Kamis, 10 Maret 2016

CARA MENGHITUNG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)



Sekadar bertukar  ilmu pengetahuan..... Semoga bermanfaat


Cara Menghitung BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan)


A.        Pengertian
BPHTB adalah  pajak yang dikenakan atas perolehan hak baru atas tanah dan bangunan yang mempunyai Nilai Objek Jual Pajak (NJOP) diatas 60 juta.
 Objek BPHTB adalah tanah dan/atau bangunan, sedangkan yang menjadi subyeknya adalah orang pribadi atau Badan Hukum. Dengan Kata lain bahwa Pajak BPHTB dikenakan kepada Pembeli yang melakukan jualbeli atas tanah atau bangunan yang memiliki NJOP diatas 60 juta.
B.     Dasar Hukum BPHTB:
1.      UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2.      Perda Kota Metro No. 3 tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah di Kota Metro
3.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata
4.      UU Perkawinan No. 1 tahun 1974

C.        Cara Menghitung BPHTB

1.         JUAL BELI
BPHTB = (NJOP - 60 juta) x 5%

2.         TUKAR MENUKAR
Apabila terjadi tukar menukar objek BPHTB adalah selisih dari nilai objek tukar menukar.
Misalnya A memiliki Bangunan dan/atau tanah senilai Rp. 500 juta
B memiliki bangunan dan/atau tanah senilai Rp. 700 juta
 maka yang menjadi objek BPHTB adalah sebesar selisish A dan B yaitu Rp.200 juta. jadi A dikenakan BPHTB sebesar (200 juta - 60 juta) x 5%

3.         HIBAH
                               I.            Hibah dari Orangtua ke anak, BPHTB = (NJOP-60 juta) x 5 % x 50 %
                            II.            Hibah tanpa adanya hubungna darah dan hibah antara adik kakak atau hubungan darah bukan satu derajat keatas maupun ke bawah, maka BPHTB = (NJOP - 60 juta) x 5%
                         III.            hibah antara suami istri selama masa perkawinan berlangsung tidak bisa dilakukan, kecuali untuk benda-benda bergerak.

4.         WARIS
                            I.               Apabila tidak meninggalkan janda/duda  (suami istri/ayah ibu kedua-duanya telah meninggal), maka
BPHTB = (NJOP-300 juta) x 5 % x 50 %
                         II.               Apabila meninggalkan janda/duda,
BPHTB = (NJOP:2)-300 juta x 5% x 50%


5.      APHB (AKTA PEMBAGIAN HAK BERSAMA)
a.      Karena Pewarisan
BPHTB yang dikenakan hanya BPHTB  Waris saja karena jika APHB dikenakan maka akan terjadi pengenaan pajak ganda, hal ini bertentangan dengan Azas Hukum Pajak yang melarang terjadinya praktek pemungutan pajak ganda. Pengenaan APHB sama dengan poin 4 (perolehan hak karena warisan).
b.      APHB karena Tujuan Bersama
misalnya A dan B bersama-sama membeli sebidang tanah seharga 200 juta dalam sertipikat dicantumkan nama A dan B, kemudian karena sesuatu  hal A menyerahkan seluruh bagiannya kepada B maka BPHTB terutang kepada B adalah sebesar 1/2 NJOP - 60 juta x 5 %. NJOP yang dikenakan BPHTB hanya sebagian karena sebagian adalah milik B sebelumnya.

6.            HIBAH WASIAT
pengenaan BPHTB nya sama dengan Waris

7.      Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum
BPHTB terutang = (NJOP - 60 juta) x 5 %

8.      Penunjukan Pembeli dalam Lelang
BPHTB = (NJOP-60 juta) x 5%

9.      Pelaksanaan keputusan hakim yang mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
BPHTB = (NJOP - 60 juta) x 5%

10.       Penggabungan, peleburan, pemekaran usaha
BPHTB = (NJOP - 60 juta) x 5%
PBB terutang muncul pada saat dibuat  akta  oleh PPAT

