Rabu, 12 Desember 2012

EKSISTENSI HAK ULAYAT MASYARAKAT KAUM ADAT



EKSISTENSI HAK ULAYAT MASYARAKAT KAUM ADAT DI INDONESIA PASCA UNDANG-UNDANG KEHUTANAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang.

Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanay dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas sekali sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”. Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhanakan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerkukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.
            Untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam UUPA dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.
B.     Rumusan Masalah.
            Dari latar belakang yang ditentukan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat ?
2.      Bagaimana Undang-undang No. 41 Tahun 199 tentang Kehutanan memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat ?
3.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat atas tanah hak ulayatnya?

C.     Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Agar dapat memberikan pengetahuan lebih mendalam mengenai eksistensi hak ulayat di Indonesia dari aspek yuridis;
2.      Menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Politik Pertanahan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hak Ulayat.
Pengertian hak ulayat dapat kita lihat pada Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria yang menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang jak ulayat itu “menurut kenyataan masih ada”.
Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.
Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, yang perupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genecalogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan wewenang dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ualayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu:[1][1]
a.       Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang manjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan.
c.       Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat menganai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

B.     Dasar Hukum Hak Ulayat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.
Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indoneisa, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah diapakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kahidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan suber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikeal sebagai hal ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.[2][2]
Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.
Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tenah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan kehidupan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula temapat tinggal kepada dayang-dayang perlindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.[3][3]
Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa hak ulayat tidak secara gamblang dijelaskan tentang adanya dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur, melainkan hak ulayat diakui oleh Undang-Undang dan penerapannya mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria serta hukum adat yang berlaku.
C.     Kedudukan Hak Ulayat.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA ,Hak Ulayat yang pada kenyataanya tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, juga tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Dalam rangka hukum tanah nasional tugas kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat  telah menjadi tugas kewenangan negara. Pada kenyataanya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). Oleh karena itu hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk diatur karena pengaturan hak tersebut akan berakibat melestarikan eksistensinya.



D.     Pengakuan Hak Ulayat dalam UU Kehutanan.
Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu Kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing. Pengambilalihan hak ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal ini tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat dalam Pasal 6 yang berbunyi “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.” Kepemilikan tanah rakyat adalah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum Internasional maupun hukum nasional. Dalam hukum Internasional, hak milik ini diatur dalam dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), yaitu:
1.      Pasal 17 ayat (1): “Setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain”.;
2.      pasal 17 ayat (2): “Tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang”;
3.      pasal 30: “Tidak ada satu ketentuanpun dalam deklarasi ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak pada suatu negara, kelompok atau orang, untuk terlibat dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan apapun yang diatur di dalam deklarasi ini”.
Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (1), yang berbunyi: “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
1.      melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan;
2.      melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UU, dan
3.      mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.”
Di dalam penjelasan Pasal 67 UU No 24 Tahun 2003 tentang Kehutanan, menyatakan bahwa “sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur, antara lain:
1.      masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap)
2.      ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3.      ada wilayah hukum adat yang jelas
4.      ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati
5.      masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.”
Bahkan, penjelasan Pasal 67 ayat (2), memberikan kesempatan pada pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat dan Tokoh masyarakat adat di tempat.
Dari segi hak asasi manusia yang terelaborasi dengan beberapa peraturan perundanga-undangan dan konstitusi maka tampak bahwa eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak ulayat telah diakui keberadannya, bukan hanya secara nasional, namun secara universal melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga perampasan hak ulayat dan hak-hak lain yang menyerupainya dari masyarakat hukum adat merupakan bentuk pelanggaran konstitusional dan pelanggaran hak asasi manusia.
Fakta empris di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisonalnya justru turut serta menjaga dan melindungi hutan, salah satunya dalah masyarakat Desa Tenganan, Bali. Masyarakat Bali memiliki perlindungan kawasan melalui sejarah yang panjang karena pengaruh dan akulturasi kebudayaan Hindu serta perkembangannya. Pola pengkeramatan kawasan berlaku pada berbagai tingkatan wilayah sampai satuan pulau dan tingkat pekarangan. Masyarakat Adat Desa Tenganan merupakan satu kelompok yang memiliki keunikan tradisi perlindungan hutan. Keunikannya bertumpu pada kesederhanaan struktur kelembagaan dan kekuatan memegang komitmen dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Perlindungan kawasan hutan sebagai bentuk penghormatan terhadap pelindung alam dan kemanusiaan. Dalam agama Hindu terdapat mitologi hutan sebagai pelindung manusia yaitu “Tumbuh-tumbuhan memiliki semua sifat-sifat dewa, dan tumbuhan adalah juru selamat kemanusiaan. Jika manusia menghancurkan tetumbuhan, maka ia menghancurkan “penjaga kemanusiaan” nya Siapa pun, apakah manusia maupun hewan akan hidup selamat dan sejahtera di bumi ini kalau kebersihan atmosfir bumi terpelihara dengan segala cara untuk suksesnya tujuan hidup ini.” (Atharvaveda VIII.2.25, dalam Titib 2004).[4]
Keberadaan kawasan Desa Adat Tenganan sebagai hasil kombinasi sumber daya manusia dan sumber daya alam memberikan berbagai kontribusi dan jasa ekosistem kepada masyarakat secara luas. Keunikan jasanya antara lain berupa jasa tangkapan air hujan (watershed), jasa menjaga stabilitas iklim, jasa penyerap berbagai bentuk panas dan polutan dari luar, mengikuti proses source-sink. Sistem watershed kawasan Desa Adat Tenganan, tidak hanya berfungsi sebagai tangkapan air hujan tetapi berfungsi sebagai penjernih air yang tersimpan. Vegetasi hutannya meberikan penjernihan terhadap kualitas udara dan stabilitas iklim[5].





