data fisik dan yuridis pemilik tanah yang
terkena pembentukan tanah (petugas BPN dibantu desa);
c)
Inventarisasi tanaman
dari Instansi terkait (Dinas Pertanian);
d)
Inventarisasi Bangunan dari
Instansi terkait (Dinas PU ).
Selanjutnya Panita Pengadaan Tanah mengumumkan hasil inventarisasi
dan identifikasi tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman dilakukan di Kantor
Desa/Kelurahan dan/atau Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selama 7 (tujuh)
hari dan/atau melalui media cetak, elektronik selama 2 (dua)
kali penerbitan, untuk memberikan kesempatan bagi pihak yang berkepentingan
mengajukan keberatan.
c.
Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Pelaksanaannya relatif lancar dan
hanya mengalami sedikit kendala yang pada akhirnya dapat diselesaikan degan
baik melalui proses mediasi. Beberapa hasil
musyawarah ganti rugi dengan warga masyarakat pemilik tanah di Kelurahan
Sukarami yang terkena Perluasan Landasan Pacu Bandar Udara Fatmawati Soekarno
Bengkulu antara lain:
1)
Bahwa harga tanah
berpedoman pada NJOP dan harga yang ditentukan oleh Tim Penilai Harga Tanah
Kota Bengkulu yang dibentuk dengan Surat Keputusan Walikota Bengkulu Nomor 219 Tahun 2007 tanggal 22
Agustus 2007 (lampiran
3), disepakati harga tanah disama-ratakan senilai Rp
40.000,- per meter persegi.
2)
Bahwa harga tanam
tumbuh disepakati sesuai dengan Daftar Lampiran Surat Kepala Dinas Pertanian
Kota bengkulu Nomor: 800/713/01/DPT/2007 tanggal 21 Nopember 2007.
3)
Bahwa harga
bangunan disepakati :
a). Rumah Permanen
Rp 1.000.000,- /m²
b). Rumah Semi
Permanen Rp. 550.000,-/m²
c). Rumah tidak
Permanen Rp. 300.000,- / m²
d). Pondasi Rumah
(belum selesai dibangun) Rp. 60.000,- / m²
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, berikut penulis
mencoba menarik beberapa kesimpulan berdasarkan uraian dan analisa yang telah dikemukakan
pada bagian-bagian sebelumnya. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan
yang dikemukakan sebagai berikut :
1.
Perluasan landasan
pacu Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu mempunyai maksud dan tujuan yang
penting dalam pembangunan dan perkembangan Kota Bengkulu, yaitu untuk
mewujudkan Program Peningkatan Status Bandara menjadi Bandara Internasional di Provinsi
Bengkulu.
2.
Pelaksanaan
pengadaan tanah untuk Perluasan landasan pacu Bandara Fatmawati Soekarno dapat dikatakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mulai dari tahap penetapan lokasi,
penyuluhan, penentuan batas lokasi dan inventarisasi, pengumuman hasil
inventarisasi, musyawarah mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian,
penetapan nilai ganti rugi, keberatan terhadap keputusan panitia, pelaksanaan
pemberian ganti kerugian sampai dengan tahap pelepasan dan penyerahan hak atas tanah.
3.
Dalam pelaksanaan
pembebasan tanah ini memang terdapat beberapa kendala. Akan tetapi, melalui
pendekatan persuasif (mediasi) dengan jalan musyawarah kendala tersebut dapat
diatasi sehingga pelaksanaan pengadaan tanah dapat berjalan dengan lancar
sehingga proyek perluasan landasan pacu Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu segera
dapat dilaksanakan.
B. SARAN
Sebagaimana diketahui bahwa tanah merupakan masalah yang vital
dan mempunyai fungsi yang sangat terbatas dibandingkan manusia yang membutuhkannya.
Sedangkan di dalam pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini sangat
membutuhkan tanah yang luas, dan tanah yang dibutuhkan tersebut tentu sangat
sulit pengadaannya apalagi untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Oleh karena
itu di dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum khususnya dalam pelaksanaan
pembebasan tanah untuk landasan pacu Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu
sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka dalam kesempatan ini penulis
ingin memberikan saran sebagai berikut :
1.
Pemerintah atau
instansi yang berkepentingan untuk melaksanakan kegiatan pembebasan tanah
selalu berpedoman dan mentaati Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
2.
Untuk meningkatkan
kelancaran proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dikemudian hari perlu
adanya suatu persiapan yang lebih matang dari Panitia Pengadaan Tanah dalam
memahami Peraturan-peraturan yang telah ada, baik berupa pelatihan, orientasi maupun
seminar-seminar agar panitia dapat memahami tugas, tanggung jawab dan perannya,
sehingga tahapan Pengadaan Tanah dapat dilakukan lebih baik.
3.
Perlu adanya
peningkatan kualitas pendekatan sosiologis oleh Panitia Pengadaan Tanah
terhadap pemegang hak dalam hal memberikan penyuluhan mengenai tanah baik
status, hak atas tanah, tata guna tanah, dan fungsi sosial hak atas tanah
sehingga dapat berpartisipasi lebih baik dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
4.
Kepada instansi
yang akan melaksanakan kegiatan pengadaan tanah,kiranya ganti kerugian yang
ditawarkan hendaknya tidak hanya berupa uang saja, akan tetapi dimungkinkan
dalam bentuk lain, seperti tanah pengganti. Hal ini dimaksudkan agar tidak
merubah pola hidup pemegang hak atas tanah yang belum tentu siap dengan
diterimanya uang, yang pada akhirnya setelah uang ganti kerugian tersebut habis
maka tidak akan membuat hidup mereka lebih baik.
5.
Sebaiknya pada
tahap musyawarah dalam penentuan besarnya ganti rugi yang akan diberikan kepada
pemegang hak atas tanah mengacu kepada nilai jual objek pajak dan harga pasaran
tanah setempat. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya unsur paksaan dari
pihak manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria
Indonesia
Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok
Agraria. Jakarta : Djambatan.
Perangin, Effendi. 1991.
Hukum
Agraria Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Salindeho, John.
1988. Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua Jakarta : Sinar Grafika.
Sarjita, dkk. 2010. Laporan Penelitian Eksistensi
Lembaga Konsinyasi pada Pelaksanaan Ganti Rugi Tanah Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo.
Sitorus, Oloan, dkk. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta :
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia
Sumardjono, Maria S.W. 2007. Kebijakan Pertanahan antara
Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Jakarta : Buku Kompas.
[4] Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok
Agraria, (Jakarta : Djambatan, 2003), Hal. 24
[5]
Boedi Harsono,
Op. Cit, Hal.578
[6]
Effendi Perangin,
Hukum Agraria
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), Hal.
38
[7] Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004),
Hal. 6
[8] John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar Grafika,
1988), Hal.
40