11.       Hadiah (untuk benda tidak bergerak,→tanah atau bangunan)
BPHTB = (NJOP - 60 juta) x 5%
PBB terutang muncul pada saat dibuat  akta  oleh  PPAT


12.       Pemberian Hak Baru Karena:

a.         Kelanjutan Pelepasan Hak
Pajak terutang timbul pada saat SK BPN keluar yang dilanjutkan dengan pendaftaran pengalihan hak ke BPN
b.         Diluar pelepasan hak
pajak timbul pada saat dibuat akta oleh PPAT dan/atau pada saat pendaftaran permohonan/pengalihan hak ke BPN
v  Khusus untuk tanah dan bangunan yang dipergunakan untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang tidak mencari keuntungan seperti tanah dan bangunan untuk panti asuhan, panti jompo dan rumah yatim piatu, pendidikan umum, rumah sakit swasta, tanah yang dibeli dari wajib pajak dan hasil ganti rugipembebasan tanah dari pemerintah yang jumlahnya dibawah NJOP PBB, tanah yang diperoleh wajib pajak dari pemerintah sebagai ganti atas tanah dan bangunan lama yang dibebaskan pemerintah untuk pelaksanaan pembangunan seperti untuk kepentingan umum, rehabilitiasi pemukiman kumuh, jalan umum, waduk dan bendungan, tanah dan bangunan yang tidak berfungsi karena bencana alam, kebakaran, banjir, tanah longsor, maka perhitungan pajak BPHTBnya adalah (NJOP-60 juta) x 5% x 50%
v  tanah dan bangunan rumah dinas pemerintah yang dibeli veteran, PNS, anggota ABRI, Pensiunan PNS, Purnawirawan ABRI atau Janda/duda PNS/ABRI, perhitungan pajak BPHTB nya adalah (NJOP-60 juta) x 5% x 25% (ada pengurangan 25 %)
(Dasar Hukum 2 poin diatas adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 jo Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-221/PJ-221/PJ/2002.)

Catatan : 
     NJOP yg disebutkan sebaiknya dibaca sebagai harga transaksi/nilai pasar, karena memang demikianlah bunyi peraturan perundang-undangan. 
   Untuk inbreng (pemasukan dalam perusahaan), maka nilainya adalah sesuai dengan taksiran dari appraisal/penaksir. Untuk hibah wasiat, perlakuan perhitungan seperti pajak waris hanya berlaku apabila HW (Harta Waris) kepada isteri/suami atau garis lurus 1 derajat keatas atau kebawah, selain dari itu perhitungannya sama seperti JB (Jual Beli). Dalam lelang, yang dipakai adalah harga lelang. Hadiah yg dimaksud diatas = hibah, jadi perhitungannya mengikuti aturan Hibah.
Untuk pengurangan (waris, hibah, sosial keagamaan) harus mengajukan dahulu permohonan pengurangan.
Pemberian hak baru diluar pelepasan hak, terhutang BPHTB saat SK BPN diterbitkan.