[4]             I.G.P.Suryadarma, “PERAN HUTAN MASYARAKAT ADAT DALAM MENJAGA STABILITAS IKLIM SATU KAJIAN PERSPEKTIF DEEP ECOLOGY (KASUS MASYARAKAT DESA ADAT TENGANAN, BALI)”, Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, www.staff.uny.ac.id h. 50-51diunduh pada tanggal 22 Juni 2011
[5]  Ibid.   Hal. 53


Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/"property" rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme
pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Nababan, 1995)[6]





[6]             Bestari Raden dan Abdon Nababan, “PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT: Antara Konsep dan Realitas” www.dte.gn.apc.org, 2003, diunduh pada tanggal 22 Juni 2011


Justru hutan yang dikelola oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah semakin rusak dan tidak terlindungi. Hal ini bisa terlihat bahwa  sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dari data tersebut maka jelas keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya termasuk hak ulayat akan menciptakan kelestarian lingkungan termasuk kelestarian hutan.
E.      DILEMA HAK ULAYAT DAN KEPENTINGAN UMUM
            Konsep pelepasan hak atas tanah tetuang dalam Perpres No. 36 Tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Selain itu berkenaan dengan konsep Kawasan Hutan Lindung kita perlu mencermati pula ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Urgensi adanya pelepasan hak ulayat dalam kawasan hutan lindung tidak terlepas dari ketentuan konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijelaskan pengertian hak menguasai sumber daya alam oleh Negara sebagai berikut :   
1.    Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2.    Hak menguasai Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk:
a.        Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.        Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
c.         Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal 3 digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.
Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku.
Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas[7]. Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang “bersifat pribadi”.
[7]             Budi Harsono , Op.Cit. h.234

                        Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.[8] idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan.
                        Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perpres 65 tahun 2006 menyatakan “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.” Sedangkan kriteria yang termasuk Kepentingan umum adalah sesuai dengan Pasal 5 yang menyatakan “Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi :
a.      jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di
b.      ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
c.       waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
d.      pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api ,dan terminal;
e.       fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
f.        tempat pembuangan sampah;
g.      cagar alam dan cagar budaya;
h.      pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik”.
[8]             Parlindungan AP, dalam bukunya Komentar atas undang-undang pokok agrarian, Alumni, Bandung, h.11 

Jika dikaji mengenai kawasan hutan lindung berkaitan dengan kriteria kepentingan umum maka sejatinya kawasan hutan lindung bukan merupakan bagian dari aspek kepentingan umum, karena ketentuan pasal 5 Perpres 65 tahun 2006 bersifat limitatif sehingga tidak terbuka penafsiran lain selain yang disebut dalam peraturan tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1) huruf c UU No.26 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Sedangkan menurut PP No. 26 Tahun 2008 khususnya pasal 51 huruf a dimana Kawasan lindung nasional terdiri atas salah satunya berupa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 52 ayat (1) yang menyatakan “ Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
a.      kawasan hutan lindung;
b.      kawasan bergambut; dan
c.       kawasan resapan air.”