Sabtu, 10 Mei 2014

DIMENSI KEWENANGAN PERTANAHAN DI DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM PADA ERA OTONOMI DAERAH



 BAB I
PENDAHULUAN

Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda antara wilayah.
            Menurut Prof. Boedi Harsono,SH., walaupun tidak dinyatakan secara tegas dari apa yang tercantum dalam konsiderans, pasal-pasal dan penjelasan, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk selanjutnya disebut dengan UUPA, digunakan dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. [1]
            UUPA dalam pertimbangannya juga menegaskan bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi,air, dan ruang angkasa sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia dan perkembangan zaman serta merupakan perwujudan asas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. [2]
            Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 6 UUPA yang mengatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[3]
            Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA. Berbagai konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat Undang-Undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang mengutamakan kepentingan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.
            Sejak bergulirnya era otonomi daerah yang mengedepankan semangat partisipasi lokal demi pemberdayaan pemerintahan daerah, kerap muncul beberapa permasalahan yang berujung pada sengketa kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Salah satu bidang yang menimbulkan permasalahan tersebut adalah bidang pertanahan.
            Di perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya arus urbanisasi, pembangunan proyek-proyek infrastuktur berskala besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek komersial) banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin di perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat  dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi seperti yang terjadi di Papua (Freeport) dan Riau (Caltex). Di wilayah transmigrasi, antara transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan hutan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan perkebunan besar dan masyarakat adat. Di desa, alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk atau tempat latihan militer menjadi masalah yang kerap terjadi.[4]
            Dalam hal kewenangan bidang pertanahan, pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang memberikan kekuasaaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri menimbulkan beragam interpretasi tentang kewenangan bidang pertanahan.[5]
            Perlu disadari bahwa pemberian otonomi daerah di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional namun tetap harus memperhatikan kesesuaian peraturan sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks.[6]
            Berdasarkan rumusan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota yang di antaranya adalah masalah pertanahan. Peraturan ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi beragam.
            Banyaknya peraturan yang mengatur tentang kewenangan pertanahan perlu dicermati secara proporsional sehingga interpretasi yang beragam dan keliru dalam memahami ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diminimalkan.
            Terbentuknya Kota Batam sebagai institusi eksekutif yang melaksanakan roda pemerintahan yang memiliki kedudukan berbeda dengan daerah administratif lainnya yang setara memiliki impilkasi pengaturan pertanahan yang berbeda pula.Sesuai dengan pelaksanaan Hak Mengusasai dari Negara pada pasal 2 ayat(4) UUPA yang menyatakan bahwa pelaksanaan kewenangan dapat dikuasakan kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat Hukum Adat, sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Selain kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat Hukum Adat, pelaksanaan kewenangan tersebut dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada Badan-Badan Otorita, perusahaan-perusahaan negara, dan perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah tertentu dengan Hak Pengelolaan.[7]
            Penetapan status Pulau Batam sebagai Zona Industri Lewat Keppres Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam membuat perubahan dalam bidang pertanahan yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk selanjutnya disebut Otorita Batam mellaui pemberian Hak Pengelolaan. Keadaan ini selanjutnya diperparah dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang memberikan kekuasaan amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri.[8]
            Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin menguraikan mengenai “Bagaimana Pembagian  Kewenangan di bidang pertanahan antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam di Era Otonomi Daerah”.


BAB II

PEMBAHASAN

A.           Dimensi Yuridis Otonomi Daerah Dalam Kewenangan Pertanahan
Istilah otonomi daerah telah memperoleh muatannya dalam UUD 1945, khususnya  pasal 18 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan sandaran UUPA.
Dalam pasal 33 tersebut tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justru harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara tegas dinyatakan bahwa bidang tersebut harus dikuasai oleh negara demi terciptanya kemakmuran rakyat.
Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan di bidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional.
Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.[1]
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan.
Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian,pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.
Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertaniansesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang , pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah . Penataan ruang meliputi suatu proses  perencanan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif sehingga terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota.

Pada tahun 1999, pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita Batam dalam pembangunan Batam dipertegas.[1]
Semula dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999,posisi Otorita Batam selaku badan pembangunan di Pulau Batam semakin kuat kedudukannya karena keberadaannya dicantumkan dalam Undang-Undang tersebut. Namun, rumusan beberapa pasal justru memperkuat keberadaan Pemerintah Kota Batam sesuai dengan semangat otonomi daerah.
Penetapan status pulau Batam sebagai zona industri menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola kebijakan di bidang industri termasuk bidang pertanahan. Dengan perubahan status tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita Batam lewat Hak Pengelolaan sebagaimana ternyata dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Di Daerah Industri Pulau Batam.
Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam, ketidak jelasan hubungan antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam menimbulkan persoalan pertanggungajawaban.Terhadap kebijakan Otorita Batam yang menimbulkan permasalahan bagi masyarakat Kota Batam, DPRD Kota Batam tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada Otorita Batam karena secara prosedural, otorita Batam tidak bertanggungjawab kepada masyarakat Batam melalui DPRD, tetapi langsung bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.[2]
Sementara itu Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Otorita Batam membatasi ruang gerak Pemerintah Kota  Batam. Dalam hal pembangunan sarana pemerintahan seperti kantor-kantor dan sekolah-sekolah negeri, Pemerintah Kota Batam harus mengajukan permohonan kepada Otorita Batam. Sering kali terjadi, tanah yang dialokasikan tidak sesuai dengan rencana yang dimohonkan Pemerintah Kota Batam. Bahkan aset-aset pemerintah Kota Batam dalam bentuk tanah, tidak memiliki sertipikat termasuk Kantor Walikota Batam.
Saat ini kewenangan bidang pertanahan tetap menjadi kewenangan Otorita Batam melalui Hak Pengelolaan berdasarkan Keppres Nomor  41 Tahun 1973  tentang Kedudukan Pulau Batam sebagai daerah  industri. Pasal 6 ayat  (2)  menyebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah daerah industri Pulau Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang agraria dengan ketentuan seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada Pihak Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk :
1.             Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
2.             Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
3.             Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan  Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai (HGB berlaku selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun kemudian dapat diperbaharui 30 tahun lagi dan seterusnya sedangkan HP berlaku selama 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun sejauh yang bersangkutan masih menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peruntukkannya);
4.             Menerima uang pemasukan dan uang wajib tahunan (Uang Wajib Tahunan Otorita Batam “UWTO”).
Pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal di atas bagian-bagian tanah Hak pengelolaan Otorita Batam memberikan seseorang menguasai tanahnya yang semula dengan Hak Guna Bnagunan ditingkatkan menjadi Hak Milik. Artinya dengan perubahan status hak dimaksud, kewenangan seseorang atas tanah yang dimilikinya menjadi meningkat.  Hanya saja, penerima hak milik tetap harus mentaati dan terikat dengan Surat Perjanjian tentang pengalokasian, penggunaan dan penguasaan tanah atas bagian-bagian tertentu daripada tanah Hak pengelolaan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang telah disepakati sebelumnya.
Oleh karena itu pertanyaannya adalah, Mengapa bagian-bagian dari hak pengelolaan yang telah ditingkatkan menjadi hak milik tidak diberikan kebebasan (terlepas dari perjanjian) sesuai kewenangan seseorang dalam menguasai tanah dengan Hak Milik yaitu turun-menurun, terkuat dan terpenuh dengan tetap memperhatikan peraturan perundangan di bidang pertanahan.Konsekuensinya adalah seseorang yang telah memiliki hak milik yang berasal dari hak guna bangunan dan/atau hak pakai di pulau Batam tidak mempunyai kelebihan sama sekali.
Hak Pengelolaan yang bagian-bagiannya telah diberikan kepada pihak ketiga dengan hak milik berakibat akan putusnya hubungan hukum antara pemegang HPL dengan bagian-bagian tanah yang telah diserahkan tersebut dikarenakan secara tidak langsung semua perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak akan berakhir pada saat hak milik lahir atas bagian-bagian dari HPL tersebut. Akibat selanjutnya adalah kepada para pemegang hak milik sudah tidak ada ikatan apapun terhadap pemegang HPL.
 





[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,Jakarta : Penerbit Djambatan.2003, Hlm 6.
[2] Indonesia,Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Pertimbangan.
[3] Indonesia,Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,ibid.,Pasal 6.
[4]  Arie Sukanti Hutagalung, dan Markus Gunawan.2008.Kewenangan Pemerintah Bidang Pertanahan.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm 4.
[5] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Pemerintahan daerah.Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah pertanahan. Hanya satu pasal yang mengatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahn tersebut. Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU. No. 32 Tahun 2004, LN. No.125 Tahun 2004, TLN No. 4437.
[6] Arie Sukanti Hutagalung.Tebaran Pemikiran Seputar Masalah hukum tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005) Hlm 40.
[7] Oloan Sitorus, dkk. Laporan Penelitian Studi Pemberian Hak atas tanah Di Daerah Industri Pulau Batam.2005. Yogyakarta: STPN Press.Hal 2-3.
[8] Pemerintah Kota Batam. Profil batam Madani 2004 (Batam:Pemko Batam,2004). Hal 8.