Jadi jelas berdasarkan ketentuan beberapa peraturan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan lindung merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan tidak termasuk dalam kriteria kepentingan umum.
Karena bukan bagian dari kepentingan umum, maka dalam pengadaan kawasan hutan lindung dimana di dalam hutan tersebut terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat berlaku pasal 2 ayat (2) Perpres No. 65 tahun 2006 yakni “Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” 
Sedangkan bila dikaji kedudukan hak ulayat dalam UUK (undang-undang kehutanan) UUK menggunakan sekaligus istilah “masyarakat hukum adat” dan istilah ‘masyarakat setempat’. UUK tidak membuat defenisi mengenai masyarakat setempat (tetapi ada dalam peraturan pelaksananya), sementara untuk mengukur keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan 5 unsur. Namun, masyarakat hukum adat terkadang diartikan sebagai bagian dari masyarakat setempat (ps. 17 ayat 2). Sebagai pemangku hak, UUK mengakui kenyataan penguasaan hutan oleh masyarakat adat (hutan ulayat, hutan marga). Namun penguasaan ini terkena pembatasan pembatasan dari:
1)      konsep Hak Menguasai Negara; dan
2)      pencapaian tujuan UUK (makalah MS Kaban, Juni 2005)
Konsep dan pertimbangan-pertimbangan di atas mempengaruhi bentuk dan substansi pengakuan UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan. Bentuk dan substansi pengakuan UUK terhadap hak masyarakat hukum adat atas hutan sebenarnya meneruskan tradisi UUPA, yakni bersyarat: sepanjang masih ada, diakui keberadaanya dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Menurut Soemardjono (2005), bedanya UUPA dengan UUK adalah dalam hal pengakuan status hutan adat. Jika UUPA membagi tanah ke dalam tanah negara, tanah hak dan tanah ulayat, maka UUK membagi ke dalam hanya 2, yakni hutan negara dan hutan hak dengan memasukkan hutan adat ke dalam cakupan hutan negara. UUK tidak merumuskan pengertian masyarakat hukum adat (tidak seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air) mengakui masyarakat hukum adat sebagai subyek atau pemangku hak. Juga mengakui hak perseorangan anggota masyarakat adat atas hutan.
Sedangkan berdasarkan pasal pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 menyatakan “Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
a.      terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
b.      terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c.       terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.”
Dari ketentuan di atas maka terdapat pembatasan terhadap kriteria masyarakat hukum adat, sehingga tidak bisa serta merta suatu masyarakat mengklaim bahwa komunitasnya merupakan bagian dari masyarakat hukum adat. Oleh karena itu maka terhadap penetapan kawasan hutan lindung perlu diadakan melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati. Jadi pemerintah tidak bisa serta merta mencabut hak ulayat demi dan atas nama kawasan hutan lindung apabila masyarakat adat tidak mau menerima tawaran pemerintah, hal ini dikarenakan hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Jadi pengadaan tanah untuk kawasan hutan lindung harus sesuai perjanjian dan kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat hukum  adat.
F.      PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK ULAYAT ATAS PENETAPAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
            Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M. Hadjon yang dalam rumusan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen tegen de overheid” dan dalam rumusan bahasa Inggris berbunyi “legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities” [9]. Hal ini berarti perlindungan hukum bagi rakyat ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya. Perlindungan hukum bagi rakyat pemegang hak ulayat tidak terlepas dari konsepsi pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 yang secara tegas negara mengakui dan memberikan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisonalnya.

[15]             Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h.2

            Prinsip penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan hak tradionalnya tersebut mengandung konsekuensi apabila pemerintah hendak melepaskan hak ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai ketentuan peraturan yang ada. Bentuk penghormatan tersebut adalah pertama bahwa konsep “pencabutan” tidak berlaku bagi pengadaan tanah untuk penetapan kawasan hutan lindung di atas hak ulayat karena berdasarkan perpres 65 tahun 2006 hutan lindung bukan merupakan kepentingan umum. Kedua dengan tidak berlakunya konsep “pencabutan” berarti pemerintah tidak dapat serta merta menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat. Ketiga  hak ulayat hanya bisa dilepaskan hanya jika masyarakat adat menghendaki, dan itupun melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati kedua pihak, tanpa ada kesepakatan maka pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya.





BAB III
KESIMPULAN
A.    Menurut UUPA mengakui adanya hak ulayat sebagaimana Pasal 3 UUPA. Pengakuan terhadap tanah merupakan suatu hal yang memang dilindungi sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun pengakuan hak ulayat tersebut dibatasi yaitu hak ulayat yang masih selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban sebagaimana Pasal 28 I UUD 1945 dan tidak didaftar.
B.     Bentuk perlindungan hukumnya bila diperlukan untuk kepentingan umum sebagaimana Padal 18 UUPA, maka masyarakat pemegang hak ulayat diberi penggantian berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi rakyat setempat sesuai dengan Pasal 14 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006, yang penggunaannya untuk kepentingan seluruh pemegang hak ulayat atas tanah tersebut.
C.   Kawasan Hutan Lindung tidak termasuk dalam kriteria kepentingan umum seperti yang ada dalam pasal 5 Perpres 65 tahun 2006, hanya saja Kawasan Hutan Lindung termasuk dalam lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Untuk itu apabila di dalam kawasan hutan lindung tersebut terdapat hak ulayat masyarakat hukum adat, maka ketentuan mengenai penyerahan dan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum tidaklah berlaku.
Apabila ada hak ulayat di area kawasan hutan lindung yang seharusnya dilakukan adalah melalui cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan, karena konsep pencabutan tidak berlaku dalam hal pengadaan hutan lindung yang ada hak ulayat di dalamnya.




DAFTAR PUSTAKA

Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Adminstrasi Perlindungan Tanah Adat,  Palangkaraya, 2007.
Peraturan Menteri Negara /Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Soerjono Wingjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung, Jakarta, 1983.
Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang Ditujukan kepada Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.








[1][1] Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang  Ditujukan Kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II, Jakarta, 24 Juni 1999.
[2][2] Badan Peratanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah Admnistrasi Perlindungan Tanah Adat, Palangkaraya, 2007, h. 4.
[3][3] Soerjono Wigjodipuro, Asas-Asas Hukum Adat, Sumur Bandung,  Jakarta, 1983, h. 197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar